Mohon tunggu...
Vinsens Al Hayon
Vinsens Al Hayon Mohon Tunggu... Guru - Penyuluh-Guru

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Si Pecundang dan "300 Triliun"

5 April 2023   05:58 Diperbarui: 5 April 2023   06:00 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Sengsara dan kemenangan

 SI PECUNDANG  dan "300 TRILIUN"
(Catatan reflektif Semana Sancta)

Seturut kisah Sinoptik (Mateus, Markus, Lukas) dan Yohanes, si pecundang adalah "Orang luar",  artinya dia adalah salah satu dari kelompok keduabelasan yang Non Galilea. 

Bila lebih jauh ditelusuri, tahulah bahwa si pecundang berasal dari Keriot, suatu kota di Selatan Yudea. Sedangkan tambahan nama Iskariot mengidentifikasikan asalnya.

Bagi si pecundang, "Tidak mengapa, jika aku bukan orang dalam."  Karena pada prinsipku: "aku bangga lantaran dipilih "Orang Nasaret" itu jadi pengikut dekatNya dalam perjuangan memproklamirkan Kerajaan Allah di dunia. Suatu Kerajaan Damai Sejahtera dan berhukum Cinta Kasih. Alasan aku terpilih, mungkin karena aku ahli di bidangku, "Keuangan."

Nama Iskariot yang tertera di belakang nama depanku, mengandung beberapa arti, pertama, pria dari Keriot, kedua, orang Sika, yang artinya pembawa belati. Memang demikian adanya lantaran aku datang dari satu aliran Yahudi yang fanatik. Ketiga, dalam bahasa Aram, nama Iskariot itu berarti orang yang hidupnya berpura-pura, dan penghianat. 

Selaku orang Kireot, aku sungguh paham arti nama itu karena aku tumbuh dewasa dalam budaya Keriot, satu kota di Selatan Yudea.

Rahasia "arti sebuah nama," aku simpan rapih dalam hatiku. Tapi sering aku gelisah, dan aku yakin "Orang Nasaret" itu tahu, dan memang Ia tahu. Hal itu terungkap ketika kami makan bersama dengan DIA di "The Last Supper"  (Malam Perjamuan Akhir). IA sempat menyindir aku katanya: "Sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku,"  (bdk. Mat 26: 21-25). 

Atas sindirian itu, semua yang hadir pada perjamuan itu kaget dan beberapa di antaranya bertanya: "Bukan aku, ya Tuhan ?" Lalu Ia menjawab mereka, bahkan dengan nada mengecam. Aku berpura-pura tidak tahu sewaktu ia menjawab mereka. Saat itu akal bulusku bekerja keras dan hasilnya: "aku juga ikut bertanya: "Bukan aku, ya Rabi ?" Dan kulihat, "ReaksiNya datar."

Jika kesebelas pengikut lain yang hadir pada malam perjamuan itu paham dan  tajam analisinya maka mereka tahu siapa orang yang melakukan hal itu. Mereka juga cepat respon kiranya, ketika paham akan caraku menyapa DIA. Kesebelasan  menyapa DIA dengan Tuhan dan aku memanggilNya, Rabi atau Guru.

Aku beruntung, tidak tertangkap saat perjamuan malam bersama Sang Guru dan Tuhan, sehingga aku seperti melenggang bebas dengan rencana penjualan Yesus, Sang Guru dan Tuhan itu kepada para pemimpin bangsa Yahudi.  

Estimasi harga sekitar 30 keping perak. Suatu harga fantastis. Jika dikhayal dalam bentuk rupiah, andai itu setara 300 triliun. Ya, dengan uang itu, aku dapat berbuat sesuatu "yang lebih," yakni membeli jabatan dan kedudukan atau biaya suatu perjuangan politik untuk dipilih menjadi Raja di Yudea menggantikan Guruku yang sedang memproklamirkan Kerjaan Allah di dunia ini.

Untuk jadi raja Yudea, dari mana biaya untuk perjuangan politik? Dari mana duit di dapat ? Sebagai bendahara yang "Lihai" di "Kabinet Kerja Yesus", aku punya cara." Aku sudah menyimpan sejumlah uang walau belum cukup. "Aku mencurinya jika ada pemasukan berupa fee, hadiah/ hibah dan keuntungan."

Misalnya dari perusahaan penangkapan ikan. "Ingat !" gumamku dalam diam: "saudara-saudaraku; Petrus, dan Andreas, Yakobus dan Yohanes  punya perusahaan ikan yang bonafide di sepanjang Danau Tiberias, di Galilea."
Duit masuk ke simpananku dari sana.

Sesungguhnya duitku sudah cukup untuk suatu perjuangan politis, jika tidak dihalangi Yesus. "Ingat perisitiwa di Betania ?" (Bdk. Yoh. 12:1-8). Jika wewangian narwastu murni tidak dituangkan ke kaki Yesus, dan mengikuti anjuranku untuk dijual dan hasilnya dibagi-bagikan kepada orang miskin maka sudah kujual dengan harga tinggi dan sebagian keuntungan kuambil untuk keperluan biaya politikku, "mengkudeta Yesus" yang sedang siap-siap menjadi Raja Bangsa Yahudi.

Tambahan dana ke simpananku sesungguhnya telah juga mencapai target jika tidak ada kisah "perbanyakan roti" pada saat aku mengikutiNya mensosialisasikan aturan kerajaan Allah. Hanya karena gara-gara Filipus. "Jika ia tidak beralasan bahwa uang sebesar 200 dinar tidak cukup untuk memberi makan kepada 5000 orang laki-laki yang hadir belum terhitung perempun dan anak-anak, dan mengikuti saja perintahNya: "Kamu harus memberi mereka makan !" maka jelas sebagai bendahara aku akan mendapat fee yang besar, "untung gede" tatkala bernegosiasi mendatangkan makanan untuk 5000 orang laki-laki belum terhitung perempuan dan anak-anak, (Bdk. Mat. 14:13-21; Yoh. 6:1-13).

Ya, apa mau dikata, semua sudah terjadi demikian. Walau uang masih dalam proses pencapaian target maksimal dan taksasinya tinggal 30 keping perak lagi untuk menggenapi tujuan politis itu, aku perlu menepuk dada karena telah membeli sebidang tanah, (bdk. Kis. 1:18-19). Ceritanya untuk investasi pembangunan istana jika perjuangan politiku berhasil: "Menjadi raja bangsa Yahudi."  

Aku selalu terobsesi dengan tawaran yang ke 2,  yang disampaikan sang pencoba kepada Sang Guru tatkala usai IA berpuasa, "Kerajaan Dunia dengan segala keindahannya," (Bdk. Luk. 4:5-7).Tidak

Cita dan angan boleh tinggi tetapi "The dream does not come true."  Impian si pecundang dengan nama  Yudas Iskariot tidak menjadi nyata. Setelah The Last Supper, dan menandai Yesus dengan ciuman di  Taman Getsemani untuk di tangkap para algojo dan diserahkan kepada pemimpin bangsa Yahudi dengan imbalan 300 keping perak, umpama setara 300 triliun, Yudas akhirnya menyesal. 

Cakar dan godaan iblis yang mengakar kuat di bathin jiwanya tercabut dan menyadarkan dia akan perbuatannya. Terlambat memang datangnya, lalu apa mau dikata.  Pada moment ini kita coba meneropong pribadi Yudas yang mulai dicahayai Api Penyucian dari surga. Rasa penyesalan datang padanya, ketika menyaksikan "sengsaraan, derita dan wafat Yesus yang ia sapa Guru, di salib."

Lakunya menghianati itu, sadis, namun sengsara Sang Guru  merobek daya nalarnya yang egoistik dan logika berpikirnya yang super koruptif di lingkunganya sendiri untuk diri dan kepentingannya. Hasil akhir tipu muslihatnya, perilaku pencurinya, watak penghianatnya, sikap pura-puranya dan kelihaiannya dalam menangkap peluang membengkakan pundi-pundinya mengantarnya pada tindakannya melemparkan kembali uang haram hasil jual Yesus ke Bait Allah dan pergi membunuh diri dengan menggantung diri di tanah yang ia beli dengan uang haram. 

Siapa yang peduli padanya? Ia bukan putera terbaik  dari Keriot, kota di Selatan Yudea. "Engkau juga Yudas ?" Pewaris akhlaknya ? ***  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun