Mohon tunggu...
Vincent Fabian Thomas
Vincent Fabian Thomas Mohon Tunggu... Mahasiswa, Pers Mahasiswa -

Sarjana Teknik Industri Universitas Parahyangan Bandung - Jurnalis mahasiswa @ Media Parahyangan - Kunjungi : mediaparahyangan.com - Email : vincentfabianthomasdharma@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mari Merayakan Esensi Pendidikan, Mempersiapkan Calon Buruh

2 Mei 2018   16:38 Diperbarui: 2 Mei 2018   17:03 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengikuti Aksi Peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2018 kemarin memberikan kesan tersendiri bagi diri saya. Orasi-orasi dari berbagai komunitas dan sayap-sayap perjuangan buruh, mahasiswa, dan aktivis menghiasi jalan yang terhampar di depan Gedung Sate, Kota Bandung. 

Berbagai tuntutan jaminan seperti yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan kerja, buruh perempuan, hingga upah yang layak dan harga kebutuhan pokok termasuk kabar tenaga kerja asing yang meresahkan bergaung sepanjang hari libur yang menghimpit hari Senin menjadi "Libur Kejepit". Sampai suatu ketika ada sebuah orasi yang mengajak mahasiswa bersatu dengan menyebutkan bahwa mahasiswa juga adalah calon buruh.

Mendengar ucapan itu, saya justru teringat pada suatu pengalaman ketika saya tengah menjalani masa "kerja praktek" (istilah kampus, seharusnya praktik) di suatu perusahaan manufaktur ternama di Purwakarta.

Di tempat itu, saya diharuskan menggunakan seragam perusahaan, mematuhi jam kerja mereka (masuk pukul 8.00 WIB dan pulang pulul 17.00 WIB, hingga makan siang ketika sudah mendengar bel istirahat makan siang (atau paling tidak, ketika waktunya sudah mendekati jam makan siang).

Secara garis besar memang seperti itulah dunia kerja bukan? Sama juga halnya dengan apa yang saya amati dari kehidupan para buruh di dalam pabrik itu. Datang tepat waktu, bekerja, dan bel istirahat. Lalu para supervisor akan sibuk mengecek standar dari hasil akhir produk yang mereka buat, jika bagus akan langsung dikirim ke bagian selanjutnya, jika cacat sedikit akan di-rework (diperbaiki), lalu jika buruk akan di-scrap (dibuang).

Saya pikir pengalaman serupa tentu pernah saya atau kita alami juga selama duduk di bangku sekolah dasar hingga menengah. Terutama mengenai betapa suatu aktivitas yang sedari dini dibiasakan untuk menyerupai aktivitas mekanistis seperti yang saya saksikan di pabrik yang saya kunjungi libur semester 2017 silam.

Ciri-ciri seperti siswa menggunakan seragam yang sama antara satu dengan yang lain, bel menjadi penanda ketika sudah waktunya istirahat atau pulang, harus fokus mengikuti pelajaran tanpa banyak bersenda-gurau, hingga berusaha keras memenuhi "standar" pendidikan. Lalu jika tidak memenuhi "standar", kita tentu tahu apa yang akan terjadi akibatnya yaitu dinyatakan gagal bahkan kalau perlu dicampakan ke dalam hukuman terberat seorang siswa "Tinggal Kelas".

Di luar beberapa kesamaan kasat mata tersebut, penggunaan kata "Standar" diulas dalam sebuah artikel di rubrik Bahasa dalam Majalah TEMPO Edisi 23-29 April 2018. Menurut artikel yang ditulis oleh Rahmat Petuguran, kata "standar" atau yang serupa dengannya seperti "kompetensi", "supervisi", dan "sertifikasi" hanya lazim digunakan dalam dunia korporasi karena paradigma yang digunakan adalah institusi bisnis berorientasi keuntungan finansial. 

Namun, kata-kata yang sebelumnya hanya cocok diungkapkan ketika mendapati panci yang peot, menjadi semakin lazim di dunia pendidikan sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2015.

Selain itu, penulis yang juga merupakan Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang menuturkan bahwa penggunaan bahasa layak menjadi perhatian utama karena merupakan ekspresi ideologis penuturnya. Sementara menurut studi wacana kritis yang ia pahami, ideologi sendiri merupakan ojbek strategis karena menggambarkan kekuasaan dan kepentingan. 

Di luar manfaat baik yang ditawarkan atau diagung-agungkan oleh para pemangku kepentingan dan kebijakan dalam dunia pendidikan, kita perlu mewawas diri dalam konsep yang ditawarkan akhir-akhir ini. Saya tentu tidak bermaksud mengkerdilkan atau mendiskreditkan jerih payah dan jasa para guru. Namun, yang ingin saya permasalahkan adalah konsepsi yang bersembunyi dan diam-diam dibangun dan membentuk kira dibalik simbol-simbol tersebut.

Berbicara dalam konteks pendidikan dasar hingga menengah ke atas, kita tentu akan mudah merasakan bahwa hal ini tidaklah relevan. Barangkali di sekolah, siswa memang tidak sedang diajari atau mempraktikan kondisi ketika mereka disuru memproduksi barang seperti buruh-buruh di pabrik, tetapi hal yang yang ditawarkan untuk diikutsertakan dalam kegiatan produksi ini adalah "diri" mereka sendiri.

Dalam keadaan tanpa pilihan lain, desakan orang tua, ancaman sanksi, hukuman, dan kemarahan guru terutama bagi mereka yang "bandel" atau tidak mau diatur, setiap siswa menyerahkan dirinya dibentuk menjadi "diri" yang diinginkan oleh dunia sekitar dengan cara-cara pabrik membentuk barang atau produk yang akan di-"jual" kemudian. Dalam konteksnya di dunia pendidikan kita, tentu tidak mengherankan jika sekolah-sekolah berbangga diri, menaruh nama dan foto para siswa andalannya dalam baliho atau spanduk besar. 

Ketimbang membanggakan keberhasilan seorang siswa untuk menjadi dan mengembangkan "diri"-nya sendiri, sekolah tentu lebih memilih menonjolkan mereka yang memiliki nilai "jual" tinggi seperti menjadi juara atau yang umumnya kita lihat seperti diterima di kampus luar negeri ternama atau diterima di kampus negeri. Seolah-olah produk (maksudnya siswa) sekian dari pabrik (maksudnya sekolah) sekian bermutu unggul dan disukai oleh pasar perguruan tinggi.

Manusia bahkan dalam usia belia yang menurut istilah Rahmat, sarat dengan keunikan sosiologis dan psikologis yang rumit dan autentik tidak dapat diabaikan oleh persaingan kepentingan pemerintah, guru, dan orang tua soal anggapan mana yang dapat dianggap berhasil dan tidak berhasil. 

Memang kompetisi dan persaingan yang dihadirkan dalam sarana pengembangan diri pun juga tidak sepenuhnya salah, namun yang saya kira masih keliru bahwa kompetisi dan persaingan itu tidak dapat ditujukan untuk mencapai standar tunggal dunia sekitar yang mulai tercemar dengan kepentingan ekonomi belaka. 

Dalam hal ini, konsepsi yang membatasi kelulusan hanyalah pengantar pada dunia kerja. Bahkan, selepas pendidikan menengah atas, saya bahkan kita pun merasakan betapa pemilihan jurusan di kuliah adalah penjara (tidak sebenarnya bebas memilih yang diminati) bagi "diri" yang nanti tidak lebih sekadar penjurusan pada bidang "perburuhan" yang dapat dikerjakan selepas lunturnya masa muda. Kerja, kerja, dan kerja inilah yang saya maksud menjadikan proses belajar panjang selama 12 tahun hingga kuliah nanti tidak lepasnya sekadar mempersiapkan kita menjadi "Calon Buruh".

Maksudnya mereka yang masa depannya tidak akan jauh-jauh dari sekadar menjadi manusia yang baik taat hukum dan agama, berkeluarga, dan memiliki penghasilan atas jerih payahnya di dunia industri usang yang terus bertahan hingga di era serba modern ini.

Akan tetapi, menyadari dunia yang akan dipijak oleh para lulusan sekolah-sekolah dasar hingga menengah adalah dunia yang bebas dan membuka diri untuk segala bentuk pengembangan manusia merupakan hal yang tidak dapat disangkal. Dunia tidak melulu berkaitan dengan masuk kerja, bertahan di tempat kerja, pulang lalu beristirahat, dan pada tanggal yang ditentukan mendapatkan gaji. Namun, seruan-seruan yang digaungkan pada 1 Mei 2018 kemarin merupakan salah satunya, yaitu membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik.

Namun, untuk mencapai hal itu, perlu ada sebuah perlawanan dari "diri" yang didasari atas sentuhan hari nurani dan kesadaran atas keutamaan moral yang kemudian dengan segala harapannya dapat mematahkan belenggu bersumber dari kepentingan dan kekuasaan yang bersembunyi dibalik invasi ideologi pendidikan yang dikatakan Rahmat tadi. Saya pikir inilah hal yang sekiranya akan membedakan sekolah dan perguruan tinggi dari ajang pembekalan "calon buruh" semata.

Bahwa dunia memang memerlukan aktivitas ekonomi dan pekerjaan untuk menghasilkan barang dan jasa tentu tidak dapat kita sangkal. Namun, aktivitas seperti itu tidak sepatutnya melampaui batas-batas sucinya lalu menginvasi arena kepentingan khalayak banyak.

Dengan tidak membiarkan pendidikan terjebak pada esensi yang mementingkan kelangsung korporasi semata, sekiranya pendidikan masih dapat menjadi harapan bagi manusia untuk memperoleh pengembangan diri agar di kemudian hari dapat menyelamatkan peradaban dan mewariskannya kepada generasi selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun