Mohon tunggu...
Vinnie Gabriel
Vinnie Gabriel Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Resume Studi Eksploratif Pengkomunikasian Resiko Vaksin Lima Dasar Lengkap di Wilayah Pedesaan

15 September 2017   23:21 Diperbarui: 16 September 2017   01:34 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesadaran warga di wilayah pedesaan masih rendah mengenai vaksin lima dasar lengkap untuk balita dan batita yaitu vaksin Hepatitis B, BCG untuk mencegah penyakit TBC, DPT, Polio, dan Hepatitis A. Latar belakang masalah dari diadakannya penelitian tersebut adalah karena historis program pemerintah pengendalian penyakit melalui imunisasi, peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 42 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan imunisasi dari lingkup pusat hingga lingkup terkecil (desa), kader asuh yang menjadu ujung tombak bagi keberhasilan program imuniasi, adanya pro dan kontra terhadap vaksin, dan sikap yang muncul terhadap vaksin yang diperantarai oleh persepsi masyarakat terhadap resiko dan penggunaan vaksin. 

Pemerintah mulai mengharuskan vaksinasi terutama untuk balita dan batita pada tahun 1970. Perancangan program yang dilakukan oleh pemerintah tidak langsung mengerahkan puskesmas untuk terjun langsung ke masyarakat tetapi membentuk posyandu kemudian dibawah posyandu tersebut ada kader-kader posyandu atau kader asuh.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yun Fitrahyati Laturrakhmi, Sinta Swastikawara dan Nilam Wardasari fokus kepada bagaimana kader asuh tersebut menjadi ujung tombak dalam setiap pelaksanaan program vaksinasi meskipun pada kenyataannya kader asuh bukan hanya menjadi mercusuar dalam program vaksinasi.

Mulai muncul berbagai polemik pro kontra dari masyakarat maupun di lingkup new media mengenai vaksinasi tersebut bagus atau tidak, halal atau tidak dan benar atau tidak untuk diberikan kepada balita dan batita. Kader asuh tersebut perlu menghadapi berbagai polemik yang terjadi mengenai isu-isu dari vaksinasi itu sendiri. Peneliti tersebut menggunakan pemetaan kajian dalam komunikasi kesehatan pada level individu dengan menggunakan expectancy value theories, social cognitive theory, elaboration likelihood model, dan heuristic system model. 

Risk communication dalam komunikasi kesehatan sendiri menggunan trust determination untuk mengetahui kemungkinan bagaimana cara membangun kepercayaan dari masyarakat kemudian berbicara mengenai persepsi dan resiko yang ada di benak masyarakat dan gangguan-gangguan secara perseptual yang berhubungan dengan bagaimana masyarakat memahami mengenai resiko dari vaksinasi itu sendiri dan bagaimana sebuah pesan lebih banyak mengandung unsur negatifnya daripada unsur positifnya bagi masyarakat (trust determination, risk perception, mental noise, negative dominance).

Wilayah penelitian yang dilakukan cukup jauh dari wilayah perkotaan yaitu bertempat di Desa Gendro, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur (mendekati arah Gunung Bromo). Akan tetapi wilayah tersebut tidak terlalu tertinggal karena merupakan area wisata sehingga dapat membantu perkembangan wilayah tersebut. Meskipun demikian, akses informasi yang mereka dapatkan tidak terlalu bagus dibandingkan dengan perkotaan karena masyarakat setempat mengaskses informasi kebanyakan melalui media televisi daripada internet dan rendahnya tingkat pendidikan di wilayah tersebut karena masyarakat setempat merasa bahwa pendidikan hingga SD (Sekolah Dasar) saja sudah cukup baik serta rendahnya health literacy.

Metodologi yang digunakan adalah wawancara mendalam. Dari hasil penelitian tersebut memang kader asuh merupakan ujung tombaknya karena semua pertanyaan yang dilontarkan oleh masyarakat setempat ditanyakan kepada kader-kader asuh. Pertanyaan-pertanyaan sederhana misalnya adalah apakah itu imunisasi, gunanya untuk apa, apakah nanti anak-anak tidak akan terkena gangguan mental setelah diimunisasi dan setelah dilakukan imuniasi suhu tubuh anak-anak menjadi tinggi (panas) kemudian sakit. Oleh sebab itu kader asuh berperan penting dalam hal ini untuk merubah persepsi masyarakat mengenai imunisasi sehingga dapat memunculkan trust determination dan meminimalisir negative dominance serta miss perceptiondari pesan mengenai vaksinasi yang disampaikan oleh kader asuh.

Kader-kader asuh tersebut tidak semuanya memiliki pendidikan yang tinggi atau baik tetapi semua kader asuh ini memiliki niat untuk menjadi kader asuh agar semua balita dan batita mendapatkan lima dasar vaksinasi yang penting untuk kesehatannya dengan cara menghampiri rumah-rumah yang memiliki balita dan batita untuk diajak melakukan imunisasi di posyandu. Bahkan ada beberapa kader asuh yang sampai memaksa untuk membawa anak-anak tanpa orangtuanya untuk dibawa ke posyandu guna melakukan imunisasi secara "paksa". Pada kenyataannya proses pendekatan yang cukup "memaksa" seperti itu menjadi efektif karena ibu-ibu yang tadinya tidak berkenan anaknya untuk diimunisasi menjadi sadar dan mengubah persepsinya yang tadinya berpikir bahwa setelah diimunisasi anaknya akan sakit seperti suhu badan yang tinggi (panas) tetapi ternyata anaknya menjadi lebih sehat setelah melakukan vaksinasi.

Beberapa orang tua yang masih belum menyetujui anaknya untuk divaksinasi diberi penjelasan oleh kader asuh dengan cara memberikan sebuah studi kasus. Studi kasus tersebut adalah mencontohkan bahwa di desa lainyang sangat lebih terpelosok ada seorang anak yang tidak diimunisasi kemudian menderita penyakit polio sehingga tidak dapat bejalan dengan baik.

Pada akhirnya yang sangat berperan pada proses vaksinasi pada desa tersebut adalah kader asuh itu sendiri, padahal perhatian dari pemerintah kepada kader asuh sangat rendah dengan melihat gajinya yang hanya menerima dua puluh lima ribu rupiah per bulannya dengan tantangan-tantangan yang harus mereka hadapi. Kesimpulannya, bidan dan pamong desa harus mendukung penuh apa yang dilakukan oleh kader asuh mengenai vaksinasi untuk kesehatan anak-anak. Risk communication berbasis ancaman karena kurangnya pengetahuan sehingga diperlu dipaparkan contoh kasus dan ancaman. Kader asuh berperan sebagai fasilitator komunikasi kepada masyarakat dan kader asuh berperan sebagai jembatan penghubung antara bidan desa dengan masyarakat setempat dan menjadi kunci utama dama penyampaian informasi kesehatan yang sifatnya sederhana.

Selain itu, karakteristik masyarakat sangat mempengaruhi strategi yang harus dilakukan oleh bidan dan kader asuh dalam pengkomunikasian vaksin lima dasar lengkap. Latar belakang pendidikan kader asuh sangat penting karena memiliki dampak terhadap penerimaan informasi oleh masyarakat. Bidan dan perangkat desa memiliki peranan penting untuk menjadi sokongan utama bagi kerja kader asuh dalam pengkomunikasian vaksin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun