UNTUNG Â ITU Â SYUKUR
(Sebuah catatan reflektif)
Mungkinkah karena keberuntungan seseorang kemudian bersyukur atau sebaliknya seseorang bersyukur karena beruntung? Â Secara esensial "untung" itu sendiri adalah syukur. Jadi sepertinya tidak ada batas antara kedua pernyataan timbal balik itu atau jika ada itu pun tipis sekali.
Kejadian hidup mengisahkan bahwa setelah mengalami keuntungan (dalam hal apa saja, terlebih karena masih selamat/ hidup) orang lalu bersyukur. Jadi alasan untuk bersyukur jelas karena 'untung rezeki' atau 'syukur selamat.'
'Untung selamat' beda sekali dengan 'untung rezeki' yang biasa disebut laba (konteks ekonomi). Â Jika laba didapat apalagi berlipatganda, syukur bisa ada bisa tidak. Hal-hal yang lebih banyak dituai adalah kegembiraan, pujian atas usaha atau sanjungan terhadap kebolehan diri-pribadi karena faktor "keliahaian" berdaya upaya.
Efek lanjut dari keuntungan demikian dapat menghasut seseorang untuk terus mengejar untung (ekonomis) bahkan bisa lebih serakah atau lebih manipulatif. Terbentuk di sana nafsu memperkaya diri. Semangat menumpuk harta jadi orientasi hidup, dan seterusnya yang diincar adalah taktha atau kuasa.
Dengan harta yang berlimpah, seseorang dapat berbuat apa saja. Konsep machiavellinisme  diterapkan, "menhgalalkan segala cara" untuk memenuhi segela keinginannya. Harta (materi/uang) dan kekuasaan lebih berarti dari pada hubungan kemanusiaan.  Sikap egosentris menjadi ciri utamanya.
Beda sekali dengan 'untung selamat atau hidup.' Seseorang yang mengalami untung serupa ini, lebih sadar akan peran pihak lain (entah apa dan siapa) yang menyebabkan keuntungan itu. Kejadian untung adalah momentum pembelajaran dan pembentuk sikap syukur.
Sekecil apapun keberuntungan yang didapat syukur mendapat porsi besar, pertama dan utama dalam kehidupan. Efek perubahan sikap dan cara pandang lebih ke arah positif.
Mengenai "Untung atau keberuntungan" (bukan soal laba).
Sifatnya lebih ekstrovert, dan memainkan peran penting dalam kehidupan manusia, sekalipun kerap tidak masuk akal, diterima saja sebagai jalan hidup sebagaimana adanya manusia itu.
Boleh jadi dengan tidak hadir dalam suatu hajatan massal menjadi peluangmu untuk tidak terlibat dalam pertikaian. Sangat boleh jadi dengan lebih awal menyudahi kesenangan adalah keselamatan bagimu.
Boleh jadi keterlambatan yang membuatmu miss transportation, menjadi kehidupanmu atau keselamatanmu. Boleh jadi juga karena tidak hadir secara fisik di TKP adalah kemujuran, dan boleh jadi jika sedikit lebih setia menanti atau lebih bersabar adalah rezekimu.
Masih ada banyak lagi fakta, misalkan, boleh jadi kepergianmu lebih cepat dari suatu tempat adalah suatu keberkahan. Boleh jadi juga dipecatnya engkau dari  pekerjaan dengan alasan tidak jelas adalah suatu kebaikan. Boleh jadi ketika anda membatalkan tiketmu untuk menonton adalah kemujuranmu, dan sangat boleh jadi jika menahan diri untuk sesuatu hal, ternyata itu baik bagimu.
Lalu apakah kita mesti gundah dan menyesali atas segala yang telah terjadi? Pembelajaran untuk kehidupan mesti kita ambil. Sembari pesan bijak berikut perlu diresapkan untuk pencerahan budi: "yang manis janganlah cepat ditelan dan pahit janganlah bergegas memuntahkan." Yakinkan diri bahwa setiap kejadian ada makna atau pembelajarannya.
Berkaitan dengan "syukur, bersyukur."
Bersyukur atas realita yang (sudah) terjadi adalah suatu keharusan, serupa syukur selamat atau untung masih hidup. Syukur juga karena telah melakukan yang terbaik dari yang baik. Ini intensi mulia, yang mengandung nilai menolak melakukan yang bersifat atau berbau negatif. "Mampukah," ini pertanyaanya.
Si bijak menganjurkan agar jalan keluar yang ditempuh untuk sampai pada tahap positif adalah perbanyaklah bersyukur, bahkan teruslah bersyukur atas apa yang terjadi pada dirimu sampai tidak mampu lagi mengucapkan syukur. Mengapa ? Karena ketika terus mengeluh, akan menambah kegelisahan.
"Bersyukurlah !" Ini kata kunci. Atau dalam bahasa lain disebut "Being grateful atau full with gratitude". Pertanyaanya: "bersyukur atas apa?" Jawabannya: "atas semua kejadian hidup." Â Karena setiap kejadian bagi segala yang bernafas adalah "pujian bagi Allah."
Bersyukur adalah bukti rasa hormat yang tinggi kepada Penyelenggara Kehidupan, dan jika sesorang untung selamat atau syukur masih hidup, hal itu hanya karena intervensi dari Penyelenggara Kehidupan. IA mengizinkan anda untuk hidup, dan itu baik adanya.
IA tahu apa yang terjadi beberapa detik di depan anda, bahkan semua yang terjadi besok atas seizinNya. Ia memberi  yang terbaik kepada siapa IA berkenan. Tinggal saja, mau bersyukur atau tetap pada posisi anda.
Suatu posisi bertahan bahwa 'untung' itu upaya sendiri atau karena kemampuan sendiri, dan sulit  mengkaui keterlibatan "the man behind gun" untuk untung selamatmu, benar wajar. Tetapi jika merefleksi lebih dalam maka pertanyaan ini muncul: mungkinkah itu semata upaya dan kemampuanmu ?
Manusia itu makhluk terbatas dan Tuhan tidak terbatas. Karenya manusia hanya terus bersyukur karena hanya bisa menjalani hidup yang Tuhan punya.Â
Untuk sampai pada pemahaman ini perlu sebening iman yang akan menolong budi dan dapat menjelaskan semuanya agar segala yang bernafas menyadari arti dari syukur karena Providentia Dei (Penyelenggaraan Allah) bagi hidup dan kehidupan manusia. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI