---
MU tidaklah sendiri. Meskipun merupakan mantan buruh migran, JBMI mencatat setidaknya 209 buruh migran Indonesia terancam hukuman mati. Dari angka itu, 63 diantaranya adalah perempuan.
Menjadi buruh migran tentu bukanlah impian utama sebagian besar rakyat Indonesia. Kala seorang guru bertanya pada muridnya mengenai cita-cita kelak ketika dewasa, rasanya kata buruh migran bisa jadi jarang terdengar. Bahkan, hampir tidak terdengar bila pertanyaan itu disodorkan pada sekolah-sekolah swasta maupun negeri kelas menengah di pusat kota-kota besar.
Kata buruh migran barangkali baru terdengar ketika pertanyaan yang sama didengungkan di desa maupun daerah-daerah pinggiran yang jauh dari pusat kota. Terlintas di alam pikir mereka yang mengharapkan penghasilan dan penghidupan yang lebih layak ketimbang hanya bekerja di Indonesia. Suatu daya juang yang tetap muncul meskipun hidup dalam kemiskinan maupun kondisi ekonomi yang tidak seberapa.
Bila berkaca dari apa yang dialami oleh MU, keputusannya menjadi buruh migran tentu bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Tepatnya keharusan yang juga diboncengi oleh tanggung jawab menghidupi kedua anaknya selepas bercerai dengan suaminya. Keputusan itu tentu merupakan keputusan yang wajar mengingat kondisi perekonomian mengharuskannya bertahan hidup meski jauh dari standar hidup layak.
Meskipun kini keputusan itu tengah berujung pada kemalangan di Nusa Kambangan, nama MU mungkin tidak perlu tercantum bila kesulitan ekonomi tidak menimpa. Juga tidak perlu disebut oleh media massa, bila dalam kerentannnya sebagai perempuan, ia dilindungi dengan baik oleh negara dan sistem peradilannya ketimbang hanya tutup mata dan menuduhnya sebagai gembong narkoba.
Tepatnya sesuai, UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPPTPO), Pasal 1 (ayat 1).
“Tindakan perekrutan, pengangkutan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Tanpa bermaksud meremehkan upaya pemberantasan peredaran narkoba, apa yang dialami oleh MU perlu ditinjau ulang. Terlepas tertangkapnya MU di Bandara pada 2001 lalu, ia layak mendapatkan grasi. Eksekusi mati yang akan menimpanya justru menyimpang dari upaya negara yang seharusnya menyentuh bahkan mengungkap sindikat narkoba di Asia Tenggara bila negara benar-benar ingin serius melakukan perang terhadap narkoba.
Justru ketika negara tengah sibuk menakut-nakuti warganya dengan hukuman mati, gembong sindikat sebenarnya akan terus beraksi dan korban-korban baru pun akan terus berjatuhan.
Lagipula seperti halnya kaum tua yang perlu memahami “kekinian” anak muda, kejahatan perlu dipahami berikut dengan “kekiniannya”. Kejahatan tidak melulu timbul dari niatan jahat atau picik dari pelakunya. Pelakunya juga tidak melulu adalah otak utama kejahatannya, seperti yang dialami oleh MU, menurut UU Narkotika ia mungkin adalah pelaku, tetapi menurut UUPPTPO di atas, ia justru adalah korban.