Mohon tunggu...
Kevin William
Kevin William Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Football Enthusiast

Menimba ilmu hingga sejenius Guardiola, sambil memahat kata seindah Peter Drury.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Jerman Asik Main Politik, Lupa Main Bola

24 November 2022   19:31 Diperbarui: 3 Desember 2022   14:31 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jerman baru saja menelan pil pahit pada partai pertama mereka di Piala Dunia Qatar. Die Mannschaft yang tampil dominan dibuat tersungkur oleh Jepang, setelah Yuto Nagatomo dan kawan-kawan berhasil comeback dan menang dengan skor akhir 1-2.

Sebelumnya Jerman telah unggul lebih dulu lewat gol penalti Gündogan di babak pertama yang didapat setelah kiper Jepang, Shuichi Gonda, menjatuhkan bek kiri Jerman, David Raum.

Di babak kedua, Jepang sukses membalikkan keadaan berkat kerja keras mereka. Ritsu Dōan dan Takuma Asano menjadi pahlawan kemenangan Jepang setelah mencetak dua gol hanya dalam waktu 8 menit (75' dan 83').

Jerman yang tampil dominan tentu menjadi tim yang 'seharusnya' memenangkan pertandingan ini. Namun mengingat aksi mereka di lapangan, saya pun yang mendukung timnas Jerman menjadi tidak simpatik atas kekalahan mereka. Sebab, para pemain sepertinya lebih asik bermain politik ketimbang bermain bola di turnamen ini.

Dilarangnya pemakaian ban kapten One Love oleh FIFA membuat mereka kecewa, namun perjuangan tidak terhenti sampai di situ.

Menanggapi hal tersebut, Thomas Müller menulis naskah pernyataan panjang lebar di akun Instagramnya sebelum pertandingan kontra Jepang. Di sini sudah terbayang kemana fokus pemain Jerman ini tertuju. Bukannya sibuk menyiapkan mental, eh sang pemain malah berorasi.


Dan benar saja. Para punggawa Jerman sempat-sempatnya melakukan aksi protes yang terbilang 'receh' sebelum bermain. Mereka melakukan sesi foto tim dengan gestur menutup mulut sebagai tanda bahwa suara mereka 'dibatasi' selama bermain di Qatar. Menurut mereka, timnas Jerman memiliki nilai-nilai yang dipegang oleh punggawa mereka, yaitu keberagaman dan saling menghormati.

Jika nilai-nilai yang dimaksud berhubungan dengan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dan orientasi seksual, menurut saya ini sebuah komedi ironi. Sebab sebetulnya tuan rumah telah lebih dulu berusaha mewujudkan nilai-nilai tersebut, walaupun tidak sempurna.

Qatar jelas-jelas tidak bisa mentolerir aktivitas yang berunsur LGBTQIA+ di tanah mereka. Kepala keamanan Piala Dunia Qatar, Abdullah Al Nasari juga telah secara tegas menyatakan bahwa tuan rumah tidak akan merubah agama mereka hanya untuk sebuah turnamen 28 hari. Namun apakah mereka juga melarang penyuka sesama jenis menginjakkan kaki di stadion?

Tidak. Dengan kerendahan hati mereka, mereka tetap menerima golongan tersebut untuk hadir di stadion dan menikmati turnamen akbar ini. Jika itu bukan yang dimaksud keberagaman dan saling menghormati, saya tidak tahu lagi.

Sebaliknya, apa tindakan dari negara barat yang menunjukan 'keberagaman dan saling menghormati'? Tidak bisa mengibarkan bendera pelangi, mereka mengeluh. Tidak bisa minum alkohol, mereka mengeluh. Tidak bisa memakai ban kapten tertentu, mereka mengeluh. Padahal, tidak ada satu pun dari hal-hal tadi yang esensial. Semuanya bisa ditahan dan seharusnya tidak akan jadi masalah.

Lagipula, apakah etis memprotes tuan rumah yang telah mempersilakan para peserta bermain di tanahnya dengan ideologi mereka masing-masing? Ibarat kita bertamu ke rumah orang lain yang punya acara, sudah dijamu dengan makanan dan minuman, lalu kita protes karena si tuan rumah tidak menyiapkan ayam goreng (misalnya) untuk kita. Sopankah begitu?

Dengan memprotes tuan rumah, justru mereka sendiri yang melanggar 'nilai-nilai' yang telah disebutkan tadi. Mungkin mereka harus belajar lebih banyak dari kapten Perancis, Hugo Lloris.

"Ketika kita di Perancis, saat kami menyambut orang asing, kami sering ingin mereka mengikuti peraturan kami, untuk menghormati budaya kami, dan saya akan melakukan hal yang sama saat saya pergi ke Qatar. Cukup sederhana. Saya bisa setuju atau tidak setuju dengan ide mereka, tapi saya harus menunjukan respek," kata Lloris mengenai dirinya yang sebelumnya telah menolak memakai ban kapten One Love.

Pernyataan dari kiper Perancis itu mungkin jauh lebih berarti dan masuk akal daripada foto menutup mulut.

Bicara soal saling menghormati, inilah yang dilakukan Antonio Rüdiger di lapangan semalam. Benar-benar mencerminkan nilai-nilai yang dipegang timnas Jerman.


Lucunya, sudah berkoar-koar protes di media sosial, pada akhirnya kalah juga dari Jepang. Lalu apakah para penonton bola masih membanggakan foto dengan gaya menutup mulut tadi? Tentu tidak dong

Bukannya diapresiasi, malah dibuat meme oleh para netizen. Jadi buat apa menulis caption panjang-panjang dan merencanakan gaya di foto kalau tidak bisa menunjukan performa di lapangan? Mungkin tujuan awal mereka ke Qatar mau kampanye, bukan untuk main bola.

Malah, timnas Jepang lebih layak mendapat apresiasi di pertandingan kemarin. Setelah berhasil mengalahkan raksasa Eropa, mereka tidak jumawa dan meninggalkan ruang ganti dengan kondisi sangat rapi. Tanpa protes, tanpa berkoar-koar tentang nilai-nilai. Hanya aksi dan kerja keras.


Kepada timnas Jerman (dan negara-negara barat lainnya), sudahilah aksi badutmu. Kami hanya ingin menonton bola. Kami ingin melihat Der Panzer yang katanya akan secanggih Bayern Munchen di bawah Hansi Flick.

Tak usah memikirkan hal yang aneh-aneh. Fokus saja bermain bola-karena main bola saja di jaman sekarang sudah sulit. Fokus bagaimana cara mengalahkan lawanmu selanjutnya, Spanyol, yang dengan sadis telah membantai Kosta Rika 7-0. Fokus bagaimana caranya bisa lolos dari grup yang kini keliatannya cukup sulit.

Penonton bola sebetulnya tidak begitu peduli dengan aksi protesmu, asalkan menang. Kalau tidak menang, mereka akan mengolok-olok misi mulia yang sebetulnya sedang kamu perjuangkan di tempat yang salah.

Karena pada akhirnya, para penggemar sepak bola akan melihat skor akhir, bukan seberapa kencang protesmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun