Mohon tunggu...
Prila
Prila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Mahasiswi Hubungan Internasional | Universitas Muhammadiyah Yogyakarta | Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebangkitan Kembali Great Power Politik Luar Negeri Rusia Era Presiden Vladimir Putin

3 Juli 2023   09:18 Diperbarui: 3 Juli 2023   09:21 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ali Muhammad, Ph.D adalah dosen di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pendidikan Strata Satu (S1) didapatkan dari Departemen Hubungan Internasional, UGM (1995). Kemudian meraih gelar Master (M.A.) di bidang Ilmu Hubungan Internasional dari The Australian National University (2001). Ali Muhammad meraih gelar Doktor Ilmu Politik dari International Islamic University Malaysia (2011). Selama menjadi dosen di HI UMY, ia pernah diberi amanah menjadi Ketua Program Studi (Prodi) HI UMY (2011-2013) dan juga sempat menjadi Dekan FISIPOL UMY (2013-2017). Saat ini telah menulis beberapa buku seperti West Papuan Secessionist Movement: Origins, Policy and Dialogue, Co-author dengan Diah Mutiarin dan Neles Tebay. Lap Lambert (2013); Indonesia's Experience in the War on Terror (Yogyakarta: Phinisi Press, 2015); Keamanan Asia Tenggara: Antara Konflik Kerjasama dan Pengaruh Negara-Negara Besar, co-author dengan Ali Maksum (Yogyakarta: LP3M, 2016); Supranasionalisme Uni Eropa: Institusi, Kebijakan, Dan Hubungan Internasional (Yogyakarta: LP3M, 2017); Masyarakat ASEAN: Problematika, Tantangan dan Strategi (co-editor dengan Dian Azmawati) (Yogyakarta: LP3M, 2018); Dasar-Dasar Ilmu Hubungan Internasional (Pustaka Pelajar, 2019).

Dra. Mutia Hariati Hussin, M.Si adalah dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Ia adalah alumni Ilmu Hubungan Internasional (HI) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, lulus tahun 1989. Ia meraih gelar Strata Dua (S2), Ilmu Politik, di kampus yang sama dan lulus pada tahun 2001. Semenjak bergabung di UMY, ia pernah menjadi ketua Program Studi HI UMY dari tahun 1993-1996. Selain itu, ia pernah juga diamanahi sebagai Kepala Badan Kendali Mutu UMY, dari tahun 1997-2003, kemudian menjadi Kepala Badan Penjaminan Mutu UMY, dari tahun 2008-2014.

Ahmad Sahide lahir di Bulukumba, Sulawesi-Selatan. Ia menyelesaikan pendidikan Strata Satunya (S1) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dengan mengambil jurusan Ilmu Hubungan Internasional (HI), dari 2004-2008. Pada tahun 2009, Ahmad Sahide kembali melanjutkan studinya untuk jenjang Strata Dua (S2) di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan mengambil minat Kajian Timur Tengah (KTT), selesai pada tahun 2011. Ahmad, demikian sapaannya, meraih gelar Doktor (S3) pada tahun 2016 di UGM dengan konsentrasi yang sama, Kajian Timur Tengah, Sekolah Pascasarjana, UGM. Saat ini tercatat sebagai dosen Magister Ilmu Hubungan Internasional (MIHI) UMY. Selaian menjadi akademisi, Ahmad Sahide aktif dalam dunia literasi dengan menggerakkan Komunitas Belajar Menulis (KBM). Telah banyak karya yang lahir dari jari-jarinya seperti buku Kebebasan dan Moralitas (2013), Ketegangan Politik Syiah Sunni di Timur Tengah (2013), serta Mulla Sadra, Perempuan, dan Sastra (, 2013, bunga rampai), Kekuasaan dan Moralitas (2016), dan Gejolak Politik Timur Tengah (2017), kemudian buku berjudul Demokrasi dan Moral Politik (2018). Buku terbarunya berjudul "The Arab Spring: Tantangan dan Harapan Demokratisasi," diterbitkan oleh Penerbit Kompas, 2019. Ahmad Sahide mendapatkan pernghargaan sebagai Best Presenter dalam International Conference on Social Transformation, Community and Social Development yang berlangsung di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia pada tanggal 7-9 November 2017. Pada bulan April 2018, Ahmad Sahide kembali mendapat kesempatan untuk mempresentasikan papernya yang berjudul "Donald Trump; Islamic World and Globally Political Order of Indonesian Perspective," di Istanbul, Turki, dalam International Conference on Law and Political Science (ICLPS) . Tulisan-tulisan Ahmad Sahide juga bisa dijumpai di beberapa media cetak lainnya, baik lokal maupun nasional, seperti Kedaulatan Rakyat, Bernas Jogja, Tribun Timur, Suara Muhammadiyah, www.edunews.id, dan Kompas.

Sinopsis

Buku sederhana berjudul Kebangkitan Kembali Great Power Politik Luar Negeri Rusia era Presiden Putin akhirnya bisa terbit. Tujuan utama buku ini adalah memahami dinamika politik luar negeri Rusia kontemporer. Buku ini menunjukkan bahwa Polugri Rusia era Presiden Putin dewasa ini terlihat semakin asertif di panggung dunia dan berupaya mengembalikan kembali peran sentral masa lalu sebagai great power. Walau relatif terbatas, kebangkitan sebagai great power tersebut didukung dengan kebangkitan kembali ekonomi Rusia dari keterpurukan era sebelumnya. Polugri yang semakin asertif tersebut jelas terlihat dalam sikap polugri Rusia terhadap Amerika Serikat, terhadap Uni Eropa, terhadap negara tetangga Eropa Timur, juga kepada mitranya China maupun terhadap kawasan strategis, Timur Tengah. Pembahasan buku ini dimulai dari sejarah, politik ekonomi domestik, actor-aktor polugri sampai dengan polugrinya terhadap Eropa, terhadap Amerika Serikat serta terhadap kawasan strategis Timur Tengah.

 

Pembahasan 

Bagi pemerhati masalah hubungan internasional di Eropa, Politik Luar Negeri (polugri) Rusia dewasa ini sangat menarik. Paling tidak, terdapat tiga alasan utama. Pertama, Rusia adalah pewaris negara super power, Uni Soviet. Sebagai negara pewaris, Rusia memiliki wilayah yang terluas di dunia. Negara ini juga mewarisi posisi kunci dalam politik internasional sebagai salah satu anggota tetap Dewan Keamanan - Perserikatan Bangsa Bangsa (DK-PBB) serta mewarisi arsenal senjata nuklir terbesar di dunia. Posisi geografisnya di benua Eurasia menjadikannya sebagai kekuatan sentral di Benua Eropa, Benua Asia dan dunia.

Konteks Sejarah

Membahas sejarah dan polugri Rusia sangat penting sebagai latar belakang untuk memahami polugri Rusia dewasa ini serta memahami kecenderungan di masa depan. Buku ini menunjukkan bahwa terdapat kontinuitas polugri Rusia era pra-Soviet, era Soviet dan era pasca-Soviet terlepas dari perubahan penting dalam lingkungan politik domestik yang telah dialami negara tersebut selama masa ini. Dengan membahas adanya fenomena 'kontinuitas' sejarah dalam polugri Rusia yang bahkan bisa dirunut sejak abad ke 14. Kemudian, akan ditunjukkan bahwa sejarah juga memiliki dampak bagi polugri Rusia dewasa ini, yaitu, sejarah ketidakamaman, sejarah kejayaan, serta legitimasi politik. 

Konteks Politik

Membahas kondisi politik domestik, khususnya di era Presiden Vladimir Putin. Pembahasan kondisi politik ini sangat penting mengingat konteks politik dalam negeri merupakan determinan penting terhadap perilaku politik luar negeri suatu negara. Kondisi politik dalam negeri suatu negara menginformasikan, memengaruhi, dan membatasi proses pembuatan polugri dan hasilnya. Sistem pemerintahan atau birokrasi yang dibangun dalam suatu pemerintahan akan memberikan pengaruh dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri (Coplin, 1971). Dengan mengacu kepada tulisan Oliker (2019), buku ini menunjukkan bahwa politik dalam negeri dan institusi yang sejak presiden Vladimir Putin berkuasa tahun 2000 cenderung menjadi politik yang tersentralisasi ke lembaga eksekutif. Lembaga-lembag lain yakni legislatif dan yudikatif semakin lemah serta sektor-sektor ekonomi strategis dan pemerintah daerah yang berada dalam cengekaran Kremlin. Mengutip Michael McFaul, "Presiden Vladimir Putin secara sistematis melemahkan atau menghancurkan setiap kontrol terhadap genggaman kekuasaannya, sementara pada saat yang sama memerkuat kemampuan negara untuk melanggar hak-hak konstitusional warga negara" (Faul, 2017). Dengan demikian, terdapat politik otoriterian gaya baru di Rusia. Walaupun demikian, perlu dicatat, politik Rusia jelas jauh lebih terbuka dan 'lebih demokratis' bila dibanding dengan politik era Uni Soviet yang totalitarian. 

Kebangkitan Ekonomi

Rusia, negara pewaris politik dan ideologi Uni Soviet, kini menjadi salah satu negara yang secara ekonomi dan politik menjadi ancaman bagi supremasi politik Amerika Serikat di kancah politik global. Hubungan keduanya pun tidak bisa terlepas dari bayang-bayang Perang Dingin yang berlangsung dari tahun 1947 sampai awal tahun 1990-an, tahun yang menandai berakhirnya era Perang Dingin dengan kekalahan bagi pihak Uni Soviet. Kekalahan ini bukan saja berdampak secara politik dengan pecahnya Uni Soviet menjadi banyak negara, tetapi juga sangat berdampak pada ekonominya. Buku ini mencoba melihat kebangkitan ekonomi Rusia pasca-Perang Dingin sehingga hari ini menjadi salah satu negara dengan pengaruh yang cukup besar dan disegani dunia. 

Pembuat Keputusan Polugri

Mengupas aktor-aktor dalam pembuatan keputusan polugri Rusia, Seperti dijelaskan sebelumnya, Rusia memiliki institusi formal yang relatif lemah dan sistem politik yang terus-menerus mengalami perubahan selama dua dekade terakhir. Keruntuhan Uni Soviet dan Blok Komunis membuat Federasi Rusia menciptakan keseimbangan yang rumit antara masa lalunya sebagai negara-otoriter dan harapan banyak orang untuk memiliki masa depan yang demokratis. Dengan mengacu kepada tulisan Mankoff (2009), buku ini mengupas aktor-aktor politik dalam pembuatan keputusan polugri di Rusia serta madzab-madzab yang berkembang dalam politik luar negeri. Bagian selanjutnya, akan dibahas berbagai madzab yang bersaingan di kalangan elite rusia terkait dengan posisi Rusia di panggung politik dunia. 

Polugri Terhadap Amerika Serikat 

Membahas polugri Rusia terhadap Amerika Serikat. Baik Rusia (Uni Soviet) dan Amerika Serikat (AS) keduanya merupakan dua superpower global yang bersaing dalam memperluas pengaruhnya di kancah politik global pada era Perang Dingin yang berlangsung dari tahun 1947-1991. Perang Dingin adalah perang perebutan pengaruh dan kontestasi ideologi Kapitalisme dan Komunisme yang melibatkan Amerika Serikat sebagai pemimpin dari ideologi kapitalisme dan Uni Soviet sebagai pemimpin komunisme. Berakhirnya Perang Dingin ini ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet ke dalam banyak negara dan yang tersisa adalah negara induknya, yaitu Rusia. Keruntuhan Uni Soviet ini kemudian direspons oleh Francis Fukuyama dengan menuliskan buku yang berjudul The End of History and The Last Man. Tesis Fukuyama dari bukunya ini adalah bahwa setelah Uni Soviet runtuh dan tersisa Rusia, maka persaingan ideologi telah berakhir dan tidak ada lagi ideologi global yang mampu menyaingi ideologi kapitalisme yang dipimpin oleh AS. (Francis Fukuyama, 1992). 

Namun demikian, Fukuyama tidak sepenuhnya benar dengan tesisnya tersebut. Uni Soviet memang runtuh pada awal dekade 90-an, tetapi Rusia perlahan-lahan menata dan membangun kekuatan politiknya kembali hingga menjadi salah satu negara kuat yang siap melawan hegemoni Amerika dalam kancah politik global kontemporer. Dan Rusia berani mengambil langkah dan sikap politik yang tidak hanya berbeda, tetapi berseberangan dengan Amerika. Hal ini dapat kita lihat dalam gejolak politik Timur Tengah, seperti dalam kasus Suriah dan kontestasi Iran-Arab Saudi (Ahmad Sahide, 2017). 

Ini menjadi bukti bahwa tesis Fukuyama tidak sepenuhnya benar. Uni Soviet memang bubar pada awal tahun 1990-an, tetapi Rusia mampu bangkit menjadi salah satu negara yang patut diperhitungkan oleh Amerika Serikat di kancah politik global. Bahkan Rusia bekerja sama dengan China berhasil membangun aliansi ekonomi politik global yang mengganggu tatanan ekonomi politik global yang bercorak kapitalis di bawah kepemimpinan Amerika. Rusia bahu-membahu dengan China membangun kekuatan ekonomi politik global dengan sebutan BRICS, singkatan dari Brazil, Rusia, India, China, dan South Africa (Andrew Heywood, 2017). Inilah gambaran bagaimana posisi dan nilai tawar politik Rusia di kancah politik global saat ini. Suatu bukti perjalanan dan dinamika politik yang mematahkan teori dari Francis Fukuyama dalam bukunya yang terbit setelah runtuhnya Uni Soviet sebagai tanda dari berakhirnya Perang Dingin. Rusia kini telah bangun dari tidurnya dan bersiap dalam menantang kembali Amerika Serikat dalam perebutan supremasi politik global. Maka tulisan ini hendak mengajak pembaca untuk melihat bagaimana politik luar negeri Rusia dalam menghadapi Amerika Serikat. 

Polugri Terhadap Uni Eropa

Membahas polugri Rusia terhadap Uni Eropa (UE). Sejak berdirinya dari puing-puing keruntuhan Uni Soviet pada 1991, Rusia harus merespons berbagai dinamika perkembangan politik di Benua Eropa, salah satunya adalah fenomena Uni Eropa yang semakin menguat dan meluas keanggotaannya. Keanggotannya bahkan meluas sampai ke Eropa Tengah dan Eropa Timur yang sebelumnya adalah negara-negara komunis bekas wilayah pengaruh Rusia/Uni Soviet. Dengan 28 negara anggota [minus Inggris dengan Brexit] Uni Eropa dewasa ini sudah mencakup sebagian besar benua Eropa. Dengan mengacu kepada tulisan Kulhanek (2014), buku ini menunjukkan bahwa Rusia mengakui manfaat dari kemitraan ekonomi dan politik yang kuat dengan Uni Eropa. Walaupun demikkian, Rusia juga memandang upaya Uni Eropa membangun sebuah kebijakan luar negeri bersama (Common Foreign and Security Policy) dan di bidang lainnnya telah menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Rusia. Kebijakan luar negeri Rusia yang semakin tegas di satu sisi dan penguatan politik-ekonomi Uni Eropa di sisi yang lain telah menimbulkan gesekan hubungan di beberapa aspek. 

Dari data yang ada sebenarnya cukup menarik. Dilihat dari beberapa indikator, kekuatan Rusia dibanding dengan kekuatan Uni Eropa kelihatan kurang berimbang di berbagai bidang. Rusia jelas jauh mengungguli Uni Eropa dari segi luas wilayah luas wilayah Rusia mencakup 17 juta kilometer persegi dibandingkan dengan total wilayah Uni Eropa yang hanya 4,4 juta kilometer persegi. Namun, bila dilihat dari indikator jumlah penduduk, jumlah total penduduk Uni Eropa jauh lebih banyak. Dengan 500 juta penduduk Uni Eropa adalah lebih dari tiga kali lipat dari total penduduk Rusia [yang hanya berjumlah 150 juta]. Sedangkan dari indikator ekonomi, kedanya terlihat kurang berimbang. Total Produk Domestik Bruto (PDB) Uni Eropa diperkirakan mencapai $ 18,14 triliun, dibandingkan dengan Rusia yang hanya $ 1,67 triliun. Bagi Rusia, Uni Eropa merupakan mitra ekonomi penting. Uni Eropa adalah mitra dagang utama Rusia di mana terhitung 50,3 persen dari keseluruhan omset perdagangannya pada tahun 2009. Di samping itu, negara-negara anggota Uni Eropa juga merupakan investor penting bagi Rusia. Namun bagi Uni Eropa secara keseluruhan, Rusia hanya menyumbang 11 persen dari keseluruhan impornya dan 8 persen dari ekspornya. 

Polugri Terhadap Tiongkok

Membahas polugri Rusia terhadap Tiongkok atau juga dikenal dengan Republik Rakyat China (RRC), negara dengan kekuatan ekonomi nomor dua di dunia saat ini. Polugri Rusia terhadap Tiongkok sebenarnya memiliki tingkat kesinambungan yang tinggi dengan polugri tahun-tahun terakhir era Soviet. Polugri Rusia pada akhir 1980-an dan awal 1990-an bertujuan upaya untuk memperbaiki memburuknya hubungan Moskow dengan Beijing dan kepentingan keamanan Rusia di Asia akibat konflik serta memburuknya hubungan kedua negara yang terjadi pada 1960-an. Upaya Rusia membangun fondasi kemitraan strategis dengan Tiongkok sebagian besar sudah diupayakan Rusia di era Presiden Boris Yeltsin.

 Tujuan utama pendekatan Rusia terhadap Tiongkok adalah memastikan kepentingan keamanan Rusia dan memperbaiki hubungan dengan Asia-Pasifik yang lebih luas. Pendekatan Rusia ke Tiongkok ini didasarkan pada faktor yang saling terkait antara kepentingan politik, keamanan, dan ekonomi. Rusia tertarik untuk menggunakan persaingan Great Power antara AS dan Tiongkok untuk mencapai keuntungan politik dan ekonominya sambil mempertahankan polugri yang independen. Pasca krisis politik Ukraina, strategi Rusia ini menjadi kurang realistis dan arah polugri Rusia semakin sejalan dengan Tiongkok (Kashin, 2019). Dengan mengacu tulisan Kashin (2019), mengupas polugri Rusia terhadap Tiongkok dengan membahas perkembangan polugri Rusia sejak tahu 2010, dimensi politik, dimensi pertahanan dan keamanan, dan dimensi ekonomi serta peningkatan hubungan kedua belah pihak

Polugri Terhadap Kawasan Timur Tengah

Membahas polugri Rusia terhadap kawasan Timur Tengah. Kawasan Timur Tengah merupakan kawasan yang sangat strategis. Posisi strategis Timur Tengah karena ia merupakan pertemuan tiga benua, yaitu Asia, Afrika, dan Eropa. Di samping itu, Timur Tengah kaya dengan sumber daya alam, terutama minyak. Oleh karena itu, kawasan ini selalu saja menarik dan mengundang negara-negara besar untuk menancapkan pengaruhnya demi menjaga kepentingan nasionalnya. Tidak heran, negara-negara super power seperti Amerika Serikat dan Rusia merasa penting untuk hadir dan menguasai geopolitik di kawasan kaya minyak ini. Tulisan ini mencoba menguraikan kehadiran Rusia di kancah politik pertemuan tiga benua, yakni, kawasan Timur Tengah. Sejak kapan Rusia hadir? Apa yang menjadi kepentingannya? Serta apa yang menjadi tantangan politiknya? 

Kelebihan

Buku ini menyajikan pembahasan yang menarik bagi pecinta isu Luar Negeri, para pemerhati politik Internasional serta para pengkaji Eropa. Dikemas dengan bahasa yang sudah sesuai kaidah Bahasa Indonesia. Pemilihan cover buku yang bagus. Tulisan dari buku ini juga mudah untuk dipahami. Identitas Buku yang tercantum dalam buku ini terbilang rinci. Disuguhi Daftar Singkatan, sehingga para pembaca bisa menambah wawasan. Yang bikin buku ini terlihat makin menarik, di setiap Bab terdapat quotes. Penjelasan buku ini juga di lengkapi Tabel informasi. Tidak lupa penulis mencantumkan Appendik serta Index yang berguna sebagai daftar kata atau istilah penting yang terdapat dalam buku cetakan (biasanya pada bagian akhir buku) tersusun menurut abjad yang memberikan informasi mengenai halaman tempat kata atau istilah itu ditemukan. 

Kekurangan 

 Masih ada penulisan yang typo. Menurut saya, selebihnya karya ini sudah bagus untuk dibaca khalayak umum. 

Kesimpulan 

Kebangkitan Rusia di kancah internasional tersebut telah menjadi isu penting untuk direspons karena Rusia menggemakan penegasnnya kembali sebagai negara great power yang menantang hegemoni Barat. Aspirasi Rusia yang ingin membangkitkan kebesaran masa lalu juga telah menimbulkan kekawatiraan baru tentang masa kini dan masa depan politik global. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun