Air mataku tumpah, ketika di pagi hari membuka handphone dan mendapati postingan meletusnya Gunung Lewotobi. Gunung kembar ini pun ( yg laki laki) akhirnya meruak memuntahkan semua material dari perutnya.
Lahar panas, bebatuan dan pasir, serta abu vulkanik dimuntahkan tepatnya di jam 12 tengah malam. Kilat petir, tanah terbelah membuat ngeri... seakan kiamat datang menjemput...
Aku terdiam sambil menjerit dalam hati melihat postingan-postingan, kaka ade berlarian mencari keluarganya,
Rumah-rumah rubuh tertimbun dan terbakar karena lahar panas, kebun dan ladang ditutupi abu vulkanik serta bebatuan besar, insan manusia berhamburan menghindar mencari kenyamanan.
Semua berlarian dengan pakaian di badan. Tepatnya di jam 12.00, tengah malam, gelap gulita, berlari dalam gelap sembari dikejar lahar, menghindari bebatuan sambil dihujani abu fulkanik. Tak sanggup kulukiskan. Dan yang membuatku semakin teriris adalah postingan ini dari lembah Hokeng Klatanlo, desa kecil yang selama ini bersandar dengan nyaman dibawah puncak Lewotobi.
Kurang lebih 4 tahun aku di sini..di lembah ini. Lembah Hokeng yang subur dan indah, sangat dingin dan sejuk. Kopi dan hasil perkebunan lainnya, terhampar di depan mata, sayuran,buah buahan sebagai hasil ladang subur bersemi di sini. Apapun yang di tanam pasti bertumbuh baik berkat air sejuk nan diingin dari kaki bukit. Bunga bunga memanjakan mata dan membuat betah ditambah lagi kesunyian alamnya yg khas,tempat sakral buat merenung dan berefleksi.
Aku di sini berteman dengan alamnya, dengan para suster, para seminaris, para siswa beserta warganya. Lebih banyak waktuku di dalam tembok biara ini tempat aku ditempa. Â Dari gadia manja menjadi seorang pejuang, dicintai, dikasihi dengan cara unik oleh sosok berjubah dan berkerudung.
 Tempat yang damai untuk mereguk kasih Tuhan dan menyelami karya SSpS.. Aku akhirnya menjadi anggota, anak darinya SSpS kurang lebih 4 tahun itu. Setiap kenangan dalam Lorong-lorong kehidupan disini, masih terukir. Hingga detik ini, semua kenangan masih tersimpan baik. kerohanian,kelembutan,kerjakeras,keramahan dan kelimpahan kasih, hidup di sini dalam nubari dan nadiku.
Bekal yang diberikan, mekar bersama tarikan nafasku. Dari lembah ini terlahir para misionaris, para imam, para frater, dan para awam misionaris. Sungguh pilu ketika yang terlihat dan tersisa adalah kesunyian kampung, tumpukan bebatuan,abu vulkanik,api yg berkobar menghanguskan rumah-rumah .serta tangisan dan jeritan.
Melihat tembok megah yg runtuh ini serta terbakar, membuatku membisu, mendengar para siswa seminaris diungsikan aku termenung dan wajah suster serta yg lainnya pergi membuatku menangis, menghapus sendiri titik-titik air mataku karna memang, dulu, aku dikasihi dari jemari suci mereka. Warga yang Klatanlo yang ramah, menyisahkan kenangan bagaimana kami diterima dengan kasih dalam setiap kunjungan. Sakit betul hati ini.. Kenapa harus di sini. Aku terus bertanya tanya..
Suster selamat jalan, para tetanggaku dulu di klatanlo selamat jalan, Tuhan membukakan pintu surga bagimu. duka lembah hokeng sedang diratapi. Dalam doaku, kiranya semua dikuatkan, ditabahkan dan bisa kembali ke kampung halaman lagi. Semoga banyak yang diketuk hatinya untuk membantu dan mengulurkan tangan kasihnya. Tuhan tak pernah ingkar janji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H