Menonton film menjadi hal yang asyik ketika dilakukan bersama keluarga maupun dengan teman. Melalui film, kita mengetahui berbagai macam perspektif dan juga pengetahuan baru yang belum kita dapatkan sebelumnya.
Ketika kita berbicara mengenai film yang memiliki makna mendalam bagi kehidupan kita, terdapat dua film yang terlintas dipikiran saya. Film tersebut ialah “Ngenest” yang dirilis pada tahun 2015 dan “Crazy Rich Asians” yang dirilis pada tahun 2018.
Film “Ngenest” (2015) merupakan salah satu film Indonesia yang mengangkat cerita mengenai keresahan seorang Ernest Prakasa mengenai keberadaannya sebagai orang minoritas di Indonesia.
Pada film “Crazy Rich Asians” (2018), film tersebut merupakan salah satu film yang diangkat dari novel yang memiliki judul yang sama dengan filmnya.
Kesan saya ketika menonton kedua film tersebut ialah perasaan terenyuh karena kedua film tersebut sangat relatable dengan kehidupan kita. Sehingga, saya dapat mengatakan bahwa film tersebut dapat memberikan dampak yang baru bagi kehidupan kita!
Isu Perbedaan Kelas Sosial dan Budaya pada Film "Ngenest" dan "Crazy Rich Asians"
Kedua film ini memiliki isu yang sangat mirip, yaitu mengenai perbedaan kelas sosial dan budaya yang terkandung dalam film tersebut. Ke dua isu ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan kita di tengah masyarakat.
Film “Ngenest” memiliki isu yang sangat melekat dengan kehidupan kita, terutama bagaimana film tersebut dapat membuat masyarakat mengubah persepsinya mengenai etnis tionghoa.
Sedangkan, film “Crazy Rich Asians” lebih menyoroti bagaimana kelas sosial dan perbedaan budaya Cina-Amerika dapat diterima dengan baik oleh keluarga Nick Young.
Isu tersebut diangkat karena isu tersebut seringkali terjadi di tengah masyarakat. Namun, masyarakat seringkali menutup matanya ketika isu tersebut muncul kembali. Sehingga, isu tersebut dibuat untuk menyadarkan kita sebagai masyarakat agar tidak menutup mata mengenai isu sosial tersebut.
Film sebagai Komunikasi Massa
Menurut McQuail dalam Oktavianus (2015), film memiliki peran sebagai sebuah sarana baru yang dapat digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan sejak dahulu, seperti menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat. Selain itu, film juga memiliki dampak tertentu terhadap penonton, seperti dampak psikologis dan dampak sosial.
Melalui film “Ngenest” dan “Crazy Rich Asians”, kita belajar mengenai bagaiamana perbedaan kelas sosial dan perbedaan budaya sangat mempengaruhi kehidupan kita.
Pada kedua film tersebut, kita mengetahui bahwa kita tidak boleh membeda-bedakan seseorang hanya karena etnis ataupun kelasnya berbeda dengan kita. Selain itu, kita juga tidak seharusnya menilai seseorang hanya dengan penampilan luarnya saja.
Dengan demikian, melalui kedua film tersebut, kita lebih peka terhadap sekitar dan mulai membuka mata mengenai isu sosial yang ada pada film tersebut.
Rasisme, Stereotipe dan Teori Marxisme
Menurut Liliweri dalam Evelyn, et. Al (2019), rasisme merupakan suatu ideologi yang menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok maupun etnik lain. Selain itu, stereotipe merupakan suatu evaluasi atau penilaian yang kita berikan kepada seseorang seperti hal yang negatif maupun sifat yang negatif karena anggota tersebut tergabung dalam suatu kelompok tertentu.
Teori Marxisme dari Karl Marx menjadi bentuk penolakannya terhadap sistem kapitalisme yang menyebabkan adanya pembagian kelas antara kelas atas dan kelas bawah (Magnis Suseno dalam Kusumastuti, et. Al., 2017).
Pada pembahasan kita kali ini, saya akan menggunakan tiga teori yaitu rasisme, stereotipe, dan marxisme. Ketiga teori tersebut saling terhubung dalam menganalisis film “Ngenest” dan “Crazy Rich Asians”. Saya juga akan menggunakan analisis teks dan visual untuk menganalisis isi dari film tersebut.
Pada adegan di film Ngenest, Ernest kecil sudah terbiasa dengan ejekan yang diberikan oleh teman-temannya. Mereka biasanya mengejek Ernest dengan kata-kata “dasar cina!” atau “matanya sipit banget”, sehingga Ernest kecil sudah terbiasa dengan ejekan-ejekan tersebut.
Tidak hanya sampai disitu, Ernest sering mendapatkan bullying hingga ia beranjak dewasa. Namun, ia tidak menanggapi bullyan tersebut.
Ketika Ernest memasuki dunia perkuliahan, ia tidak sengaja bertemu dengan Meira di kota Bandung. Ernest bercita-cita ingin memiliki kekasih seorang pribumi pun sangat senang dengan keberadaan Meira disampingnya.
Ernest dan Meira melalui banyak halangan dan rintangan ketika mereka menjadi pasangan kekasih hingga mereka pun menikah. Saat menikah, Ernest merasa takut untuk memiliki anak.
Hal tersebut dirasakan Ernest karena dampak rasisme dan stereotipe yang mengatakan bahwa orang Cina itu pelit. Oleh karena itu, Ernest menjadi pribadi yang tidak percaya diri ketika berbicara soal anak. Ia takut apa yang pernah ia rasakan ketika kecil akan terulang kembali ketika ia memiliki anak.
Jika pada film “Ngenest” lebih menonjolkan isu rasisme dan stereotipe mengenai orang Cina yang pelit, lain halnya dengan film “Crazy Rich Asians”.
Pada film “Crazy Rich Asians”, cerita yang ditonjolkan pun mengenai stereotipe yang mengatakan bahwa orang cina tidak pantas diperlakukan sama dengan orang lain.
Pada adegan diatas, terlihat bahwa sang resepsionis tidak memperlakukan keluarga Eleanor Young dengan baik. Stereotipe mengenai Cina yang pelit ataupun Cina yang tidak memiliki apa-apa sangat melekat dikehidupan kita.
Selain itu, pada film “Crazy Rich Asians” ini menceritakan Rachel Chu yang diajak oleh kekasihnya, Nick Young, untuk menghadiri pesta pernikahan sahabatnya dan memperkenalkan Rachel Chu dengan keluarganya Nick Young.
Rachel Chu tidak menyadari bahwa Nick Young merupakan anak orang kaya di Singapura. Sehingga, ketika ia mengunjungi rumah temannya, Peik Lin, ia diberitahu bahwa keluarga Nick Young ialah keluarga yang sangat kaya raya dan terlihat seperti bangsawan.
Eleanor Young tidak menyukai kedatangan Rachel Chu ditengah keluarganya karena Rachel Chu tidak setara dengan keluarganya. Hal tersebut terjadi karena adanya ketimpangan kelas sosial yang ada di teori Marxisme.
Selain itu, keluarga Rachel Chu ialah keluarga yang sederhana dan, sedangkan keluarga Nick Young merupakan keluarga yang sangat kaya raya di Singapura.
Ketimpangan kelas sosial sangat terlihat jelas dalam percakapan yang dilakukan oleh Eleanor Young dan Rachel Chu. Eleanor menganggap bahwa Rachel Chu ialah orang asing, yaitu orang Amerika yang terlalu memikirkan kebahagiaan mereka sendiri.
Eleanor Young ingin Nick Young memiliki pasangan yang setara dengan keluarganya dan juga dapat memberikan kebahagiaan untuk Nick Young. Namun, karena cinta yang dimiliki oleh Rachel Chu yang besar terhadap Nick Young, Eleanor pun mulai menerima hubungan antara Nick Young dan Rachel Chu.
Nah, banyak sekali kan makna dan pengalaman yang bisa kita dapatkan dengan menonton film? Jika anda tertarik untuk menonton kedua film tersebut, anda bisa menyaksikannya di Netflix!
Daftar Pustaka:
Evelyn, Ancilla., Priyowidodo, Gatut., & Budiana, Daniel. (2019). Representasi Rasisme dalam Film Woodlawn. Jurnal e-Komunikasi, Vol. 7 NO. 1.
Kusumastuti, Aisyah N., & Nugroho, C. (2017). Representasi Pemikiran Marxisme dalam Film Biografi (Studi Semiotika John Fiske Mengenai Pertentangan Kelas Sosial Karl Marx pada Film Guru Bangsa Tjokrominoto. E-Proceeding of Management, Vol. 4, No. 2.
Oktavianus, Handi. (2015). Penerimaan Penonton Terhadap Praktek Eksorsis Di Dalam Film Conjuring. Jurnal e-Komunikasi, Vol. 3, No. 2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H