Ini cerita sesungguhnya, tanpa ada editan dan settingan, bukan maksud untuk menyombongkan diri atau sesumbar, yang kami ketahui adalah banyakdiluar sana yang jauh lebih maju dari kami dan tidak sedikit dari kami yang masih berkutat dengan rutinitas pekerjaan dengan absensi tiada henti. Pembelajaran menjadi seorang wirausaha bukan hal mudah, bukan hal gampang, jatuh bangun, bangkit lagi merupakn hal yang biasa dan harus kuat. Disinilah kita belajar bagaimana membuat usaha kita maju dari titik nol menjadi bernilai (tidak hanya dengan materi tetapi juga dari  manfaat membuka lapangan pekerjaan).Â
Disinilah kami belajar menerima dan menanggapi complain dengan motivasi harus menjadi lebih  baik lagi, complain tidak serta merta membuat usaha kita jalan ditempat, tetapi menjadikan usaha kita makin maju dan berkembang, cibiran, celotehan orang lain abaikan jikalau itu buat usaha kita terpuruk, akan tetapi jikalau cibiran itu membuat kita lebih bergairah menjalankan usah dengan lebih semangat maka berjuanglah, usaha tidak harus langsung besar akan tetapi dia berjalan seiiring dengan pembelajaran si empunya nya agar menjadi berkembang dan bertumbuh menjadi besar. Belajar menjadi seorang CEO atau pemilik juga tidak mudah, mengatur manajemen, mengatur bagaiamana pekerja, bagaimana dengan konsumen, bagaimana dengan sesama usaha (saingan bisnis) berkompetisi secara baik, itu semua kita dapatkan ketika usaha dimulia bukan hanya dipikirkan. Terbukti modal kecil dengan gigih dan semangat, akan menjadi usaha yang  bergairah, didukung doa dan usaha. Serta dukungan istriku Rizqa Suyanna dan anakku Alisharkan.
Awal pertemuan kami sangat singkat dengan si benda mati ini, hanya ide cemerlang dari seorang mantan pacaraku, dan sekarang gelarnya berubah menjadi ibu bagi anak-anak ku,dia bercetus, akapan lagi kalau bukan sekarang kita memiliki usaha sendiri yah (panggilan ku dirumah karena telah menjadi seorang ayah). Kalu bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan sendiri siapa lagi, apa sanggup hanya melihat orang lain sukses dengan merintis usahanya sendiri yang dimulai dari usia muda, apa sanggup hanya menerima gaji dari bekerja sebagai karyawan swasta. Ada nasehat bijak mengatakan, sebesar-besar nya jabatan dan gaji yang kamu peroleh di perusahaan orang lain, kamu tetap anak buah, akan tetapi sekecil-kecilnya gaji di usah sendiri kamu adalah bossnya. Hati kecil ku dan pemikiran ku mulai gundah gulana, benar juga kata istriku ini, usaha tidak harus yang skala besar, tidak harus bermodal besar, tidak harus punya nama belakang besar (bakrie,tanjung ataupun kalla…) hehehe….. so what I do,
Kami tinggal di kota kecil sebuuah kotamadya yaitu kota Lhokseumawe di provinsi Aceh. Kota yang memiliki jumlah penduduk sekitar 179.807 jiwa dengan luas 181 km². Kota ini berada persis di tengah-tengah jalur timur sumatera. Berada di antara banda Aceh dan Medan. Kota kami merupakan kota dataran rendah, sangat dekat dengan pantai. Dengan melihat kondisi geografis, kondisi ekonomi jadi saya harus berpikir ulang usaha apa yang bisa dirintis dengan niat mencari rezeki akan tetapi tidak hancur di tengah jalan, bisa berjuang bersama menjemput impian-impian kami, bisa membangun ekonomi masyarakat juga bisa sebagai jembatan dalam merintis usaha-usah kami yang lain.
Aku dan istriku mulai mencari usaha apa yang harus kami rintis, harus kami miliki dan ada passion dibidangnya. Karena saya dan istri memang tidak memiliki  darah pedagang atau insting pedagang, atau hobi positif yang bisa dijadikan lahan dalam meraup rezeki. Maka semangat membara dalam membuka usaha itu tidak semudah membalikkan telapak tangan atau semudah mencari referensi usaha yang akan kita buka di situs pencari google, terhalang takut rugi, terhalang tidak ada konsumen, terhalang modal tidak cukup, dll. Akan tetapi ALLAH SWT memberikan jalan lain, inilah namanya dipermudah.Â
Suatu ketika telepon berdering, isinya ada seorang teman kami ingin menjual benda mati yang kita sebut papan bunga. (Bergumam apa itu papan bunga…?) Ketika share dengan istri, maka istriku ingin melihat terlebih dahulu papannya gimana, singkat cerita ada 12 buah papan lengkap dengan bunga yang sudah tersusun rapi, dibuka harga senilai Rp.20 juta, awalnya kami sontak terkejut bagitu mahal (dalam hati saya juga tidak tahu harga pasaran untuk nilai beli harga sebuah papan bunga dan kaki untuk berdirinya). Denga anggapan kami menawar 1 papan senilai 1 juta, maka 12 papan kami tawar 12 juta, Dengan asumsi bahwa itu harga yang pantas maka tawaran papan bunga itu kami ambil dan mulailah kami memiliki 12 buah papan bunga dengan minim ilmu merangkai, menyusun bunga.
Disinilah awal ujian yang berbuah manis, belum genap 2 hari, istilahnya belum paham benar bagaiman ilmu merangkai bunga atau ilmu menyusun sehingga menghasilkan papan bunga yang cantik dan rapi agar menhasilkan papan bunga yang rapi, menarik dan tidak asal. Ada masuk job atau pekerjaan untuk papan double (istilah papan yang dipasang ganda) dari kepala dinas kesehatan Aceh Utara, untuk segera membuat papan perkawinan di hari pemasangan seminggu kemudian, Pada akhirnya papan selesai dengan segenap daya upaya bersama istri dibantu oleh seorang family, dimana papan yang biasanya selesai 1 jam, karena kami baru maka papan kami siapkan 3 hari, iya 3 hari dengan gambran, cabut,pasang,cabut dan pasang, hahahahahaha yaa 3 hari.
Singkat cerita sekarang ini kami telah memiliki 3 orang perangkai bunga, seorang supir pengantar dan 1 orang bagian penerima pekerjaan atau disebut custumer service. Berawal merangkai sendiri, Alhamdulillah berkembang, dan memiliki pekerja. Insya ALLAH jikalau ada rezekinya kami akan mencoba membuka usaha cuci ……. (masih rahasi negara) hahahaha… doakan semua ya para kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H