Rabu 20 Juli lalu, media massa di Indonesia tengah sibuk-sibuknya memberitakan sebuah kasus yang disebut-sebut “Kopi maut”. Maut karena orang yang meminumnya segera merenggut nyawa. Tidak hanya itu, media massa sekaliber Kompas pun menyiarkan sidang itu live di layar kaca.
Bertepatan dengan pemberitaan kasus tersebut yang begitu hebat, di tanggal yang sama suatu laporan bertajuk “Ringkasan Temuan dan Rekomendasi Sidang IPT 1965” berikut putusan akhir sidang IPT 1965 dikeluarkan. IPT 1965 sendiri merupakan singkatan dari International People Tribunal yang dibentuk dengan tujuan memperbaiki sejarah yang telah lama dipelintir hingga disepelekan terkait kejahatan pasca 30 September 1965.
Akan tetapi, dua hal di atas memiliki kesamaan. Keduanya menyangkut sidang untuk menggugat kematian seseorang. Hanya perbedaan yang menarik ketika yang tengah diberitakan dengan penuh semangat oleh media massa adalah dugaan pembunuhan di sebuah restoran mewah di sebuah mall berkelas di Jakarta. Sedangkan yang satu lagi merupakan dugaan pembunuhan massal di berbagai wilayah Indonesia di tanah-tanah tanpa nama dan jauh dari perhatian publik.
Belum lagi yang satunya lagi cukup tergolong usang sebab sudah 1965 silam sedangkan yang satunya masih fresh. Bahkan,tanpa bermaksud menyepelekan terdapat perlakuan hukum yang berbeda pula dari dua kasus tersebut. Ketika kasus yang melibatkan mall mewah dan kelas menengah, dugaan pembunuhan itu segera mencuri perhatian publik dan aparat penegak hukum. Dalam hitungan bulan berkas-berkas rekonstruksi, pemeriksaan, hingga bukti rekaman segera dibereskan.
Jika dilihat perlakuan hukum terhadap kasus yang sudah jauh tertinggal sejak 1965 itu, kasus yang ini cukup lelet. Tidak hanya karena terjadi di luar daerah urban milik kelas menengah, kasus ini justru terkesan dihambat bahkan disengajakan untuk molor penyelesaiannya. Bahkan, ketika Komnas HAM, KontraS, dan aksi Kamisan di depan istana negara telah mengingatkan pemerintah berulang kali, kala berganti bokong di kursi panas istana negara terus berganti, kasus itu belum juga digubris.
Meskipun demikian, apa yang terjadi pada 1965 silam itu jelas bukan hal yang bisa disepelekan. Dalam ringkasan temuan sidang IPT 1965 yang dimuat di laman situs Tribunal 65 pun, mengungkapkan bahwa hal ini lebih dari sekadar genosida. Terdapat 9 kejahatan lainnya yang juga terjadi pada peristiwa 1965 itu. Diantaranya, pembunuhan (perkiraan 400.000 – 500.000 orang, sumber lain menurut Sarwo Edhi – Komandan RPKAD berjumlah 3 juta orang ), hukuman penjara, perbudakan, penyiksaan, penghilangan secara paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda, hingga keterlibatan negara lain.
Selain itu, terdapat hal menarik lain yang perlu kita cermati. Jika pada kasus dugaan kopi maut, pelaku yang diduga adalah teman dekat, pada kasus yang kedua, pelakunya justru adalah negara. Tepatnya negara di kala waktu 1965 itu telah direbut dari tangan presiden pertama Ir. Soekarno dan tengah aktif melakukan “pembersihan” lawan-lawan politiknya. Tepatnya lagi lawan-lawan politik yang kala itu kalah dalam pertarungan politik antara Militer dan PKI.
Tidak hanya itu, dalam proses pembersihannya pun tidak hanya yang ditujukan pada mereka yang memang PKI. Mereka yang bukan tetapi dituduh PKI atau di-PKI-kan pun juga ikut disikat habis. Dibersihkan dan disikat tentu bukan dengan sikat dan larutan pembersih lantai dengan wangi ala aromatic spa, melainkan dengan pertumpahan darah.
Bukan main pertumpahan darah yang terjadi waktu itu. Jika kita mau melihat film yang pernah dipublikasikan oleh Joshua Oppenheimer, sang sutradara dokumenter yang sedang tidak bisa kembali ke Indonesia itu, sejumlah pelaku dan penyintas yang ditemui sanggup menggambarkan apa yang pernah terjadi. Tanpa bermaksud lebay dan hiperbolis, beberapa kosakata seperti kejam, sadis, dan haus darah bisa jadi tepat dalam menggambarkan proses pembantaian yang terjadi.
Belum berhenti sampai di sana, perkembangan selanjutnya, selama sekitar 3 dekade lebih, negara melalui propagandanya terbukti telah aktif mencuci otak masyarakat dengan kengerian terhadap pembunuhan 7 jenderal di lubang buaya. Tujuannya tidak lain untuk menanamkan kebencian terhadap PKI dan ideologi komunis sekaligus sebagai penerbitan “lisensi” bahwa pembunuhan massal itu adalah aksi heroik para pelakunya serta tidak melanggar hukum maupun nilai kemanusiaan.
Namun, kebencian itu justru malah meluas hingga mereka para penyintas dan keturunannya turut dicabut hak-haknya sebagai warga negara. Tidak sedikit yang harus kehilangan mata pencaharian, keluarga terlantar, atau pun harus menyaksikan orang-orang yang dicintai meregang nyawa tanpa memperoleh keadlian. Meskipun selanjutnya pelakunya berasal dari tingkat lokal, negara turut berperan dalam pembiaran serta penanaman kebencian melalui propaganda dan pelintiran sejarah yang kini merasuki buku-buku sejarah anak-anak sekolah.
Genosida Baru dan Mengapa Negara Harus Meminta Maaf?
Lantas setelah panjang lebar beroceh. Pembaca pasti bertanya lantas mengapa negara harus meminta maaf? Di sini perlu kita lihat dengan kerendahan hati mengenai dampak dari peristiwa 1965 itu di masa depan bahkan di tahun-tahun ketika di istana presiden ditemukan monster pokemon.
Apa yang kita temukan sebagai Genosida 1965 boleh dikata merupakan blueprint ‘cetak biru’ untuk genosida-genosida selanjutnya. Ketika penyelesaian kasus ditendang jauh-jauh dari perhatian publik dan fakta-faktanya ditutup-tutupi oleh pihak yang berwenang, waktu pun berjalan maju. Dalam prosesnya waktu berjalan itu, 10 kejadian dalam ringkasan temuan IPT 1965 yang sebelumnya pernah terjadi, terus berlanjut bahkan berlipat ganda.
Seolah-olah apa yang terjadi pada 1965 silam itu menjadi buku panduan mengenai hal-hal apa saja yang bisa dilakukan kepada mereka yang tidak disukai oleh penguasa. Kala itu bapak pembangunan Indonesia kita tengah berkuasa. Tuduhan subversif (pemberontakan terhadap kekuasaan yang sedang berlangsung) dan tuduhan PKI pun dilekatkan pada mereka yang didakwa menentang kebijakan pemerintah yang mengatasnamakan kepentingan umum untuk pembangunan. Padahal kala itu juga mereka yang didakwa tersebut tengah merawat luka nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan hingga kerusakan lingkungan yang ditimbulkan kebijakan atas nama pembangunan tersebut.
Hari ini genosida telah bermetamorfosis dengan jenis dan wajahnya yang baru. Bukan ditujukan untuk PKI dan ideologi komunis, meskipun isu kebangkitan PKI sempat disentil lagi. Melainkan, untuk mereka yang memiliki sikap tidak setuju bahkan membangkangi keputusan maupun kebijakan pemerintah yang diboncengi korporasi haus laba dan berahi akan modal. Permasalahannya, mereka yang ditimpa genosida jenis baru itu lantaran menentang kebijakan yang tidak adil, melanggar nilai kemanusiaan, dan merusak lingkungan.
Merekalah para petani, nelayan, rakyat kecil, bahkan kini orang Papua yang menjadi korban atas genosida bentuk baru ini. Baik penggusuran disertai perampasan lahan, reklamasi, maupun pembangunan industri dan infrastruktur kini menunggangi mewahnya kondisi yang diciptakan pada 1965 silam. Semakin cepat, mudah, dan tidak perlu pusing. Mumpung saja negara belum mengakui dan meminta maaf, angka korban yang berjatuhan terus naik dan kasus serupa pada 1965 terus berlanjut. Boleh dikata genosida kini dilakukan dengan sedikit lebih sopan meskipun tidak menghilangkan esensinya. Mungkin jumlahnya tidak sekaligus banyak seperti pada 65, tetapi jika diakumulasikan dari waktu ke waktu pasca 65 maupun reformasi barangkali jumlahnya bisa sebanyak yang lalu.
Entah apalah alasan negara tidak mau minta maaf lantaran sulit diperdebatkan siapa yang harus meminta maaf maupun dikata “Kita tidak boleh menjadi bangsa yang pendendam”. Atau mungkin bilamana ada orang yang berkeyakinan agar hal ini dibiarkan saja agar tidak menyulut bencana atau kekacauan. Namun, sesungguhnya pilihan tetap tersedia.
Lantas, apa yang tersisa dari martabat negara kita akan diukur dengan orang-orang yang menolak mendiamkan luka bangsa kita di masa 1965 silam itu dibanding mencari seekor dua ekor monster pokemon dalam aplikasi Pokemon Go di hpnya. Apa yang tersisa dari keadilan dan nalar negara kita akan diukur bilamana negara mulai mengambil langkah-langkah konkrit dan tegas untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu, meminta maaf, dan berjanji memastikan untuk tidak membiarkannya terjadi lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H