Mohon tunggu...
Vincent Setiawan
Vincent Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - A person who loves to write and inspire others

I love to live a life that full with logic. I love to write for inspiring you and helps you escape this mystical night ride

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fanatisme Buta, dan Rendahnya Literasi Ilmiah Rakyat Indonesia

31 Maret 2022   11:25 Diperbarui: 31 Maret 2022   11:28 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemecatan dr. Terawan membuat rakyat Indonesia terpecah menjadi beberapa kubu. Ada yang mendukung pemecatan, ada pula yang dengan dasar testimoni menyatakan bersebrangan dengan IDI, ada pula orang yang merasa kalau pemecatan ini adalah kehilangan besar. Macam-macam lah pokoknya.

Akan tetapi, hal ini justru menunjukkan bahwa memang rakyat Indonesia adalah rakyat yang cenderung fanatik dan berliterasi rendah. Terutama, pada literasi yang berbasis pada teks-teks ilmiah seperti jurnal. Rakyat Indonesia, seperti yang disampaikan oleh Tan Malaka, masih berpikiran logika-mistika. 

Pengaruh Gaya Berpikir Agama dan Rendahnya Literasi Ilmiah

Hal ini bisa dipahami, mengingat bangsa Indonesia adalah negara peringkat pertama dengan jumlah rakyat yang memandang agama sebagai hal yang penting. Ini menjadi berhubungan, karena pada dasarnya agama tidak membutuhkan pembuktian. Pengakuan sudahlah cukup. Sayangnya, gaya berpikir yang bengkok seperti ini tidak bisa dipakai dalam hal-hal yang bersifat ilmiah.

Gaya berpikir agama yang juga disertai dengan fanatisme buta dan permainan politik-agama di Indonesia, semakin membuat rakyat Indonesia rendah kemampuan literasi ilmiahnya. Karena dengan adanya pola pikir fanatik, rakyat Indonesia secara tidak langsung menolak pemahaman dari sudut lainnya. Permainan politik yang menempatkan Terawan sebagai musuh elit global (yang tentunya digaungkan oleh para penggemar konspirasi, yang kebanyakan berasal dari kaum fanatik-agama), semakin membuat logika orang Indonesia tumpul. 

Hal ini bisa terlihat dengan jelas. Walaupun dr. Terawan dengan metode DSA nya tersebut sudah jelas melakukan sesuatu yang berbahaya, eh orang-orang masih saja ingin menggunakannya atas dasar testimoni. Padahal jika mau melihat sejenak ke jurnal-jurnal ilmiah yang shahih, sudah banyak sejawat dokter yang berpandangan berbeda dengan yang diklaim oleh dr. Terawan.

Lagipula, penggunaan Heparin yang dipakai dalam metode DSA adalah hal yang cukup berbahaya. Metode seperti ini sudah banyak ditinggalkan dalam pengobatan stroke modern. Lagipula, tidak ada uji klinis dan hal-hal semacamnya yang dilakukan sebelum metode ini dilakukan. 

Sakleknya Komunitas Sains

"Ah tetapi kan, yang penting sembuh. Peduli setan dengan literasi sains! Saya ingin dr. Terawan tidak dipecat!"

Sayangnya, komunitas sains adalah salah satu komunitas yang paling saklek di dunia. Meskipun penemuan baru selalu ada, ada beberapa tata cara yang memang dibuat sedemikian rigid demi menjaga kualitas dan integritas sains. Hal tersebut disebut sebagai metode saintifik. 

Sehingga, jikalau ada penemuan baru, yang tata cara penemuannya tidaklah sesuai dengan metode saintifik, hal tersebut dapat ditolak. Hal ini terjadi berkali-kali di Indonesia. Bukan karena Indonesia ingin dikerdilkan dunia, akan tetapi metode verifikasi dan uji coba yang dilakukan tidaklah sesuai dengan kaidah metode saintifik. Salah satunya adalah Vaknus, yang lagi-lagi dicetuskan oleh dr. Terawan.

Karena, tanpa kaidah saintifik yang jelas, metode apapun yang dicetuskan hanya akan dianggap setara dengan level perdukunan. Ponari, dukun-dukun kampung, dan dr. Terawan dengan metode DSAnya yang tidak sesuai kaidah ini sebenarnya adalah hal yang kurang lebih setara. Kalau begitu, kenapa kalian tidak memaksa IDI untuk merekrut Ponari atau bahkan dukun-dukun kampung?! Toh, dasarnya juga sama-sama testimoni.

Berusaha Menerima

Lantas bagaimana seharusnya kita melihat kejadian pemecatan dr. Terawan ini? Ya terima saja. IDI juga sudah pasti memilikis serangkaian kode etik kedokteran yang patut dipatuhi. Tentunya, kaidah etik ini tidaklah bertentangan dengan metode-metode saintifik. 

Lagipula, tidaklah perlu menipu diri dan membahagiakan ego dengan mengatakan dr. Terawan akan di-hire ke Jerman dan sebagainya. Toh, link berita yang mengeluarkan statement demikian pun tidak shahih. Lagipula, ilmu kedokteran di Jerman, sudah jauh lebih maju daripada Indonesia. Metode DSA dr. Terawan bisa dibilang sudah jauh ketinggalan dengan metode yang ada di sana. 

Jadi, sebaiknya kita lebih banyak membaca dan juga melatih logika agar lebih waras dan tidak fanatik. Sangat malu kalau di masa depan nanti, orang-orang yang menduduki jabatan tinggi adalah orang-orang bodoh yang lebih percaya pada logika Mistika. Eh, atau jangan-jangan sudah kejadian nih?!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun