Masih lekat di ingatan kita, terutama bagi para wajib pajak yang memiliki tanggung jawab dalam pelaporan harta setiap tahunnya, tentang sebuah kebijakan pemerintah yang sempat menimbulkan gonjang-ganjing di tanah air kita setahun yang lalu: Tax Amnesty. Berawal dari hebohnya penemuan harta orang-orang kaya Indonesia yang disebut dengan Panama Paper, yang kemudian berlanjut ke Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak, sampai kepada pelaksanaannya Tahap I yang dimulai pada 1 Juli 2016 sampai dengan Tahap III yang berakhir pada 31 Maret 2017.
Pada dasarnya, Tax Amnesty adalah hak dan bukan kewajiban. Karena jika tidak mau mengikutinya, kita bisa memilih untuk melakukan pembetulan SPT tahun lalu saja. Tetapi tujuan utama yang ingin dicapai oleh pemerintah sebenarnya adalah, adanya keterbukaan tentang jenis dan jumlah harta yang dimiliki setiap wajib pajaknya. Dan keterbukaan itu diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pemerintah dalam berbagai hal, misalnya saja seperti yang digadang-gadang oleh banyak pendukung program ini pada waktu itu, yaitu memulangkan dana-dana yang sengaja disembunyikan oleh orang-orang kaya itu di luar negeri atau mengawasi aliran dana yang mencurigakan yang disinyalir merupakan milik para koruptor atau transaksi gelap jenis apapun.
Namun, tentunya masih banyak di antara kita yang masih bertanya, "Kenapa baru sekarang?" atau "Kenapa pemerintah terkesan tak sabaran?". Seberapa tinggikah tingkat urgensi kebijakan ini, sehingga seolah-olah pemerintah terlihat HARUS melakukan kebijakan ini? Apakah hanya karena peristiwa Panama Paper tersebut? Artikel ini akan mencoba menjelaskan salah satu alasan yang tak banyak diketahui oleh masyarakat awam pajak pada umumnya: Automatic Exchange of Information (AEOI)
Latar Belakang
Akar dari semua keributan ini bisa kita temukan pada masa satu dekade yang lalu, tepatnya krisis keuangan global pada tahun 2008 silam. Krisis global yang bermula dari peristiwa Subprime Mortgage yang terjadi di negeri Paman Sam itu berdampak pada hampir seluruh negara di dunia, dimana terjadi perlambatan dan ketidakpastian ekonomi dunia.
Bagi negara kita sendiri, akibat dampak yang ditimbulkan oleh krisis global tersebut kita mulai membutuhkan sumber pendanaan untuk membiayai penyehatan sektor keuangan dan stimulus ekonomi untuk bangkit dari krisis. Tapi dari mana sumber pendanaan tersebut bisa didapat? Salah satunya adalah dari pajak.
Permasalahannya adalah basis pajak tergerus karena praktik penghindaran dan pengelakan pajak, yang memanfaatkan terbatasnya gerak-gerik atau akses yang dimiliki negara--dalam hal ini Dirjen Pajak--terhadap informasi keuangan yang sebenarnya dari para wajib pajak. Salah satu modus yang dipakai oleh para wajib pajak yang tidak taat ini adalah, menggeser profit dan menyimpan uang dari hasil kegiatan penumpukan kekayaannya di negara-negara suaka pajak (tax havens) atau Offshore Financial Center (OFC)
Berdasarkan sumber yang didapatkan dari BCG (Boston Consulting Group) tentang Global Wealth Market Sizing Database per tahun 2013, Swiss menempati urutan pertama dalam hal negara tujuan utama kekayaan tersebut disimpan dengan total dana mencapai 2,2 triliun US Dollar. Selanjutnya disusul Hong Kong & Singapura (1,2 triliun US Dollar), Kepulauan Channel & Dublin (1,1 triliun US Dollar), dan Karibia & Panama (1,1 triliiun US Dollar). Sisa 2,9 triliun US Dollar dari total 8,5 triliun US Dollar yang bisa dilacak, tersebar hampir merata di Britania Raya, Amerika Serikat, Dubai, Monako dan Luxemburg.
Dari informasi semacam itulah, mulai muncul ide tentang bagaimana caranya memulai pertukaran informasi keuangan secara otomatis. Dimulai dari Amerika Serikat yang menetapkan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) untuk mengatasi upaya penghindaran dan pengelakan pajak warga negaranya melalui penyembunyian aset di OFC. Kemudian semua negara G20 sepakat untuk meningkatkan kerja sama perpajakan dan memberikan mandat kepada OECD untuk menyusun model FATCA yang dapat diterapkan secara global.
Kemudian OECD dan Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes menyusun Common Reporting Standard (CRS), dengan dukungan penuh dari para negara anggota G20 yang pada akhirnya sepakat untuk menerapkan program Automatic Exchange of Financial Account Information (AEOI) berdasarkan CRS tahun 2017 atau 2018.
Keterlibatan Indonesia Dalam AEOI
Sejak tahun 2009, negara kita sebenarnya sudah mulai ikut berperan serta dalam sejarah terbentuknya AEOI ini. Dimulai pada bulan April 2009 dimana pada saat itu di G20 Leaders' London Summit ikut mendeklarasikan bahwa era kerahasiaan perbankan untuk kepentingan perpajakan telah berakhir, dan pada bulan September 2009 Indonesia bergabung menjadi salah satu anggota Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes. Dua tahun kemudian, November 2011, pemerintah Indonesia menandatangani Convention on Mutual Administrative Assitance in Tax Matters (MAC) dimana pasal 6-nya mengatur pelaksanaan AEOI.
Pada saat G20 Leaders' Saint Petersburg Summit (September 2013) Indonesia juga ikut mendukung OECD untuk menetapkan standar global untuk pelaksanaan AEOI, serta ikut berkomitmen untuk mengimplementasikan AEOI secara resiprokal berdasarkan Common Reporting Standard (CRS) mulai tahun 2017 dan 2018. Dan akhirnya, pada Juni 2015, pemerintah Indonesia menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA), sekaligus berkomitmen untuk memulai AEOI pada bulan September 2018.
Sejak saat itu, sampai saat ini sudah ada sekitar 100 negara yang berkomitmen untuk menerapkan keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Mulai pada tahun 2017 ini, sudah ada 50 negara yang bertukar informasi tersebut sampai pada saat ini. Dan sesuai kesepakatan MCAA, Indonesia baru akan memulai pertukaran informasi tersebut pada tahun 2018 bersama-sama dengan kelima puluh negara-negara lainnya yang tidak ikut pada tahun 2017, seperti Australia, Tiongkok, Hong Kong, Jepang, Malaysia, Rusia, Arab Saudi, Israel, Singapura, Swiss, dan Turki.
(Bersambung....)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H