Mohon tunggu...
Vincent Fabian Thomas
Vincent Fabian Thomas Mohon Tunggu... Mahasiswa, Pers Mahasiswa -

Sarjana Teknik Industri Universitas Parahyangan Bandung - Jurnalis mahasiswa @ Media Parahyangan - Kunjungi : mediaparahyangan.com - Email : vincentfabianthomasdharma@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengenang Munir, Mengingat Janji Manis Jokowi

10 September 2016   16:53 Diperbarui: 11 September 2016   01:05 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Istri almarhum Munir, Suciwati bersama Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengikuti aksi diam Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, 21 Januari 2016. aksi Kamisan yang digelar untuk menuntut penyelesaian kasus HAM masa lalu, layaknya sebuah institusi pembelaan bagi korban HAM. TEMPO/Imam Sukamto

Seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dibunuh saat perjalanan pesawat menuju Amsterdam. Tertanggal 7 September 2004, pembunuhan yang dilakukan dengan racun Arsenik itu terus diperingati hingga kini. Meski kasus kopi sianida yang juga sama-sama racun sudah belasan kali disidang dan agak lebih populer, tapi apa yang terjadi pada 7 September itu tidak kalah penting.

Munir demikianlah namanya. Sebelum saya berusia kepala dua, nama itu hanya sempat saya dengar di dua kesempatan. Pertama, saat televisi ramai memberitakan kematiannya di tahun 2004. Kedua, saat mengikuti aksi Kamisan di Bandung serta Jakarta dan acara peringatan pelanggaran HAM seperti September Hitam.

Jauh setelah kematiannya, nama itu telah berubah menjadi simbol penegakkan HAM di Indonesia. Betapa tidak, sebelum kematiannya, Munir adalah pegiat HAM yang progresif memperjuangkan berbagai kasus HAM di masa lalu. Ia pun juga menjadi salah satu pendiri KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).

Berkaitan dengan ide penegakkan HAM di Indonesia, janji yang sama pernah diucapkan saat pemilihan presiden (pilpres) 2014. Bagi calon nomor urut 2, janji ini tergolong senjata yang ampuh mengingat calon nomor urut 1 adalah kontra dari janji itu.

Tidak hanya itu, di sela debat capres dan cawapres di stasiun televisi, pertanyaan tentang HAM itu terbukti ampuh membuat kesal calon nomor urut 1 yang kesulitan menjawabnya.

Boleh dikata juga, janji itu barangkali menggerakkan seorang muda seperti saya untuk ikut dalam pemilu. Bukan jargon “Salam Dua Jari”, bukan juga meriahnya konser Slank di stadium Gelora Bung Karno, bukan juga baju putih sederhana yang sering dipakai saat blusukan.

Alasannya sederhana. Yang nomor 2 lebih baik dibanding nomor 1 karena tidak punya catatan pelanggaran HAM. Bahkan, mencantumkan agenda penegakkan HAM di masa lalu sebagai agenda prioritasnya yang tertuang dalam Nawacita yang sakral itu.

Alhasil, calon nomor urut 2 pun menang. Namun, tahun 2015, selang setahun setelah hari kemenangan itu, tak kunjung ada tanda-tanda yang signifikan. Hal itu berlanjut pula hingga 7 September 2016 kemarin, di saat usia pembunuhan Munir sudah mulai puber. Puber karena sudah 12 tahun mangkrak, tak kunjung terungkap.

Bahkan, Pollycarpus yang sempat ditangkap pada Maret 2005 lalu pun sudah keburu bebas bersyarat pada 2014 plus remisi berlimpah nan ajaib: 4 tahun, 6 bulan, dan 20 hari.

Salah satu hal menarik lain dalam perjalanan kasus Munir adalah saat terjadi penundaan pengungkapan hasil otopsi jenazah Munir. Dalam laporan Tempo berjudul “Kesaksian Intel Belanda dalam Kematian Munir”, disebutkan penundaan pengungkapan itu lantaran pembunuhannya diduga akan digunakan untuk kampanye hitam.

“Forensik ini bisa dipakai untuk kampanye hitam bagi Yudhoyono yang jenderal tentara?” ucap seorang intel. Bahkan, kutipan menarik itu pun berlanjut ke dugaan lain. "Itu rupanya yang diinginkan pembunuh Munir: Belanda mengumumkan ke dunia seorang aktivis antimiliter terbunuh,” ucap Rachland Nashidik.

Akan tetapi, meskipun berbeda 10 tahun, pilpres 2004 dan 2014 boleh dikata memiliki persamaan. Persamaan itu yakni menggunakan isu pelanggaran HAM sebagai komoditas politik. Meskipun sama-sama berhadapan dengan calon yang berlatar belakang ketentaraan, ada sedikit perbedaan yakni strategi itu berhasil di tahun 2014, tetapi tidak untuk tahun 2004.

Dari ide tentang komoditas politik itu juga, penegakkan HAM di era Jokowi berjalan tidak sesuai harapan. Ia memang pernah berjanji saat kampanye melalui nawacita, 9 program prioritas, dan debat capres-cawapres.

Namun, hampir 2 tahun kepemimpinannya, realitas dan ekpektasi layaknya langit dan bumi. Protes aktivis HAM pun mengalir berkaitan dengan dilantiknya Budi Gunawan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ditambah Wiranto sebagai Menko Polhukam. Dengan langkah yang terkesan berusaha menghambat penegakkan HAM, janji-janji manis Jokowi pun dipertanyakan.

Belum lagi disusul dengan agenda-agenda pembangunan yang serba cepat dan instan. Dalihnya memang pertumbuhan ekonomi dan upaya menarik investor, tetapi efek sampingnya justru menambah catatan panjang permasalahan HAM di Indonesia. Tepatnya permasalahan HAM yang menyangkut petani, buruh, rakyat miskin urban, dan penduduk-penduduk pinggiran.

Kita pun akhirnya mengenal kasus-kasus baru berkaitan dengan HAM seperti pembunuhan aktivis tambang seperti Salim Kancil, hilangnya sejumlah desa akibat waduk Jatigede, penolakan reklamasi  Teluk Benoa di Bali, aksi Kartini Kendeng memasung kakinya untuk menolak pabrik semen, penolakan penggusuran dan reklamasi pantai Jakarta, dan sejumlah konflik agraria lainnya.

Apa yang dialami oleh para petani, buruh, rakyat miskin urban, dan penduduk-penduduk pinggiran tentu merupakan problem Hak Asasi Manusia. Hanya karena tidak melibatkan pertumpahan darah secara ekplisit dan tidak dilakukan semasa Orde Baru, hal itu tidak berbeda dengan latar belakang yang mengganjal calon nomor urut 1 saat pilpres 2014. Hanya karena sosok pemimpin yang populis, tidak berarti ia maha-benar.

Jokowi dalam segala kepopulisannya memang seolah tidak memiliki catatan pelanggaran HAM masa lalu seperti lawannya pada pilpres 2014. Akan tetapi, kini melalui kebijakannya, catatan pelanggaran HAM yang sempat dijanjikan segera terungkap dan teratasi, kini terus tertunda bahkan bertambah dan menumpuk di masa mendatang.

Barangkali janji yang diucapkan dalam nawacita dan sembilan program prioritas itu memanglah janji yang manis. Manis seperti permen abal-abal yang hanya terasa di awal dan mulai hambar ketika lapisan manis pembungkus permen itu larut dalam lidah. Untuk sebuah janji, kini memang waktu yang tepat untuk mengisap jempol belaka.

Rabu, 7 September kemarin adalah 12 tahun kematian Munir. Sang istri almarhum pun tidak lagi menaruh harapan banyak kepada Presiden Joko Widodo dan hanya dapat berkata, “Dia dikelilingi oleh penjahat, apakah bisa berharap dengan orang-orang itu? Tidak bisa,” ujarnya pada berita yang dimuat Tempo pada Rabu (7/9) lalu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun