Mohon tunggu...
Vincentia Trisna Yoelinda
Vincentia Trisna Yoelinda Mohon Tunggu... Mahasiswa -

young-wild-free

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Malam Keakraban atau Konferensi Pembabatan Ilalang

5 September 2015   20:01 Diperbarui: 5 September 2015   20:30 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     “Kelompok lima belas yang mana, ya?”
     “Berapa?”
     “Lima belas.”
     Segera orang berpakaian putih, dan berompi krem dengan logo Tanoto Foundation itu melangkah ke hamburan alien-alien yang terbungkus rapi dengan jas-jas warna-warni. Aku mengikuti geraknya di tengah angin hangat Pangkalan Kerinci, Riau yang baru pertama kali kupijak.
       Ini udara Pangkalan Riau yang panas atau aku terlalu tebal berpakaian?
Ah, ini namanya orang terbakar rasa ingin tahu!

     “Marco.”
     “Niko.”
     “Juryanto.”
     “Oh, hai. Aku Yoel,” kusambut dengan canggung saja setiap senyuman, dan jabat tangan makhluk-makhluk asing atau boleh kusebut mereka ini alien-alien jantan yang berbaris rapi. Tidak kudapati lagi sosok yang tadi memimpinku ke barisan-barisan alien ini. Lalu aku layangkan saja pandanganku ke depan.
Tiba-tiba mataku menjadi mata anjing, buta warna, tapi tidak, tidak untuk melihat warna makhluk yang sedang bersinar meluncur ke atas papan kayu di hadapan barisan alien-alien.

     “Kita sambut, Pak Anderson Tanoto!”
Lalu gegap gempita, dan gemuruh sorak sorai serta lengkingan histeris terdengar mengudara. Keramaian ini pasti didengar oleh gajah-gajah yang sedang kelaparan di tengah hutan. Aku yakin Penciptaku baru saja mengubah kalibrasi mataku yang minus ini menjadi mata elang, aku bisa melihat jelas bahkan hingga lima belas kilometer jauhnya.


     Pak Anderson menebarkan senyumnya, dan menyalakan api dengan obor yang ada dalam genggamannya. Bagiku ia tidak hanya membuka acara Tanoto Scholars Gathering 2015 yang mengusung tema “Learn and Lead”. Lebih dari itu! Pak Anderson tidak hanya menyulut api dalam tungku, namun ia juga membakar semangat pasukan alien warna-warni ini.

      Semua terasa seperti mimpi apabila aku harus mengingat setiap detil detik yang aku lalui bersama alien-alien warna-warni, dan pasukan hebat Tanoto Foundation. Aku ingat bagaimana air kolam renang di Hotel Unigraha yang kami singgahi memantulkan cahaya matahari pagi yang memberontak keluar menembus asap-asap pabrik. Ada perahu-perahu kertas berkilauan di ujung-ujung air kolam itu, terapung-apung.
      Kilauan itu sirna saat aku diarak masuk ke dalam kotak besi besar beroda yang mengeluarkan asap ketika melaju. Aku, dan alien-alien warna-warni itu kini menggendong tas seragam, topi hijau, dan berkalungkan nama kami masing-masing. Aku kini melihat mereka menjadi satu spesies yang sama denganku, Homo sapiens.


Pasukan hebat Tanoto Foundation membawa kami berkeliling Pangkalan Kerinci. Menyaksikan tabung-tabung besar mengepulkan asap, benih-benih akasia unjuk gigi, dan sesuatu yang mengingatkanku akan orangutan. Orangutan, primata yang masuk keluarga Hominidae, dan di Sumatera tenar sebagai Pongo abelii, pernah kudapati di layar kaca menjamahi buah yang baru pertama kali kusentuh. Kelapa sawit. Kurasakan jari-jariku menari, dan meremas buliran kelapa sawit itu, kemudian tiba-tiba aku terlumuri oleh minyak kelapa sawit, licin, dan aku pun tergelincir.

      Mimpi ini berlanjut menjadi mimpi yang basah. Aku seperti berada di tengah lautan bersama-sama lumba-lumba yang begitu dekat mengitariku. Alien-alien kelompok 15, yang sempat kuanggap menjadi Homo sapiens kini terpoles menjadi kumpulan lumba-lumba.
Kenapa? Ada apa ini?
Sederhana, ini karena di bawah cengkeraman matahari yang tiba-tiba bejat aku bisa melihat senyuman-senyuman, serta mendengar suara-suara kekehan lucu mereka.


      Kami bermain bersama melawan pasukan yang masih kuanggap sebagai alien, alien kelompok 16. Aku tahu ini melelahkan, apalagi kami kalah dalam setiap perang saudara itu. Tapi kelompok 15 seperti seperti mau tidak mau terlihat tersenyum dengan gigi-gigi berjajar rapi. Seperti lumba-lumba, kami berbicara sekaligus mendengarkan dengan gigi-gigi kami. Kami yakin alien-alien, atau, ya, Homo sapiens, serta pasukan hebat Tanoto Foundation tidak dapat mengerti isyarat yang kami gunakan satu sama lain. Kami tidak akan kehilangan arah, ada GPS dengan sinyal yang kuat terpancar dari senyum, dan lubang udara di kepala kami, lumba-lumba kelompok 15.
    

     Tiba-tiba lautan menjadi surut, dan kami tidak bisa bertahan lagi sebagai lumba-lumba. Kami didudukkan di bangku-bangku kaku di sekolah internasional, dan kami dihadapkan dengan sahabat pasukan hebat Tanoto Foundation. Kami menjadi anak-anak TK yang disuapi materi-materi, dan puzzle kehidupan. Aku menggerakkan kepalaku miring ke kanan, dan ke kiri mengikuti pembicaraan sahabat pasukan hebat Tanoto Foundation. Mereka adalah guru-guru baru kami. Lalu aku mengambil setiap potongan puzzle yang mereka suguhkan. Aku susun, dan aku telan. Ini mudah! Seperti virus cacar air, yang masuk ke dalam sel target di tubuh hospes. Pasangan basa dari DNA-DNA puzzle kehidupan, dan materi-materi dari guru-guru baru ini menyisip sempurna dalam kromosomku. Aku yakin ini akan selamanya tertanam, dan mengubah diriku.

      “Bapak Sukanto Tanoto beserta Ibu Tinah Bingei Tanoto!”
Kemudian gemuruh sorak-sorai, dan tepuk-tangan yang lucu seperti anjing laut kulihat, kudengar gemuruhnya memenuhi aula lantai dua Hotel Unigraha. Aku harap euforia ini tidak mengusik kelelawar, burung hantu, dan kukang yang sedang bercengkerama dengan alam. Aku melihat senyuman bangga dari pasukan hebat Tanoto Foundation, Homo sapiens kelompok 15, dan kelompok lain yang beberapa masih nampak seperti alien.
     “Orang macam apa ini? Bisa-bisanya beliau keluar dari sekolah menengah atas, dan kini malah menjadi pu ndi-pundi bagi Homo sapiens, dan alien-alien serta maklhuk-makhluk berpeluh di sekitarnya yang mungkin mulai patah arang menlanjutkan hidup dalam kemiskinan.”
      “Ini namanya Sukanto Tanoto. Bapak kita juga,” begitulah yang kudengar dari hembusan angin malam yang berdengung menjawab pertanyaan dalam benakku tadi.
Pasti aku takkan bisa berhenti menganga mendengar kisah hidup makhluk yang elegan di tengah usianya yang menua ini. Ketika kupandangi beliau, aku melihat seorang lakon yang berderap maju dari kemiskinan, dan keterbatasan yang dialami di masa mudanya. Beliau bukan orang yang mau didikte oleh nasib kemalangan. Beliau bahkan percaya setiap orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Beliau seperti seorang tukang kebun yang memiliki pot-pot sederhana yang kemudian ditanami dengan benih-benih kebaikan, dan kemuliaan. Setiap hari beliau pupuk, dan beliau airi.
      Saat beliau melangkah di aula lantai dua Hotel Unigraha menuju ke podium, sekali lagi aku melihat sesosok lakon yang kini di masa tua, masih bisa memancarkan titik-titik embun dari derapan langkahnya. Beliau membawakan kesejukan, dan menghidupkan tanah-tanah yang mulai mengering. Hati-hati yang gersang, pikiran-pikiran yang tersumbat keputusasaan dialiri dengan kata-kata yang mengalir seperti sungai. Semangat yang lembut, menyapa setiap hari, dan tidak pernah mengering. Beliau membawa semua orang bermuara ke satu lautan: kesejahteraan.

      Sontak letupan kembang api memekakkan perasaanku, lalu aku melihat lagi kelompok 15 berhamburan di tanah lapang. Aku merasa seperti seekor platypus, aku seperti bebek padahal sejatinya mamalia, aku tidak tahu bagaimana menempatkan diri, bagaimana harus bersikap.
Hari telah menjadi gelap gulita karena matahari bejat kemarin siang telah diusir oleh jilatan-jilatan api unggun yang asapnya membumbung ke langit mengirimkan pesan: tolong berhentilah bersinar terik sejenak, Matahari.
Mataku mulai minim dalam penglihatan, lalu aku dihampiri kelompok 15 yang kini menjelma menjadi platypus sepertiku. Mereka sanggup menemukan aku di tengah gerakan otot massal yang dibuat pasukan alien, dan beberapa Homo sapiens kelompok lain. Aku pun bisa menangkap medan listrik yang dipancarkan platypus 15 ini. Kami saling tatap, dan mulai menggoyangkan badan.
       Aku terlarut dalam tari-tarian, hiruk pikuk, lengkingan, dan auman liar. Aku melihat semuanya menjadi serigala, 200an pasukan alien warna-warni atau ya sebut saja Homo sapiens, platypus 15, bahkan pasukan hebat Tanoto Foundation. Kami semua mengaum, menerkam, dan mencabik dingin, liar, dan beringasnya malam perpisahan itu.

       Aku, Yoel, seekor mahasiswa Kedokteran Hewan, diterjunkan langsung dari Pangkalan Kerinci, Riau, kini telah memeluk kembali guling, dan bantal di kamarku di Yogyakarta. Aku terlepas dari Tanoto Scholars Gathering 2015, yang katanya adalah malam keakraban, namun nyatanya merupakan konferensi pembabatan ilalang. Lima hari empat malam yang penuh kegiatan itu telah membabat ilalang yang tumbuh dalam tanah hidupku. Ilalang yang selama ini menghambat benih gandum yang mulia untuk bertumbuh. Ilalang yang menjalar berupa keegoisan, ketidaktahuan, kemalasan serta ketidakpedulianku akan semua hal di luar bidang yang kupelajari di bangku kuliah kini habis binasa.
     Kini aku sadari bahwa semua ini bukanlah mimpi melainkan suatu kejadian luar biasa yang seyogyanya dibuatkan monumen peringatan. Peringatan keras di otakku. Tahun depan aku ingin lebih banyak lagi ilalang-ilalang yang merambati alien-alien dungu sepertiku dibabat habis melalui Tanoto Scholars Gathering. Ya, Tanoto Scholars Gathering, Konferensi Pembabatan Ilalang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun