Pagi itu ku terdiam di teras, merasakan desiran angin pagi yang menerpa wajahku. Sebatang testpack ada di dalam genggamanku. Lagi-lagi kulihat hanya sebuah garis yang muncul. Sedih bercampur pilu terasa memenuhi rongga dadaku. Impianku untuk mendapatkan buah hati bersama mas Joko belum tergapai jua, padahal sudah tahun ketiga kami berumahtangga. Memang, selama ini kami selalu mendapatkan cobaan tentang kekuatan cinta kami berdua. Mulai dari gunjingan para tetangga di kampung terhadap kami, cap "anak ga bener" oleh keluarga besarku, hingga pernah suatu ketika rumah orangtuaku hampir mau dibakar oleh warga sebelum akhirnya kami bersedia memenuhi tuntutan mereka untuk angkat kaki dari kampung kelahiranku itu. Namun apakah salah kami? Hanya karena kami pernah kepergok berciuman di depan rumah, lantas pantaskah kami diperlakukan seperti itu? Tidakkah mereka dapat melihat kami sebagai pasangan yang saling mencintai? Tidakkah mereka mengerti perasaan dua insan yang sedang dimabuk asmara? Apakah yang mereka curigai? Padahal aku dan mas Joko sedari kecil tumbuh di kampung itu. Sungguh betapa naifnya pemikiran mereka!!! Namun biarlah, toh kami pun sudah memaafkan mereka. Karena dengan pergi dari kampung itu, kami bisa mencari tempat yang baru yang tenang dari gangguan orang-orang tersebut. Tiga tahun berlalu sejak kami tinggalkan kampung itu. Dan sejak itu pula ku menaruh harapan agar bisa mempunyai momongan dengan mas Joko. Namun manisnya cinta memang tak semanis kenyataan. Ditambah lagi belakangan ini ku mulai merasakan adanya tatapan sinis dari para tetangga yang baru. Meskipun mereka memang tidak berani terang-terangan menegur kami. Apakah karena mereka merasa hubungan kami yang berada di luar batas kewajaran sebagai kakak dan adik??? Ya, mas Joko memang mengakuiku sebagai adik di depan para tetangga. "Adik yang kau cintai dan kau tiduri dengan penuh nafsu!!!" sungutku dalam hati. Pernah ku meminta status yang jelas kepada mas Joko, namun lagi-lagi dia berdalih "Bukankah cintaku kepada mu sudah cukup jelas? Untuk apa lagi status resmi??". Dan tiap kali ku mendengar alasannya, ku seakan terhipnotis untuk turut mengiyakannya. Namun biarlah! ku pasrahkan saja semua omong kosong ini ke tangan mas Joko, karena dia lah yang lebih mengetahui asam-garam kehidupan kota.. KRING....KRIIIIINGG.....tiba-tiba lamunan ku dibuyarkan oleh suara sepeda ontel pak pos. "Permisiiii....selamat pagi!!" salam dari pak pos. "Iya, met pagi...ada apa ya pak?" balasku. "Ini ada kiriman surat untuk..." sejenak pak pos membetulkan kacamatanya. "Untuk siapa pak? Untuk mas Joko?" tanyaku. "Bukan...bukan untuk mas Joko. Tapi ini anu...eh, untuk Sutikno" kata pak pos. "Oohhh ya...sini kemarikan" ujarku. "Maaf, kalau boleh tahu mas Sutikno nya mana ya?" tanya pak pos penuh selidik. "Saya ini Sutikno....!" ucapku. "Ooohhh....ternyata mas ini Sutikno toh!" pak pos mengangguk-ngangguk... [caption id="attachment_213482" align="alignnone" width="150" caption="kejebak nih ye..."][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H