Mohon tunggu...
Kevin William
Kevin William Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Football Enthusiast

Menimba ilmu hingga sejenius Guardiola, sambil memahat kata seindah Peter Drury.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Perlukah Aksi Protes Pemain di Piala Dunia Qatar?

11 November 2022   16:43 Diperbarui: 16 November 2022   01:55 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama pra-Piala Dunia, beberapa pemain dan kesebelasan negara sibuk melakukan hal yang bersifat di luar lapangan, yaitu menyuarakan protes atas kebobrokan Qatar selaku tuan rumah Piala Dunia.

Seperti yang telah banyak dikabarkan media, Piala Dunia kali ini diwarnai oleh berbagai kontroversi. Mulai dari terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah yang dinilai terlalu 'memaksa', dugaan korupsi, hingga pelanggaran HAM yang sedang marak dikabarkan menjelang pembukaan Piala Dunia.

Beragam Aksi Protes

Aksi protes dimulai pada saat kapten Inggris, Harry Kane memakai ban lengan 'OneLove' pada laga melawan Itali di UEFA Nations League pada September lalu.

Aksi tersebut juga dilakukan bersama delapan kapten negara lainnya seperti Wales, Belanda, Belgia, Denmark, Perancis, Jerman, Swedia dan Swiss; dan akan berlanjut hingga akhir musim ini, termasuk di Piala Dunia nanti. 

Ban lengan tersebut menjadi bentuk protes atas diskriminasi terhadap kelompok LGBTQIA+ dan pelanggaran HAM yang dialami para pekerja migran, yang menurut data The Guardian pada 2021 telah memakan 6,500 korban jiwa selama persiapan kompetisi sepak bola dunia tersebut.

Selanjutnya, Denmark bersama Hummel selaku sponsor apparel mereka turut menyuarakan protesnya dengan merilis jersey timnas bermotif polos dengan tiga varian warna: merah (kandang), putih (tandang) dan hitam sebagai jersey ketiga. Pemilihan warna hitam pada jersey ketiga melambangkan 'warna duka' atas gugurnya pekerja migran di Qatar.


Selain itu, para pemain juga tidak akan membawa keluarga mereka ke Qatar. Asosiasi Sepak Bola Denmark (DBU) menyebutkan bahwa aksi pembatasan perjalanan ini dilakukan karena mereka tidak ingin berkontribusi untuk menciptakan keuntungan bagi tuan rumah.

Terakhir, pada akhir bulan Oktober lalu, timnas Australia merilis sebuah video pernyataan para punggawanya yang mengkritik tuan rumah Piala Dunia. 

"Ada nilai-nilai universal yang harus mendefinisikan nilai-nilai sepak bola seperti rasa hormat, martabat, kepercayaan, dan keberanian. Ketika kami mewakili bangsa kami, kami bercita-cita untuk mewujudkan nilai-nilai ini." ungkap para pemain The Socceroos.

Video tersebut dirilis bersamaan dengan surat terbuka dari Union Professional Footballers Australia dan pernyataan dari badan pengelola sepak bola Australia yang membahas masalah HAM dan kesejahteraan pekerja yang terjadi di Qatar. 

Di dalam video, mereka menyebutkan "telah mengetahui bahwa telah terjadi kemajuan baik di atas kertas maupun dalam praktik. Sistem kafala sebagian besar telah dicabut, kondisi kerja telah membaik dan upah minimum telah ditetapkan". 

Namun, The Socceroos menekankan bahwa "adanya reformasi adalah langkah penting, tetapi implementasinya tetap tidak konsisten dan memerlukan peningkatan".

Kafala merupakan lembaga yang diakui negara yang menaungi para pekerja migran, untuk memperkerjakan tenaga migran. Kafala menjadi penentu pekerjaan para tenaga migran, yang sewaktu-waktu dapat mengambil paspor pekerja dan menghalangi mereka pergi meninggalkan negara bila seorang pekerja dinilai melanggar aturan.

Misi Kemanusiaan di atas Kepadatan Jadwal 

Semakin dekatnya Piala Dunia, para pemain dan kesebelasan sepak bola tidak hanya sibuk menyiapkan fisik, tapi mereka juga sibuk berpolitik. Memang, upaya yang mereka lakukan sangatlah mulia. 

Namun, apakah para pemain perlu membebani diri sendiri dengan misi kemanusiaan di tengah padatnya jadwal pertandingan yang tidak manusiawi?

Menurut Sky News, timnas Inggris dijadwalkan untuk menemui para korban pekerja migran di kamp pelatihan di Qatar sebagai bagian dari bentuk kampanye 'OneLove', yang mungkin akan sedikit (atau bahkan tidak sama sekali) membantu penderitaan yang telah mereka alami.

Di Liga Inggris sendiri yang banyak mengirim pemain timnas powerhouse, Gameweek terakhir sebelum jeda Piala Dunia baru berakhir pada 13 November, sementara Piala Dunia dimulai tanggal 20 November. 

Artinya, para pemain hanya punya waktu kurang dari tujuh hari untuk istirahat, berangkat ke Qatar, dan menjalani sesi latihan dengan timnasnya masing-masing. 

Belum lagi setelah kompetisi selesai di tanggal 18 Desember, para pemain harus kembali bermain bersama klubnya di tanggal 26 Desember dan ditambah boxing day plus festive fixture saat tahun baru.

Sampai di sini, kira-kira apakah para pemain sadar bahwa mereka sedang menjadi korban perbudakan oleh kalender FIFA?

Seberapa Efektif Upaya Mereka?

Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya, seberapa efektifkah kampanye-kampanye tersebut? Hal serupa sebelumnya telah dilakukan di berbagai liga di Eropa, contohnya Liga Inggris yang menggiatkan gerakan anti rasisme dan Black Lives Matter dalam setahun terakhir. 

Namun beberapa pemain tetap saja menjadi korban rasisme yang dilakukan oleh fans, seperti yang dialami Wilfried Zaha setelah menghadapi Manchester City pada beberapa waktu lalu. Sementara, FA tetap tidak bergeming atas hal tersebut.

Kampanye 'OneLove' dan kampanye lainnya kurang-lebih akan menimbulkan dampak yang sama dengan gerakan-gerakan sebelumnya. Jika gerakan anti rasisme yang seharusnya didukung oleh semua orang saja masih berdampak minimalis, bagaimana bisa mereka menyuarakan hal yang dibantah habis-habisan oleh sang tuan rumah?

Pertama, menjawab kampanye jersey polos yang dilakukan Denmark, Qatar membantah laporan adanya ribuan korban jiwa dari golongan tenaga migran akibat pembangunan infrastruktur Piala Dunia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. 

Kedua, Khalid Salman, mantan pesepak bola Qatar secara frontal menyatakan bahwa homoseksual termasuk kelainan jiwa. Kalau sudah begini, bagaimana bisa meluluhkan kerasnya hati pihak Qatar hanya dengan sebuah ban lengan berwarna-warni?

Lagipula, memperjuangkan hak asasi kaum LGBTQIA+ di negara Arab sama saja seperti mengisi air ke dalam ember yang bocor. Pada akhirnya, ban lengan bermotif hati pelangi hanya akan jadi atribut pemanis outfit kapten kesebelasan saat bertanding. Jika seluruh tiga puluh dua negara peserta memakainya sekalipun, tidak akan menjadikan hak penyuka sesama jenis tidak haram bagi tuan rumah.

Negara barat mau tidak mau harus mengingat bahwa Qatar yang punya Piala Dunia. Tuan rumah akan tetap mengijinkan para peserta bermain dengan paham ideologi dan politik masing-masing, karena mereka pula yang pada akhirnya menyukseskan turnamen ini.

Perang Ideologi dan Politik

Pesan yang disampaikan Gianni Infantino dan Fatma Samoura selaku Presiden dan Sekretaris Jenderal FIFA lebih bermakna dibanding berbagai kampanye yang aktif pada turnamen ini. 

Mereka meminta kepada 32 federasi sepak bola untuk fokus ke sepak bola dan tidak melibatkan olahraga tersebut dengan perang ideologi dan politik yang sedang terjadi. 

Walaupun pesan tersebut mungkin dapat dilihat sebagai langkah FIFA untuk menutupi tuduhan yang dilayangkan pada tuan rumah, tapi tetap saja lebih bermanfaat untuk penggemar sepak bola yang benar-benar ingin menikmati turnamen empat tahunan ini.

Piala Dunia kali ini mungkin jauh dari kata sempurna, dan FIFA bersama Qatar menjadi sasaran empuk yang dianggap bertanggung jawab atas permasalahan ini. Namun siapa yang paling mungkin menjadi dalang dibalik perang ideologi dan politik di kompetisi sepak bola ini? 

Kemungkinan ada dua pihak yang berpotensi. Pertama adalah dari federasi sepak bola-nya sendiri-yang mana tidak dapat disalahkan atas misi mulia mereka; dan kemungkinan kedua adalah media.

Gareth Southgate memberikan pendapat yang tepat setelah mendapat desakkan dari media yang mengatakan bahwa timnas harus memberikan pengaruh lebih jauh lagi daripada sekedar melakukan kampanye 'OneLove'. Pelatih Timnas Inggris itu pun merespon dengan tenang, "ada batasan atas apa yang bisa kita pengaruhi."

Sementara, pelatih Liverpool, Jürgen Klopp memberikan respon yang cukup menampar. Dalam wawancaranya dengan The Guardian, Klopp secara tegas menyentil media yang kerap kali bersembunyi dibalik penyataan pemain dan pelatih untuk bersuara melawan isu ketidakadilan yang terjadi di Qatar.

"Saya akan melihatnya dari sudut pandang sepak bola tapi saya tidak suka bahwa pemain sekarang harus mengirim pesan. Kalian semua adalah jurnalis. Anda seharusnya mengirim pesan tetapi Anda tidak menulis artikel paling kritis tentang keadaan (di Qatar) yang jelas. Di sana kita salah." ungkap pelatih asal Jerman tersebut.

Klopp tidak setuju bahwa kini para pemain harus memakai ban lengan, kalau tidak maka pemain itu dianggap tidak berada di pihak mereka. Klopp pun bersikeras bahwa pesepakbola harus bertanding di dalam sebuah turnamen dan melakukan yang terbaik untuk negaranya; dan ia juga menilai para pemain tidak ada hubungannya dengan situasi yang terjadi di Qatar.

Pesepak Bola Harus Menunaikan Tugas Utamanya

Pendapat Klopp seharusnya menyadarkan berbagai pihak yang terlibat dalam sepak bola, baik itu pemain, pelatih, federasi, fans, hingga media, bahwa sepak bola bukanlah ranah politik. Sejatinya, tugas pesepak bola hanya satu, yaitu bermain bola. Hal-hal yang tidak berhubungan dengan permainan di lapangan sudah sewajarnya di luar tanggung jawab mereka.

Sah-sah saja bila pemain atau pelatih menyuarakan opini mereka, karena pada dasarnya semua pihak memiliki hak tersebut. Namun mau bagaimana pun juga, mereka bukan politisi. Seorang public figure tidak sama dengan seorang politisi. Tidak tepat jika mengandalkan pesepak bola untuk mewakili suara masyarakat atas segala yang terjadi di Qatar selama persiapan Piala Dunia 10 tahun terakhir.

Lagipula, segala permasalahan di Qatar sebetulnya sudah tercium baunya dari beberapa tahun terakhir, mengapa hingga saat ini tidak ada tindakan yang lebih serius dari negara-negara yang melakukan protes? Dan mengapa media baru mengangkat isu ini menjelang Piala Dunia? 

Jika memang sebelumnya tidak ada seorang pun yang bersuara tentang hal tersebut, bukankah ini kesempatan bagi jurnalis untuk membongkar aib yang baru terbuka akhir-akhir ini?

Namun kini sudah bukan waktunya meributkan hal tersebut. Bak nasi sudah jadi bubur, Piala Dunia sudah di depan mata. Suka tidak suka, Qatar adalah tuan rumah Piala Dunia. 

Kompetisi akan tetap diselenggarakan di negara homofobia. 32 peserta akan bermain di stadion yang dihantui ribuan korban jiwa pekerja migran. Pada akhirnya, berbagai aksi yang telah dilakukan hanya dianggap 'angin lewat' oleh para petinggi di Qatar.

Para pemain tidak seharusnya membagi konsentrasi mereka menjelang kompetisi. Biarkan para pemain melakukan hal yang digemarinya sejak kecil, yaitu bermain bola; karena bermain bola saja di jaman sekarang sudah sulit.

Mungkin aksi protes yang seharusnya mereka lakukan adalah memprotes FIFA yang telah mengeksploitasi pemain dengan jadwal musim yang super sibuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun