“Kata-kata tidak lain hanyalah ‘bayangan’ dari kenyataan. Kata-kata merupakan cabang dari kenyataan. Apabila ‘bayangan’ saja dapat menawan hati, betapa mempesona kekuatan kenyataan yang ada di balik bayangan!. Kata-kata hanyalah pra-teks, aspek simpatilah yang dapat menarik hati orang pada orang lain, bukan kata-kata. Walaupun manusia dapat melihat ribuan mukjizat yang dimiliki seorang nabi atau seorang suci, hal itu tidak akan membawa keuntungan baginya sama sekali apabila dia tidak memiliki simpati kepada nabi ataupun orang suci itu. Unsur simpati itulah yang dapat mengguncangkan dan menggelisahkan seseorang. Apabila tidak terdapat unsur simpati warna gading padi pada batang padi, maka padi itu tidak akan dipesonakan warna gading. Meskipun begitu, simpati yang memiliki kekuatan dahsyat itu tidak dapat diindera oleh seseorang.
Itulah salah satu pernyataan dari seorang penyair, filosof, sastrawan besar Jalaluddin Rumi, yang banyak dikenal pula oleh tidak hanya sebagian orang atau kelompok, golongan, sebagai salah seorang tokoh sufi islam termasyhur, berkat karya-karya sastranya, yang dengan lirihnya mendendangkan cinta tiada tara kepada-Nya. Cinta dan rindu yang tiada akhir, ketulusan yang tanpa batas ke hadirat sang Khaliq. Suatu hasrat untuk melebur menjadi satu—fana—dengan tuhan.
Bagi pembaca yang sekaligus pecinta sastra tentunya tidak akan merasa asing, menyimak ungkapan-ungkapan kata yang mengkalimat di atas, ini dikutip dari sebuah buku yang terjemahan Inggrisnya, “Signs of the unseen ; the discourses of Jalaluddin Rumi”, karya ini merupakan terjemahan dari nas asli Persia yang disunting oleh Prof. Badi’uzzaman Furuzanfar yang berjudul “Fihi ma fihi” yang pernah diterbitkan majelis press di Teheran. Pada tahun 1330h/1952m dalam bahasa Arab. Dan sekarang ini sudah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia dengan mengambil judul “Yang mengenal dirinya yang mengenal Tuhannya : Aforisme-aforisme sufistik Jalaluddin Rumi”.
Jalaluddin Rumi lahir di Balkhi, sebuah kota yang terletak dalam wilayah perbatasan Afganistan bagian utara, pada tahun 1207m. Ayahnya seorang yang terdidik yang mendapat kedudukan terhormat sebagai salah satu pemimpin teologi dan guru sufisme, bernama lengkap Jalaluddin Baha’uddin Muhammad yang kemudian lebih dikenal dengan nama Baha Walad. Dari ayahnyalah Jalaluddin Rumi banyak mendapatkan pengajaran tentang ilmu-ilmu klasik Arab dan Persia dan banyak lagi ajaran agama islam yang Jalaluddin Rumi dapatkan berkat pengaruh besar ayahnya tersebut.
Jalaluddin Rumi juga mendalami kitab suci Al-Qur’an, baik dari segi pembacaan, penjelasan ataupun penafsirannya, sampai kepada cabang ilmu fiqih islam dan hadits-hadits nabi yang Jalaluddin Rumi tunjukkan melalui karya-karyanya yang termasyhur dan mendalam.
Sekitar tahun 1218/1219m, ayahnya beserta Jalaluddin Rumi dan keluarga mengungsi ke Turki Seljuq, sebelum penyerbuan bangsa Mongol ke kota Balkhi. Di Konya (Turki) ayahnya—Baha’uddin Walad—menjadi seorang khatib yang memberikan pengajaran kepada masyarakat setempat dan dari luar wilayah tersebut, sehingga mendapat julukan “Sultan kaum terpelajar”. Ayahnya wafat pada Januari 1231m di kota Konya, dan Jalaluddin Rumi menggantikan posisi ayahnya sebagai khatib di kota tersebut.
Dalam perjalanannya yang kemudian menjelma sebagai seorang sufi, tak terlepas dari bimbingan Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq dari Termez, salah seorang murid ayahnya yang pada gilirannya mengenalkan pada Jalaluddin Rumi ke dalam kehidupan spiritual yang penuh misteri. Jalaluddin Rumi sangat tertarik dan mengagumi karya-karya puisi Arab Al-Mutanabi, hingga dalam setiap kesempatan Jalaluddin Rumi sering mengutip bai-bait puisi dari Al-Mutanabi ke dalam karya-karyanya, di antara karya terpopulernya adalah Matsnawi dan Diwan.
Pada bulan Oktober 1244m, Jalaluddin Rumi berjumpa dengan sesosok yang misterius dipenuhi dengan teka-teki, dia adalah seorang Darwisy (pengelana) bernama Syamsuddin Muhammad dari Tabriz. Di sebuah penginapan milik seorang saudagar gula Jalaluddin Rumi bertemu dengan Darwisy itu, ketika Jalaluddin Rumi berkendaraan dengan sekelompok orang yang terpelajar yang secara kebetulan melewati penginapan milik saudagar gula tersebut. Saat itu Syamsuddin muncul dan memegang kendali kuda Jalaluddin Rumi dan mengajukan satu pertanyaan, “wahai pemimpin muslim, manakah yang lebih agung, Bayazid-Abu Yazid Al-Bustami, dari Korasan, atau nabi Muhammad?”. Jalaluddin Rumi menjawab. “Sungguh sebuah pertanyaan yang sulit, bagaikan tujuh Syurga hancur terkoyak-koyak dan jatuh berantakan ke bumi. Kebakaran besar muncul dalam diriku dan menimbulkan api ke otakku. Dari sana aku melihat gumpalan asap mencapai tiang-tiang singgasana tuhan. Nabi adalah sosok yang paling agung dari seluruh ummat manusia, mengapa mesti membicarakan dan membandingkan dengan Bayazid?... kehausan Bayazid telah terpuaskan hanya dengan satu tegukan itu. Dia akan mengatakan telah cukup dengan satu tegukan itu. Kendi pemahamannya telah terisi. Pencahayaanya hanya sebanyak yang muncul melalui cahaya langit dan rumahnya. Nabi, pada sisi lain meminta agar diberi lebih banyak untuk minum dan selalu merasa kahausan. Dia berbicara tentang kehausan dan bahkan terus memohon agar ditarik lebih mendekat.
Semenjak pertemuan itulah Jalaluddin Rumi dan Syamsuddin menjadi lebih dekat dan sering bercengkrama. Bahkan selama kurang lebih selama tiga bulan lamanya, mereka mengasingkan diri dari keramaian, siang dan malam. Demi untuk merasakan persamaan, tak ada seorang pun yang melihat keberadaan mereka berdua. Dan murid-murid Jalaluddin Rumi sendiri tak pernah berani mengusik dan mengganggu kebesaran antara keduanya.
Suatu hari setelah merayakan pertemuan keduanya, tiba-tiba Syamsuddin menghilang dan sempat membuat perasaan Jalaluddin Rumi seakan kesepian dan putus asa. Lalu Jalaluddin Rumi meminta putra tertuanya Sultan Walad untuk membawa kembali Syamsuddin ke kota Konya. Akhirnya Syamsuddin dapat ditemukan dan menetap di rumah Jalaluddin Rumi, dan menikahi salah seorang pelayan rumah yang tergolong masih muda.
Pada 1248 Syamsuddin untuk kedua kalinya kembali menghilang. Jalaluddin Rumi, dengan kepergiannya kali ini, sampai dia rela mencari sendiri, pargi ke Syiria sebanyak dua kali, hanya untuk menemukan sahabatnya itu. Jalaluddin Rumi sadar bahwa Syamsuddin tidak mungkin lagi ditemukan, baik secara fisik maupun metaforik. Akhirnya Jalaluddin Rumi memutuskan untuk lebih mencari diri Syamsuddin “yang nyata” dalam dirinya sendiri, karena, meski raga mereka terpisah, akan tetapi jiwa dan hati mereka selamanya.