Meskipun saya pribadi adalah seorang Heteroseksual, atau dalam istilah inggris seringkali disebut sebagai straight. Saya tidaklah sedikitpun berusaha untuk memusuhi para Homoseksual atau yang sekarang kerap disebut kaum LGBTQ+ atau kaum "pelangi".Â
Dan saya rasa, alangkah baik kita berusaha melihat LGBTQ+ dari sisi yang lain agar kita lebih bisa menerima mereka sebagai seutuhnya manusia.Â
1. Sisi Biologis
Secara biologis, LGBTQ+ adalah bawaan seseorang yang tidak akan bisa diubah. Variasi ini terjadi semata-mata karena variasi dalam genetika yang memengaruhi fungsi fenotip/genotip tubuh. Sebagai contoh, dalam ilmu biologi, diketahui bahwa tidak semua wanita berkromosom XX dan lelaki berkromosom XY. Begitupun dengan alat kelamin, ada wanita tanpa rahim dan ovarium, ada lelaki yang juga mengalami keadaan tanpa testis dan memiliki rupa penis seperti klitoris. Orang-orang yang demikian disebut sebagai interseks, jumlah variasi yang telah diketahui telah mencapai 43 jenis variasi.Â
Selain itu, dengan berkembangnya ilmu neurologis, diketahui bahwa variasi seksualitas juga bisa dipengaruhi oleh faktor hormon, lingkungan (polusi dan sebagainya), neurotransmitter, serta hal lainnya yang begitu kompleks. Sehingga, LGBTQ+ bukanlah suatu bentuk penyakit yang dapat disembuhkan.Â
Malah sesungguhnya, penolakan terhadap LGBTQ+ lah yang dapat menjadi suatu bentuk penyakit sosial di masyarakat. Orang-orang yang terlahir sebagai LGBTQ+ akan merasa tidak nyaman. Bahkan parahnya, dapat dibawa ke terapi konversi, yang sebetulnya merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual.
2. Sisi Kemanusiaan
Dalam banyak sisi, menindas seksualitas para LGBTQ+ adalah bentuk pelanggaran terhadap kemanusiaan dan juga hak asasi manusia. Dalam piagam HAM PBB, disebutkan bahwa salah satu bentuk HAM adalah membangun keluarga. Keluarga di dalam piagam HAM tidaklah dibatasi pada keluarga heteroseksual antara seorang wanita dengan pria. Melainkan juga berlaku untuk semua jenis keluarga (polyamorous, homoseksual, dan lainnya).
Bahkan, salah satu dokumen HAM yang memberikan perlindungan kemanusiaan kepada para LGBTQ+ ditandatangani di Yogyakarta. Dokumen yang disebut "Yogyakarta's Principles" memberikan kepastian bahwa segala jenis opresi terhadap segala bentuk seksualitas, dan ekspresi gender adalah bentuk pelanggaran HAM.Â
Maka, sebagai warga dunia yang mengharagi kemanusiaan, bukankah sudah seharusnya untuk kita mulai bisa menerima LGBTQ+ dalam kehidupan kita sehari-hari?Â
3. Sisi Budaya
"Ah anda ini mengada-ngada saja, mana ada budaya Indonesia yang menerima LGBTQ+ di masyarakat? Bullshit semua perkataan anda!"Â
Sebentar dulu, faktanya, di Indonesia ada satu suku yang benar-benar memberikan apresiasi bahkan memberikan nama gender tersendiri di dalam budaya mereka. Mereka adalah suku Bugis dari Sulawesi. Dalam budaya mereka, terdapat 3 buah gender tambahan, mereka adalah Calalai, Calabai, dan Bissu (gender netral).Â
Bahkan dalam budaya Jawa, seorang pemain reog biasanya memiliki seorang gemblak yaitu lelaki muda yang dipakai untuk disetubuhi. Hubungan-hubungan bersifat sejenis LGBTQ+ ini memang sudah sedari lama ada dan diterima oleh budaya Indonesia. Maka menjadi aneh jikalau kita mempersekusi/menolak seseorang hanya karena seksualitasnya, padahal dalam budaya asli kita, hal-hal seperti demikian jelas-jelas diakui dan diterima dengan baik.Â
4. Sisi Hukum
Dalam hukum positif Indonesia, tidak ada satupun hukum yang mengkriminalisasi seorang LGBTQ+. Oleh sebab itu, sudah layak dan sepantasnya untuk kita sebagai warga yang taat hukum, untuk menerima para LGBTQ+. Kecuali, jika anda tinggal di provinsi Aceh yang memang diberikan hak khusus oleh pemerintah kita menjalankan syariat islam. Sehingga, LGBTQ+, pacaran, dan hal-hal lainnya yang termasuk zina (korupsi tidak termasuk) bisa saja dikriminalisasi.Â
Apa yang harus kita lakukan?
Nah, setelah melihat sisi-sisi lain selain daripada sisi agama, sepertinya kita harus mulai memikirkan apa yang harus kita lakukan agar tercipta suasana yang lebih baik bagi para LGBTQ+ di lingkungan sosial.Â
Simpelnya, kita harus mulai belajar menerima dan mengajarkan anak-anak kita bagaimana caranya bersikap yang baik dengan orang yang memiliki seksualitas berbeda dengan mereka. Hal ini bisa dimulai dengan mengajarkan pendidikan seks di level pendidikan dasar. Serta mengajari anak-anak kita bahwasannya semua manusia adalah sama adanya terlepas dari seksualitas mereka.
Di sisi lain, para LGBTQ+ juga sudah selayaknya untuk tidak menggoda kawan-kawan yang heteroseksual. Begitupun dengan kawan-kawan hetero yang tidak selayaknya memaksakan seksualitas anda kepada kawan-kawan homoseksual. Apalagi, jikalau kawan-kawan hetero melakukan persekusi kepada kawan-kawan homoseks.Â
Serta diperlukan adanya kepastian hukum bagi para LGBTQ+ yang mengalami persekusi. Karena fakta yang ada, hukum persekusi bagi para LGBTQ+ saat ini masihlah lemah. Bahkan lebih lemah daripada persekusi terhadap kaum minoritas lainnya di Indonesia.Â
Memusuhi LGBT tidak akan pernah menciptakan keadaan sosial masyarakat yang lebih baik, malah akan menciptakan masyarakat yang bersifat diskriminatif terhadap orang-orang yang berbeda dari mayoritas. Kultur seperti ini tidak layak untuk dilestarikan di negeri yang kaya dengan keberagaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H