Pernahkah kita berpikir, mengapa setiap negara harus punya mata uangnya sendiri-sendiri? Padahal, memiliki mata uang secara mandiri dapat membuat kita menjadi sulit untuk bertransaksi dengan negara lain. Mata uang Indonesia dengan mata uang Thailand tentunya memiliki rate yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.Â
Jawabannya, karena dalam ilmu ekonomi dikenal sebagai trilema mata uang atau trinitas kemustahilan. Apa itu trilema mata uang yang jadi akar dari sulitnya kita bertransaksi dengan orang-orang di luar negeri?
Trilema Mata Uang
Trilema mata uang adalah 3 kondisi yang tidak mungkin bisa dicapai ketiga-tiganya secara bersamaan. Hal ini terjadi karena setiap kondisi akan berkontradiksi dengan gabungan 2 kondisi lainnya.Â
Ada 3 hal yang diprioritaskan dalam trilema mata uang secara terpisah. Yang pertama adalah kestabilan nilai tukar mata uang, mata uang sebagai alat kontrol inflasi dan deflasi, dan mata uang sebagai sarana kebebasan mengalirkan modal. Ketiga skenario ini akan bertentangan satu dengan gabungan 2 skenario lainnya.Â
Sebagai contoh konkret, ketika mata uang di Eurozone menggunakan 1 jenis mata uang saja, maka mereka memprioritaskan kestabilan nilai tukar mata uang serta kemampuan mengalirkan modal.Â
Tapi sebagai gantinya, semua negara kehilangan kedaulatan mereka atas mata uang yang sebelumnya mereka miliki. Karena mata uang Euro pada akhirnya menjadi mata uang bersama yang tidak berdasar kepada kemampuan riil ekonomi suatu negara. Negara seperti Italia, mau tidak mau harus menggunakan mata uang yang sama dengan negara seperti Jerman.Â
Juga, China atau Tiongkok pada saat ini. Kontrol negara terhadap mata uang Yuan membuat China atau Tiongkok mau tidak mau harus memprioritaskan kestabilan mata uang dan kemampuannya sebagai alat kontrol inflasi dan deflasi. Lalu apa yang dikorbankan? Kemampuan untuk mengalirkan modal asing masuk.Â
Oleh sebab alasan yang mungkin berkaitan, Tiongkok pun jadi melakukan ekspansi besar-besaran untuk melakukan investasi di luar daratan Tiongkok. Hal ini membuat Tiongkok mengakali "lubang" dalam kebijakan mata uangnya yaitu untuk mengalirkan modal mengalir masuk ke negaranya sendiri.Â
Lantas Bagaimana dengan Indonesia dan ASEAN?
ASEAN adalah kasus yang berbeda daripada Eurozone. Meskipun bersifat sebagai organisasi kerjasama kawasan regional, negara-negara anggota ASEAN bisa dibilang tetap mengedepankan independensi mata uang. Namun mereka juga tidak menutup kemungkinan untuk adanya modal masuk.Â
Meskipun dalam hal ini ada keunggulan yaitu negara tetap memiliki kedaulatan atas negaranya, hal ini tentu saja memiliki kekurangan. Dengan banyaknya mata uang yang ada di dalam kawasan, terdapat tarif yang pastinya cukup tinggi untuk kita melakukan transaksi antar negara. Ataupun, transaksi yang ada pada akhirnya jadi bergantung kepada mata uang pihak ketiga seperti US Dollar dalam bertransaksi.Â
Padahal, sejak tahun 1992, ASEAN sudah mencanangkan kawasan perdagangan bebas yang bernama AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang memudahkan pertukaran komoditi antar negara di kawasan Asia Tenggara. Hal ini diharapkan menjadi pembuka jalan untuk adanya integrasi ekonomi yang dapat menggenjot kekuatan ekonomi masyarakat Asia Tenggara secara bersama-sama.Â
Lantas dengan adanya hambatan seperti ini, apakah AFTA sebenarnya masih mungkin untuk terealisasi? Kalaupun iya, bagaimana caranya?
Cara Cerdik Mengakali Sistem
Kalau tidak cerdik maka bukan orang Asia namanya. Daripada susah-susah mencoba menggapai ketiga trilema yang ada secara bersama-sama, yang juga tidak mungkin untuk dicapai, para pemimpin ASEAN pun mencanangkan suatu trik cerdik dalam mengatasi permasalahan ini. Kita gunakan saja teknologi QR sebagai jembatan untuk mempermudah pembayaran. Hal ini lalu dinamai sebagai RPC atau Regional Payment Connectivity.
Ditambah dengan perjanjian kerjasama antar bank sentral, dalam hal ini untuk negara kita adalah Bank Indonesia, kita bisa melakukan pengaturan untuk mempermudah sistem pembayaran antar negara.Â
Sistem RPC ini akan memudahkan masyarakat ASEAN dalam bertransaksi di luar negeri tanpa harus menukar uang terlebih dahulu. Sistem ini akan mendongkrak dan membuka potensi perputaran uang di kawasan ASEAN sebanyak 1 Triliun USD di tahun 2030 hanya dari perdagangan luar negeri saja.Â
Kurang lebih menurut laman resmi ASEAN, sistemnya adalah kita akan membayar barang yang telah kita scan kode QRnya, dan kita akan melakukan pembayaran dengan mata uang negara kita. Lalu dengan sistematika yang telah disepakati lewat kerjasama kedua bank sentral, maka akan dilakukan konversi mata uang.Â
Hal ini tentu saja akan mempercepat pembayaran dalam negara-negara kawasan. Namun, kerjasama ini dilakukan dengan metode kerjasama bilateral, seperti kerjasama Bank Indonesia dan Bank of Thailand dalam menyepakati sistem pembayaran yang baru ini. Maka ketika Bank Indonesia belum menjalin kerjasama bilateral dengan negara tertentu, sistem ini belum bisa berjalan di kedua negara tersebut.Â
Apakah Aman?Â
Lantas, ini pun menjadi pertanyaan semua orang. Bagaimana keamanan data saya nantinya? Apakah tidak akan membuka potensi penggelapan atau penipuan?Â
Merujuk kepada sumber resmi dari laman ASEAN, keamanan dari penyelenggara sistem ini nantinya harus sudah teruji dan terbukti aman baik dalam bidang IT maupun keamanan lainnya. Sehingga, dapat dipastikan kalau sistem keamanan yang mengatur sistem pembayaran terintegrasi antar negara ini adalah aman. Tentu saja, setelah mendengar ini, sistem ini terlihat menambah kenyamanan kita dalam berbelanja bukan?
Epilog
Ya setidaknya itulah ulasan singkat mengenai trilema mata uang, keadaan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN, hingga RPC yang akan membuka peluang untuk kita masuk ke pasar ASEAN dengan lebih mudah. Intinya, negara-negara ASEAN juga sudah sadar bahwa salah satu kunci untuk kemajuan bersama masyarakat ASEAN adalah melakukan integrasi ekonomi. Dan untuk mewujudkan itu, kita harus mendukung terus Bank Indonesia dan negara-negara di ASEAN untuk mengerjakan dan mewujudkan terjadinya integrasi sistem pembayaran antar negara ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H