Mohon tunggu...
Vino Warsono
Vino Warsono Mohon Tunggu... -

Kelahiran 30 Juni/5 Sya'ban 1399 di Kaplongan Lor, Karangampel, Indramayu. Pernah diterima kuliah di Sospol UNDIP Semarang dan kuliah Bisnis di UNTAG Cirebon. Pernah bergabung dalam partai PPP & PAN. Pernah memimpin beberapa Ormas (Islam & Umum). Pernah aktif menulis Sastra untuk Majalah Muslimah, Mitra Dialog Cirebon-Pikiran Rakyat Group, dan Cirebon FM (2001-2004). Pernah bekerja sebagai Waiter, Pramuniaga, dan menjadi seorang Manager di sebuah Perusahaan Retail Swasta Nasional. Sekarang sedang membangun sebuah usaha dalam bidang Olahraga (Vino Sportainment Store) sebagai seorang Entrepreneur

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perjamuan Air Mata (1)

28 November 2009   05:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:10 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kemudian ia juga menatap rumah mungil dengan halaman yang luas dengan jalan setapak yang indah, menggambarkan resapan legit dan halusnya tutur rancang bahasa, seperti puisi yang menggabungkan irama sajak dengan keluasan arti.

Kebahagiaan malam berlangsung begitu damai melewati puri-puri bintang malam rembulan yang menyongsong fajar. Alam mencurahi perasaannya kepada pagi, dan gegaungan adzan yang melambangkan titah bibir Tuhan pada ummat manusia untuk menyibak hari dengan ketaatan.

Andi menghadapkan wajahnya ke arah suara nyanyian subuh untuk kemudian melaksanakan kewajiban atas nama penciptanya. Jiwanya dibangunkan oleh cahaya yang menyinari batinnya. Andi memunguti lidah kesunyian nirwana, meski kelaparan mencengkram dan menggerogoti tulang rusuknya, namun itu semua dilaluinya dengan penuh kekhusyukan. Pikirannya telah terbusana dengan sutra, dan setiap jemarinya dihiasi permata berharga yang hanya ia sanggup dapatkan dari kerelaan atas Tuhannya.

Pagi yang menyejukkan mata terpantulkan melalui warna-warna dan garis embun. Andi meneropongkan pandangannya keluar jendela, menerobos langit yang masih dihiasi bintang-bintang yang sedang berusaha berlari-lari menyumputkan tubuhnya dari kerlipan matahari.

Sejenak jiwanya hening sebelum sentuhan udara hangat membelai lamunan jendela persinggahannya. Didengarnya sapaan halus menderai renyah pada indera pendengaran Andi. Sesaat kemudian Andi menoleh ke arah muasal sapaan halus itu, dikembangkannya senyuman ke arah perawan di depannya, seperti senyuman pangeran menguntai wangi seorang putri tercantik. Perawan pun menyambutnya dengan semburat semu kekuningan pipinya, sembari mendekatkan dirinya pada Andi, ia lontarkan kembali senyum serta uraian ombak rambut temarumnya.

Setelah perawan tersebut duduk di sisi Andi, mulailah percakapan hangat antara keduanya. “Engkau terlahir begitu mempesona, biar rembulan bergabung dengan bebintangan, sinarnya takkan mampu menandingi kebeningan cintamu. Apakah engkau menghasrat cinta? Selayaknya aku ini menjelma sebagai insan yang berkelana sendiri, bertudung kesunyian yang membalut setiap pembuluh rindu. Apakah engkau hendak mengantarkan pendulum rindumu, menghadirkannya untuk diriku? Andaikan benar yang engkau hasrat adalah romanku, maka benarlah penyatuan antara diriku dan dirimu, segera membentuk gugusan prosa, laiknya cerita pertemuan Adam-Hawa di bukit ‘Arafah.”

Tita (nama perawan di sisi Andi tersebut) terdiam sejenak, merasakan seolah kehidupannya mengalir bersama-sama derai air sungai yang menuju melalui muara sebelum pertemuannya kembali di hamparan laut terluas.

Tita mulai memintal kata-katanya, “Aku adalah kesendirian yang terpatung di kedalaman senja, redup sinarnya. Aku telah terbata pada riak angin, di situlah persuaanku menepi perlahan, mendamparkan jiwaku di seonggok sunyi. Bila engkau hadir untuk membelah sepiku, akan aku sambut mentarimu dengan nyanyian pagiku, karena jauh sebelumnya, sebenarnya akulah yang terlebih dahulu mendamba segala eposmu.”

Pergenangan siangpun tak terasa telah berlari surut menyusu ke pematangannya. Sebelum senja lindap kembali, Tita mengajak Andi untuk bersua dan bercengkrama, menabirkan angin di pelataran.

Tita mendesahkan kepuitisannya, “Tertarikkah engkau terhadap alam yang terpantulkan keindahannya dari pusara air laut itu? Tidakkah engkau melihatnya itu sebagai anugerah Tuhan untuk setiap sudut tatapan mata kita? Seperti itulah kelahiran cintaku ini padamu, takkan lelah mengakasih, sepanjang zaman masih tetap menyembulkan nafas kehidupannya, aku akan selalu mencintaimu bersama rangkaian sukmaku.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun