Mengingat kompleksitas dan polarisasi masalah, terlepas dari kelas sosial atau usia, sikap konsisten presiden terhadap penggunaan narkoba, apakah penjara seumur hidup atau hukuman mati, sangat penting. Narkoba tidak hanya menyerang kaum muda, tetapi orang-orang yang terlatih dan terdidik secara ekonomi juga bisa menjadi korban. Presiden Joko Widodo menginginkan tidak hanya keberanian, tetapi juga implementasi tindakan pencegahan yang lebih komprehensif dan terintegrasi. Presiden mewawancarai BNN, TNI, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terkait penggunaan narkoba. Tiga prinsip yang diharapkan dapat diterapkan adalah Tindakan Tegas, Menutup Kesenjangan Penyelundupan, dan Program Rehabilitasi untuk Memutus Mata Rantai Kejahatan Narkoba.
Data resmi jelas menunjukkan bahwa penggunaan narkoba dan perkembangan perdagangan gelap telah menyebar dari kota ke pedesaan di seluruh Indonesia, membunuh ribuan bahkan jutaan pengguna. Penyebarannya dapat ditemukan di berbagai lokasi yang mudah diserang oleh kelompok rentan (dari sekolah dasar hingga sekolah menengah), seperti tempat hiburan, kafe, kampus universitas, rumah kontrakan, rumah bahkan sekolah. Narkoba tersebut juga mencakup beberapa tersangka yang tergabung dalam jaringan rantai lintas batas terorganisir yang meliputi produsen, pengedar, perusahaan kurir dan konsumen, dengan sebaran 219,44 ton, akses sabu, 13,2 juta butir ekstasi, dan 140,75 ton ganja. (Movanita, 2016).
kamu tidak. Bab Sebelas 35/2009 tentang Pencegahan dan Pengendalian menyatakan dalam Pasal 64 bahwa pembentukan Badan Pengawas Obat Nasional (BNN) mengatur pembentukan Badan Pengawas Obat Nasional (BNN) sebagai lembaga non kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. . BNN berkedudukan di ibukota negara dan beroperasi pada tingkat negara bagian dan kabupaten/kota di seluruh negara kesatuan Republik Indonesia. Peran dan kewenangan BNN adalah berkoordinasi dengan instansi terkait. Meningkatkan keterampilan rehabilitasi medis dan sosial bagi masyarakat.
Untuk mengatasi "penyakit sosial" secara besar-besaran, perlu memperhatikan lingkungan sosial atau kesatuan para pelakunya. Di Indonesia, lingkungan sosial para aktor masih berada pada level paling dasar. Ini berarti penetrasi pasar yang luas, permintaan obat yang besar, dan peralatan yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Dengan kata lain, seukuran apapun alat "penghapus" itu tidak akan berkurang atau hilang jumlah dan jenisnya (ganja dan obat-obatan lain seperti heroin, kokain, morfin, ganja, ekstasi, dan sabu) (BNN, 2014)
Dalam kasus narkoba, titik penyalahgunaan masih pada tingkat konsumsi (tingkat dasar), sehingga diperlukan tindakan yang proporsional dengan kematangan sosial organisasi pelaksana. Oleh karena itu, model respon yang tepat adalah dengan menghilangkan jaringan narkoba di tingkat pengawasan (mencegah dan memberantas/menangani penyalahgunaan narkoba). Hanya ketika pelaku tidak mampu mencapai tingkat kematangan sosial berikutnya adalah tingkat tertinggi penanganan wawasan (mulai fokus pada hukum dan kerjasama, studi masalah politik dan publik)
Mengingat kejahatan narkoba merupakan kejahatan serius dan lintas batas, maka tiga perjanjian yang berkaitan dengan pengelolaan narkoba adalah: (1) Uniform Narcotics Treaty 1961 (2) the 1971 Psychotropic Substances Convention dan (3) 1988 United Nations Convention on Narcotic Narkoba dan Zat Psikotropika Umum Ini (United Nations Office on Drugs and Crime, 2018). Menurut definisi, kebijakan narkoba terutama diatur oleh undang-undang. Dasar, prinsip dan tujuan; Jenis-jenis Narkoba dan kegiatan yang berhubungan dengan Narkoba (budidaya, pergaulan, produksi, perdagangan, pengangkutan, penggunaan), ketentuan pengawasan, persyaratan pelaporan, penyidikan, penuntutan, ketentuan penyidikan peradilan, pecandu, dan gambaran umum hubungan internasional dalam kaitannya dengan negara Hukuman, pengobatan dan rehabilitasi untuk masalah pemberian obat.
Dalam konteks kegiatan BNN, kita bisa menanyakan apa kebijakan pusat penanggulangan penyalahgunaan narkoba. Artinya kegiatan tersebut dapat menekan angka penggunaan narkoba dan diprioritaskan sebagai kebijakan utama dan terpenting. Ini juga merupakan deteksi dini penyalahgunaan narkoba, sehingga hanya tindakan lain yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan bebas narkoba. Prioritas pelaksanaan kebijakan ini juga menjadi indikator efisiensi dan efektivitas.
Di tengah upaya mencapai "darurat narkoba" dan "ASEAN 2025 bebas narkoba" di tingkat regional, Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN akan menemukan cara yang efektif dan efisien untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba. Indonesia telah memiliki itikad baik dan tekad Presiden Joko Widodo untuk menegakkan peraturan perundang-undangan, serta sebagai pelaksana kebijakan dan sebagai badan resmi berbentuk kementerian, serta memiliki modal yang luar biasa. kamu tidak. 35/2009 juga membuka peluang besar untuk keterlibatan dan partisipasi sosial dalam pencegahan narkoba.
Kematangan sosial masyarakat terhadap narkoba juga harus diperhatikan agar langkah yang diambil efektif. Dalam "darurat narkoba" Indonesia, lebih tepat fokus utamanya pada upaya "menghilangkan" berbagai pihak (organisasi dan masyarakat). Memahami model-model kematangan organisasi dalam menangani narkoba yang telah diuji dalam kasus korupsi melalui studi yang dilakukan oleh International Organization of Supreme Audit Institutions (INTOSAI) di berbagai negara akan sangat membantu. Diperlukan modifikasi model yang lebih spesifik dalam konteks ancaman narkoba di Indonesia.
Referensi
BNN. (2015). Laporan Kinerja Badan Narkotika Nasional 2015. Jakarta: BNN.