Mohon tunggu...
Vincent Setiawan
Vincent Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - A person who loves to write and inspire others

I love to live a life that full with logic. I love to write for inspiring you and helps you escape this mystical night ride

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Cancel Culture dan Susahnya Memaafkan Diri

8 September 2021   10:21 Diperbarui: 10 September 2021   07:35 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Setiap orang memiliki sisi masa lalu yang kelam, begitupun saya. Mungkin hal ini seharusnya menjadi privasi yang saya simpan dan telan sendiri.

Akan tetapi, saya memberanikan diri untuk speak-up sekaligus memberikan sedikit pandangan mengenai cancel culture yang pernah saya alami bahkan hingga saat ini. 

Semuanya terjadi ketika saya berada di SMA, di kelas 11 semester 2 tepatnya. Kehidupan saya yang bahagia bersama kawan saya yang kala itu menjadi HTS saya (partner romantis tanpa status) secara tiba-tiba kandas karena beberapa permasalahan. 

Di antaranya adalah kegagalan saya untuk mencegah sahabat saya kabur dari sekolah dan mendapatkan DO serta keinginan saya untuk berpindah agama karena saya merasakan ketidaknyamanan di agama lama saya kala itu. 

Seharusnya hal itu adalah hal yang cukup saya jalani sendiri, akan tetapi, puluhan orang lainnya di kelas, bahkan di luar kelas melakukan cancel culture karena saya dianggap telah "menyimpang". 

Ditambah, agama yang saya pilih, dan menjadi agama saya sekarang adalah agama yang sama dengan HTS saya kala itu. 

HTS saya yang tadinya mendukung pun mendapatkan tekanan karena orang berpikir, "Ada ya anak SMA yang mau berpindah agama hanya karena wanita yang belum tentu menjadi pasangan hidupnya?!". 

Padahal hal tersebut adalah salah adanya. Saya berpindah murni karena keinginan saya sendiri untuk mencari kedamaian. 

Cancel culture tersebut terus berlanjut hingga ke puncaknya saat saya berada di kelas 12 SMA. Saya yang semakin tenggelam dalam stress dan pikiran yang buruk serta semakin tenggelam dalam hubungan saya yang semakin runyam dengan HTS pun mulai kehilangan kontrol atas diri. 

Beberapa teman-teman yang berada lebih "dekat" dengan saya pun selalu berusaha menahan saya untuk tidak melakukan hal-hal yang aneh. Saya awalnya bisa mengontrol, akan tetapi, semakin saya di-cancel, semakin hancurlah hidup saya. 

Puncaknya adalah beberapa minggu sebelum sekolah diliburkan, saya pun terlibat kasus dengan HTS saya kala itu. Kami bertengkar hebat dan pada akhirnya saling melakukan abuse. 

Kasus tersebut terjadi di kelas yang kebetulan sedang mengalami jam kosong karena keadaan sedang ujian praktik. Kasus tersebut semakin menghancurkan diri saya. 

Saya yang sudah sadar sejak awal kalau saya salah dan saya ingin berubah pun hancur sehancur-hancurnya kala itu. Saya sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. 

Ditambah dengan keadaan guru-guru yang judging dan juga ikut-ikutan men-cancel saya pun membuat rasa bersalah itu semakin mendalam. 

Sudah hampir 2 tahun sejak kejadian itu, akan tetapi rasa bersalah saya masihlah belum hilang. Semua teman-teman saya sekarang ini selalu menganjurkan saya untuk move on, namun bagaimana caranya? Saya tidak pernah tahu. 

Cancel culture tersebut memang memberikan sanksi sosial bagi saya, tetapi rasa bersalah yang mendalam dan berlarut-larut dalam hidup saya, saya rasa lebih menjadi hukuman yang pantas buat saya. 

Bahkan karena cancel culture ini sendiri, saya masih sering merasa kalau saya sudah menghancurkan hidup HTS saya. Yang padahal secara fakta di lapangan, hidup dia jauh lebih bahagia dan lebih sukses sekarang ini. 

Andai saja cancel dari teman-teman saya tidak pernah terjadi, mungkin saya tidak akan pernah merasakan stress berkepanjangan tersebut. Saya tidak akan melakukan abuse di akhir masa sekolah saya. Dan mungkin sekarang saya sudah bisa move on dan merasakan kebahagiaan sama seperti HTS saya. 

Meskipun saya tahu, kalau cancel yang teman-teman saya lakukan kala itu adalah hukuman yang pantas untuk saya yang berada di luar norma yang mereka jalankan. 

Dan saya pun paham, meskipun HTS saya sudah lebih bahagia, trauma yang dia dapatkan masih belum hilang dan saya masih layak untuk di-cancel oleh teman-teman saya.

Meskipun hal itu adalah sesuatu yang baik untuk kontrol masyarakat, akan tetapi kita juga harus paham bahwa semua orang punya masa lalu yang buruk. 

Kita boleh melakukan cancel culture pada mereka, dengan cara menutup jalan untuk mereka menginfluence orang lain. Tetapi, jangan sampai kita menutup semua pintu untuk mereka, bahkan kita menutup pintu maaf kita untuk mereka. 

They deserved to live a better life, everybody make a mistake.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun