Mohon tunggu...
Money

Inflasi: Dampaknya dan Kiat-Kiat Menghadapinya

11 Juni 2016   14:31 Diperbarui: 11 Juni 2016   14:43 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pastinya anda pernah membaca di surat kabar maupun melihat di televisi tentang istilah yang disebut dengan inflasi. Mungkin berita tersebut ada yang sifatnya seperti laporan semacam, “Bulan ini inflasi nasional sebesar x %” atau mungkin juga beritanya adalah tentang protes masyarakat atau mahasiswa yang tidak puas terhadap kinerja pemerintah dimana mereka biasanya akan membawa-bawa istilah inflasi ini.

Kelihatannya inflasi ini dipandang sebagai serious business oleh mereka, yak? Lalu bagaimana dengan anda sendiri? Atau mungkin anda termasuk mereka yang memandang bahwa angka dalam persentase tersebut hanyalah angka yang tidak akan mempengaruhi kehidupan kita? “Ah, saya masih banyak kerjaan. Ngapain mikirin hal yang harusnya dipikirin pemerintah untuk kita?”

Kenyataannya memang, sebagian besar dari masyarakat Indonesia tidak begitu mengamati pergerakan inflasi yang terjadi setiap bulannya. Minimal, pergerakan inflasi setiap tahunnya deh. Padahal inflasi dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita lho. Namun, sebelum masuk ke inti pokok bahasan artikel kali ini, mari kita cari tahu dulu pengertian umum dari inflasi.

APA ITU INFLASI?

Inflasi sendiri, menurut kaca mata awam, dapat dideskripsikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga barang di pasaran pada umumnya. Proses tersebut terjadi secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu, bisa dalam periode harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Nilai mata uang yang dimiliki sebuah negara, misalnya Indonesia dengan Rupiahnya ini, cenderung akan menurun pada saat inflasi ini terjadi. Hal tersebut kemudian akan berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat yang memiliki sejumlah uang yang sama dengan pada saat inflasi tersebut belum terjadi.

Contoh gampangnya nih. Apakah anda generasi yang lahir pada tahun 90’an awal? Masih ingat dengan harga nasi goreng pakai telur dadar diiris tipis-tipis yang dibungkus tempat makan plastik kecil yang mungkin dijual di kantin SD anda? Sekedar informasi, dulu saya membelinya dengan harga Rp 1.000,- saja. Lima belas tahun kemudian, saya bisa membeli nasi goreng dengan ciri2 yang sama di kantin kampus dengan harga Rp 5.500,- atau naik 5,5 kali lipatnya.

Dengan kata lain, inflasi seolah-olah membuat nilai barang menjadi naik dari waktu ke waktu. Namun konsep yang sebenarnya adalah bahwa nilai uang yang kita pegang pada waktu itu sudah semakin tidak berharga pada masa kini. Wah, kalau begitu inflasi itu pasti berdampak negatif terus dong ya? Hm~ Belum tentu juga lho.

Coba sesekali anda luangkan waktu mencari berita dari internet, misalnya di website koran-koran nasional yang sudah menerapkan go online, dan anda akan bisa menyaksikan bahwa negara-negara maju seperti Jepang justru terlihat pusing tujuh keliling karena negaranya nyaris tidak mempunyai inflasi, melainkan deflasi yang merupakan kebalikan konsep dari inflasi.

Sebetulnya inflasi dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif, tergantung pada tingkat inflasi yang terjadi: apakah inflasi tersebut terbilang rendah atau tinggi untuk sebuah negara? Dampak positif bisa terjadi pada tingkat inflasi yang relatif ringan. Hal itu disebabkan karena inflasi yang ‘bersahabat’ tersebut mendorong perekonomian ke arah yang lebih baik dan sehat, yaitu dengan meningkatkan pendapatan nasional. Misalnya saja, dengan indikator GDP. Para sarjana Ilmu Ekonomi Pembangunan mungkin bisa menjadi sumber yang tepat untuk bertanya lebih jauh mengenai hal ini.

Sedangkan dampak negatif dapat dirasakan ketika inflasi yang terjadi merupakan tipe yang disebut sebagai hyperinflation (inflasi yang tinggi dan cenderung tak terkontrol), dimana inflasi ini menurunkan pendapatan riil masyarakat. Umumnya hal ini akan sangat dirasakan oleh orang-orang yang memiliki pendapatan tetap, seperti karyawan atau pekerja normal, karena kenaikan harga barang menjadi lebih cepat daripada kenaikan gaji atau bayaran mereka. Sehingga, daya beli mereka terhadap produk atau jasa yang biasa mereka konsumsi sebelumnya akan melemah.

Lalu bagaimana caranya supaya kita bisa menyiasati dampak inflasi yang negatif semacam itu? Tentu saja dengan belajar bagaimana caranya untuk dapat menumbuhkan nilai uang itu sendiri, dan memiliki target minimal supaya pertambahan jumlah uang kita dalam bentuk persentase menjadi setara dengan persentase inflasi yang diprediksikan.

Misalnya saja, jika pada tahun ini kita mempunyai jumlah uang Rp 10 juta, kemudian prediksi inflasi Indonesia oleh Bank Indonesia selama setahun ini adalah 5%, maka targetkan bahwa Rp 10 juta itu tahun depan harus menjadi Rp 10,5 juta (5% x Rp 10 juta = Rp 500.000,-). Target minimal ini yang oleh beberapa praktisi investasi personal yang saya kenal secara pribadi selama ini sebut sebagai ‘batas awal melek keuangan dalam hal investasi’. Jika anda tidak bisa menambah penghasilan dari pekerjaan, minimal, anda harus bisa mencari cara supaya nilai uang anda bisa terjaga agar tetap sama seiring dengan perkembangan zaman.

BAGAIMANA CARANYA MENYIASATI DAMPAK NEGATIF INFLASI?

Salah satu caranya yang paling umum adalah, seperti yang sudah disebutkan tadi, yaitu berinvestasi. Prinsip dasarnya adalah “berinvestasilah di instrumen-instrumen investasi apapun, baik itu aset fisik maupun aset keuangan, yang dapat memberikan imbal hasil/return yang persentasenya berada di atas tingkat persentase inflasi”. Jika anda menggunakan uang anda untuk membeli instrumen investasi yang memberikan imbal hasil di bawah tingkat inflasi, maka itu tidak bisa dikatakan sebagai kegiatan ‘berinvestasi’.

Beberapa jenis investasi bisa menjadi solusi bagi para pekerja tetap yang merasa ‘tidak punya waktu’ untuk menambah jumlah pendapatannya seorang diri, misalnya saja dengan menjalankan bisnis atau usaha sampingan yang dapat memecah konsentrasinya dan mengancam etika profesionalisme nya di tempat kerja masing-masing. Untuk itulah, kita akan fokuskan saja dulu artikel ini pada aset-aset keuangan atau non-fisik.

Apakah yang penting hanya dengan berinvestasi di instrumen yang memberikan tingkat imbal hasil setinggi-tingginya? Semuanya harus kembali dulu ke tujuan keuangan, jangka waktu, dan profil risiko yang dimiliki oleh masing-masing orang, dimana ketiganya bisa saja berbeda seorang dengan yang lainnya meskipun terdapat beberapa kesamaan demografis, misalnya saja umurnya sama atau tingkat pendidikannya sama..

Secara umum, ada tiga jenis atau kelas aset keuangan yang pernah didengar walau hanya sekali oleh orang awam sekali pun ketika mereka membaca atau mendengar berita-berita ekonomi di koran maupun televisi: SAHAM, OBLIGASI/SURAT HUTANG, dan PASAR UANG. Setiap kelas aset keuangan tersebut memiliki kinerja, potensi risiko, dan rekomendasi jangka waktu investasi yang berbeda-beda. Oleh karena itulah, penting untuk mengetahui dan menetapkan ketiga hal utama di paragraf sebelumnya terlebih dahulu sebelum berinvestasi dengan benar dan tepat guna.

Apakah ketiga jenis aset keuangan tersebut bisa menjamin kita supaya kita tidak terkena dampak negatif inflasi?

Pada prinsipnya, selama aset-aset keuangan tersebut bisa memberikan imbal hasil di atas inflasi, maka jawabannya adalah iya. Terutama sekali bila berinvestasi di aset-aset keuangan yang risikonya memang tergolong rendah dan aman untuk dibeli. Contohnya saja seperti instrumen investasi di pasar uang dan pasar obligasi yang memiliki risiko rendah namun pada umumnya memiliki tingkat pengembalian yang lebih baik dari deposito bank umum. Kita bisa membeli aset-aset tersebut, baik secara langsung maupun dengan membeli ‘versi’ reksadana yang lebih terjangkau oleh kita-kita yang mungkin merasa diri ini bukan kaum para sultan pemilik ladang minyak atau tambang emas.

Namun, jika aset keuangan yang dipilih adalah saham, baik membeli saham secara langsung maupun dalam bentuk reksadana, maka sangat disarankan untuk melakukannya dengan pemikiran bahwa anda akan mengambil hasilnya dalam jangka panjang atau lebih dari sepuluh tahun. Hal ini disebabkan oleh ‘sifat alami’ pasar saham yang lebih berisiko atau fluktuatif perkembangan nilainya sehingga ada saatnya pasar saham mengalami penurunan selama beberapa tahun dalam periode sepuluh tahunan.

Bagaimana kalau kita mempunyai tujuan keuangan yang terbilang jangka pendek, tapi kita juga tidak mau nilai uang kita menjadi berada di bawah tingkat inflasi? Atau, bisa juga karena kita tidak tahu apa tujuan keuangan kita saat ini tapi tetap ingin belajar berinvestasi. Produk investasi macam apa yang bisa digunakan?

Dalam kebanyakan kasus, pertanyaan ini lebih mengarah kepada masalah likuiditas, dimana orang-orang ingin berinvestasi tapi tidak mau jika kegiatan tersebut sampai akan mengorbankan kepentingan mereka yang sewaktu-waktu butuh uang untuk kebutuhan sehari-hari yang sifatnya darurat. Jika memang anda lebih termotivasi karena ingin latihan praktik kegiatan investasi yang gampang dan aman, aset keuangan dari pasar uang maupun pasar obligasi dalam bentuk reksadana bisa menjadi pilihan terbaik untuk anda.

Silahkan hubungi Customer Service bank tempat anda masing-masing punya tabungan yang bisa digunakan untuk sekaligus melakukan investasi reksadana melalui perantara bank tersebut.

BAGAIMANA DENGAN PRODUK TABUNGAN SENDIRI? BUKANKAH ADA SLOGAN MENABUNG PANGKAL KAYA?

Produk tabungan pun, jika bank tempat kita menyimpan uang memberikan persentase bunga yang dibawah tingkat inflasi, akan menjadi sarana yang tidak optimal. Salah satu solusi mandirinya adalah dengan membagi-bagi uang pendapatan anda, berapa persen yang akan digunakan untuk menabung, untuk investasi, dan untuk kebutuhan sehari-hari secara disiplin dan dengan persetujuan dan pengawasan dari pasangan atau keluarga. Tentu saja, ini perlu keteguhan hati untuk terus melakukannya dengan konsisten dan kesadaran penuh tanpa perlu disuruh-suruh lagi.

Oh ya. Ada sedikit tambahan tentang aset keuangan berupa saham. Seperti yang sudah ditekankan baru saja, bahwa berinvestasi di aset keuangan seperti saham, baik secara langsung maupun dalam bentuk reksadana, adalah tepat untuk orientasi jangka panjang. Namun benarkah itu merupakan prinsip yang pasti?

Selain tujuan keuangan dan jangka waktu, jangan lupakan prinsip ketiga yaitu profil risiko. Mungkin saja anda punya tujuan jangka panjang, misalnya masih umur 25 tahun, tapi sudah mau melakukan persiapan dana pensiun secara mandiri tanpa harus menggantungkan nasib pada program pensiun perusahaan BUMN atau swasta yang akan atau sudah anda masuki. Umumnya, reksadana saham bisa menjadi jawaban yang tepat.

Namun demikian, apakah anda adalah orang yang termasuk toleran dengan risiko tinggi? Apakah anda yakin anda tidak akan kena asma dadakan ketika pada suatu pagi mengetahui di surat kabar bahwa pasar saham Indonesia anjlok karena ada kejadian buruk skala nasional yang tak diduga-duga? Instrumen seperti saham mempunyai satu sifat penting, yaitu imbal hasil yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua kelas instrumen yang lainnya. Tapi, dengan imbal hasil yang besar datang juga risiko yang besar.

Untuk relasi antara potensi risiko dan potensi tingkat imbal hasil yang terdapat dalam kelas-kelas aset keuangan yang ada di Indonesia, kelak akan dibahas di artikel yang berbeda.

Oleh karena itu, tolong evaluasi dulu apakah anda termasuk tipe investor yang (1) agresif, (2) moderat, atau (3) konservatif. Anda bisa melakukan pengecekan psikologis semacam ini dengan mendatangi para pakarnya, salah satunya adalah para CFP Professional yang bisa ditemukan di kota anda. Selain profil risiko, para CFP Professional juga dapat membantu anda menggali tujuan keuangan berikut jangka waktu investasi yang anda inginkan untuk meraih tujuan tersebut.

Vinko Satrio Pekerti, CFP®

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun