Akan tetapi, meskipun berbeda 10 tahun, pilpres 2004 dan 2014 boleh dikata memiliki persamaan. Persamaan itu yakni menggunakan isu pelanggaran HAM sebagai komoditas politik. Meskipun sama-sama berhadapan dengan calon yang berlatar belakang ketentaraan, ada sedikit perbedaan yakni strategi itu berhasil di tahun 2014, tetapi tidak untuk tahun 2004.
Dari ide tentang komoditas politik itu juga, penegakkan HAM di era Jokowi berjalan tidak sesuai harapan. Ia memang pernah berjanji saat kampanye melalui nawacita, 9 program prioritas, dan debat capres-cawapres.
Namun, hampir 2 tahun kepemimpinannya, realitas dan ekpektasi layaknya langit dan bumi. Protes aktivis HAM pun mengalir berkaitan dengan dilantiknya Budi Gunawan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ditambah Wiranto sebagai Menko Polhukam. Dengan langkah yang terkesan berusaha menghambat penegakkan HAM, janji-janji manis Jokowi pun dipertanyakan.
Belum lagi disusul dengan agenda-agenda pembangunan yang serba cepat dan instan. Dalihnya memang pertumbuhan ekonomi dan upaya menarik investor, tetapi efek sampingnya justru menambah catatan panjang permasalahan HAM di Indonesia. Tepatnya permasalahan HAM yang menyangkut petani, buruh, rakyat miskin urban, dan penduduk-penduduk pinggiran.
Kita pun akhirnya mengenal kasus-kasus baru berkaitan dengan HAM seperti pembunuhan aktivis tambang seperti Salim Kancil, hilangnya sejumlah desa akibat waduk Jatigede, penolakan reklamasi Teluk Benoa di Bali, aksi Kartini Kendeng memasung kakinya untuk menolak pabrik semen, penolakan penggusuran dan reklamasi pantai Jakarta, dan sejumlah konflik agraria lainnya.
Apa yang dialami oleh para petani, buruh, rakyat miskin urban, dan penduduk-penduduk pinggiran tentu merupakan problem Hak Asasi Manusia. Hanya karena tidak melibatkan pertumpahan darah secara ekplisit dan tidak dilakukan semasa Orde Baru, hal itu tidak berbeda dengan latar belakang yang mengganjal calon nomor urut 1 saat pilpres 2014. Hanya karena sosok pemimpin yang populis, tidak berarti ia maha-benar.
Jokowi dalam segala kepopulisannya memang seolah tidak memiliki catatan pelanggaran HAM masa lalu seperti lawannya pada pilpres 2014. Akan tetapi, kini melalui kebijakannya, catatan pelanggaran HAM yang sempat dijanjikan segera terungkap dan teratasi, kini terus tertunda bahkan bertambah dan menumpuk di masa mendatang.
Barangkali janji yang diucapkan dalam nawacita dan sembilan program prioritas itu memanglah janji yang manis. Manis seperti permen abal-abal yang hanya terasa di awal dan mulai hambar ketika lapisan manis pembungkus permen itu larut dalam lidah. Untuk sebuah janji, kini memang waktu yang tepat untuk mengisap jempol belaka.
Rabu, 7 September kemarin adalah 12 tahun kematian Munir. Sang istri almarhum pun tidak lagi menaruh harapan banyak kepada Presiden Joko Widodo dan hanya dapat berkata, “Dia dikelilingi oleh penjahat, apakah bisa berharap dengan orang-orang itu? Tidak bisa,” ujarnya pada berita yang dimuat Tempo pada Rabu (7/9) lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H