Fiersa Besari atau yang akrab disapa Bung adalah seorang pria kelahiran Bandung, 3 Maret di era 90-an. Ketertarikannya pada dunia musik membuat dia beralih jauh dari statusnya yang merupakan lulusan pendidikan sastra inggris dari salah satu sekolah di Bandung. Dilansir dari beberapa artikel, setelah banyak mengekspresikan dirinya dalam dunia musik, Bung mengalami fase patah hati dan akhirnya memilih untuk mengembara berkeliling Indonesia selama beberapa bulan untuk mencari jati dirinya. Kepulangannya dari berkelana membuat ia mencintai dunia tulis-menulis.Â
Garis Waktu merupakan novel yang diluncurkan pada September 2016 yang kemudian dilanjutkan dengan novel lainnya yang berjudul 'Konspirasi Alam Semesta' pada 2017. Garis Waktu merupakan novel yang memiliki romansa cinta yang begitu kental, dengan tagline 'Sebuah Perjalanan Menghapus Luka' merupakan hasil dari karyanya selama 4 tahun ke belakang.Â
Awalnya Bung hanya menganggap cerita-ceritanya ini sebagai curahan hati. Kemudian dipadupadankan kembali hingga membentuk cerita yang berkesinambungan. 'Garis Waktu' merupakan frasa yang dinggap mampu merepresentasikan titik-titik peristiwa yang terjadi dari kumpulan karyanya ini.
Garis Waktu mengisahkan betapa menakjubkannya rasa mencintai yang dibawakan dengan sangat apik oleh sang penulis. Tokoh 'Aku' dan 'Kamu' yang tidak memiliki nama dalam novel seolah-olah membuat para pembaca dibuat langsung mengarungi ceritanya.
"Malam-malamku hanya berisi kumpulan tugas yang harus rela kubagi dengan jam tidur. Dan pagi-pagiku hanyalah repetisi membosankan untuk mengenyangkan logika. Aku lupa bahwa bintang pun bernyawa, hutan pun bernapas, dan kita diciptakan untuk melakukan hal-hal yang lebih besar dari sekadar rutinitas harian. Aku lupa bahwa kita semua terkoneksi; bahwa cinta sepatutnya menjadi bahan bakar agar kita tetap melangkah. Garis besarnya, aku lupa caranya menjadi manusia."
Ini adalah salah satu cuplikan yang bisa menggambarkan bagaimana karakter dari tokoh 'Aku'. Rutinitasnya sebagai pelajar yang menuntut 'Aku' untuk konsisten melakukannya walaupun, 'Aku' lakukan dengan setengah hati membuatnya terbiasa. Hal-hal tersebut pula yang membuat 'Aku' akhirnya tergambarkan menjadi sosok yang pasrah dan kalah dengan hidupnya sendiri. Lalu seseorang hadir dan merubah dunia 'Aku' 180 derajat tanpa permisi.Â
Dari sini pembaca akan dibawa menyelami rasa ketika 'Aku' dan 'Kamu' menjadi kita. Mulai dari pertemuan, jatuh cinta, gembira, patah hati, hingga melepaskan. Melalui orientasi kehidupan dari sosok 'Aku' yang seketika berubah ketika bertemu 'Kamu' seakan menampar keras perasaan 'Aku' dengan kedekatan mereka yang ternyata hanya sebatas pertemanan saja. Pembawaan bahasa dari novel yang banyak menggunakan majas dan sajak juga memberikan esensi tersendiri bagi para pembaca untuk tenggelam ke dalam kisahnya.
Seperti halnya dalam cuplikan-cuplikan berikut ini.
"Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau bertemu dengan satu orang yang mengubah hidupmu untuk selamanya. Kemudian, satu orang tersebut akan menjadi bagian terbesar dalam agendamu. Dan hatimu takkan memberikan pilihan apa pun kecuali jatuh cinta, biarpun logika terus berkata bahwa risiko dari jatuh cinta adalah terjerembab di dasar nestapa."
"Kau selalu mampu membuatku jujur mengenai segala hal, kecuali satu; perasaanku. Andai saja aku mampu memberitahumu. Tapi, aku terlalu takut akan reaksimu yang tidak sesuai dengan imajinasiku selama ini. Bukankah fiksi lebih meninabobokkan dibandingkan kenyataan? Bukankah kita adalah dua orang yang terlanjur menikmati berkubang dalam zona pertemanan? Tubuh kita berlumur harapan palsu. Tanganku menggapai-gapai mencari jalan keluar, sementara tanganmu mencegahku ke mana-mana."
Kisah terus bergulir dari waktu ke waktu dan cinta itu terus bertumbuh. Lalu rangsangan peristiwa dilanjutkan pada satu kesempatan ketika cintanya juga mendapatkan titik terang. Namun apa daya, setiap keputusan yang kita ambil pasti ada konsekuensi yang mau tidak mau harus kita terima. 'Aku' pun tidak tahu, apa lagi yang harus dilakukan. Hati sudah terlanjur jatuh, rasa sudah mulai tumbuh dan 'Aku' tahu jika luka masih memiliki harapan untuk sembuh.
"Pada tenangmu aku berlabuh, mengetahui sewaktu waktu ombakmu dapat mendentumku keras, namun aku tetap menambatkan jangkar. Pada jinggamu aku berlabuh, mengetahui sewaktu-waktu gelapmu dapat membutakanku, namun aku tetap menambatkan jangkar. Padamu aku berlabuh, mengetahui sewaktu-waktu kau tidak baik-baik saja, namun aku tetap menambatkan jangkar. Aku menambatkan jangkar bukan hanya untuk melihatmu sempurna. Aku menambatkan jangkar untuk melihatmu apa adanya."Â
Seperti halnya bumi yang berputar, kisah 'aku' dan 'kamu' juga seperti itu. Ada titik di mana rasa yang awalnya sudah menemukan titik terang untuk bersemi, menemukan perpotongan linear ketika kejenuhan itu mulai mendera. Dan akhirnya, hati pun harus rela mengalami momentum yang tak pernah dapat diperkirakan hadirnya.
"Pesan-pesan singkat berisi kata-kata manis untuknya, juga kemesraan kalian, sudah menjadi bukti yang cukup untuk menghancurkan apa yang kita pernah punya. Hatimu membelah diri."
"Kau mulai luluh sementara aku luluh lantak."
"Jemarimu mencengkeram kuat, mulutmu mencoba menjelaskan. Dan yang bisa kudengar hanyalah omong kosong."
Pertikaian terus berlanjut tanpa ada yang mengalah, hati yang tersakiti pun tak pernah menyerah karena cintanya tak pernah patah. Namun apa daya, tak pernah ada yang layak untuk disalahkan. Karena semua yang terjadi saat itu, memiliki sebab-akibat nya masing-masing. Hingga akhirnya 'Aku' dan 'Kamu' harus memilih takdir mereka masing-masing karena waktu terus berdetik dan hidup terus berjalan entah bersama atau tidak dengan 'Kamu'.
"Aku marah bukan berarti tak peduli, aku diam bukan berarti tak memperhatikan, aku hilang bukan berarti tak ingin dicari."Â
 "Kemarau kini sudah berubah menjadi musim penghujan. Pada suatu sore, tatkala awan kelabu sedang luruh bergemuruh, datanglah sepucuk surat berhias pita emas; terselip di pintu rumahku. Ada namamu dan namanya, bersiap mengikat janji untuk selamanya. Sementara aku, mantan kekasihmu, harus berbesar hati melihatnya memboyongmu sebagai hadiah termanis."
Secara keseluruhan novel ini banyak mengambil setting cerita secara imajinatif seperti halnya dermaga, dan rumah (diibaratkan hati untuk tempat kembali). Namun, ada juga setting cerita yang memiliki realitas seperti rumah kayu yang 'Aku' dan 'Kamu' impikan di tepi pantai. Diceritakan bahwa pada awalnya rumah itu akan menjadi tempat 'Aku' dan 'Kamu' menghabiskan sisa hidup bersama. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Sekarang rumah itu hanyalah saksi bisu dari harapan dan impian yang berstatus pernah berusaha untuk diraih.
"Pada akhirnya, jemari akan menemukan genggaman yang tepat, kepala akan menemukan bahu yang tepat, hati akan menemukan rumah yang tepat."
"Terima kasih karena telah membuatku tersenyum lebih lebar lagi ketika angin laut menerpa wajahku; membuat jantungku berdebar lebih keras lagi ketika langkahku menyusuri gunung; membuat rinduku pada kotamu lebih kuat lagi ketika aku tahu kau adalah rumah untukku."
 "Kubayangkan kita tinggal di rumah kayu sisi pantai, dengan aroma laut memenuhi udara. Hidup kita sederhana, tanpa perlu disibukkan urusan dunia maya; tanpa harus terbawa arus modernisasi."
 "Aku bisa menjadi nelayan dan kau bisa menjadi guru (jika kau mau). Di penghujung hari, kita terduduk bersama di dermaga dengan senyum di wajah kita; hingga tua, hingga salah satu dari kita dipanggil oleh-Nya. Tampaknya, berkomitmen itu bagus juga."
"Di Sisi kiriku ada rumah kayu dengan aroma laut memenuhi udara. Ini adalah tempat aku dan engkau seharusnya menghabiskan masa tua, tertawa sambil duduk di bawah pohon besar itu, dengan senja menyapu dari ujung cakrawala, dilengkapi oleh awan merah jambu laksana gula-gula kapas."
"Coba kau ingat perjuangan kita mencari dermaga yang semestinya melabuhkan kapal kita. Waktu itu kau dan aku kuat menghadang ombak dan badai. Saat ini, kau memilih untuk mendayung ke arah yang berbeda, dan aku memilih untuk mengisi perjalanan kita dengan diam."