Mohon tunggu...
Vincent Fabian Thomas
Vincent Fabian Thomas Mohon Tunggu... Mahasiswa, Pers Mahasiswa -

Sarjana Teknik Industri Universitas Parahyangan Bandung - Jurnalis mahasiswa @ Media Parahyangan - Kunjungi : mediaparahyangan.com - Email : vincentfabianthomasdharma@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kopi Maut Mirna Disidang, Genosida PKI Ditendang

22 Juli 2016   16:41 Diperbarui: 23 Juli 2016   14:19 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Parade September Hitam oleh Kamisan Bandung pada Sabtu, 28-9-2015. Dok. Pribadi

Genosida Baru dan Mengapa Negara Harus Meminta Maaf?

Lantas setelah panjang lebar beroceh. Pembaca pasti bertanya lantas mengapa negara harus meminta maaf? Di sini perlu kita lihat dengan kerendahan hati mengenai dampak dari peristiwa 1965 itu di masa depan bahkan di tahun-tahun ketika di istana presiden ditemukan monster pokemon.

Apa yang kita temukan sebagai Genosida 1965 boleh dikata merupakan blueprint ‘cetak biru’ untuk genosida-genosida selanjutnya. Ketika penyelesaian kasus ditendang jauh-jauh dari perhatian publik dan fakta-faktanya ditutup-tutupi oleh pihak yang berwenang, waktu pun berjalan maju. Dalam prosesnya waktu berjalan itu, 10 kejadian dalam ringkasan temuan IPT 1965 yang sebelumnya pernah terjadi, terus berlanjut bahkan berlipat ganda.

Seolah-olah apa yang terjadi pada 1965 silam itu menjadi buku panduan mengenai hal-hal apa saja yang bisa dilakukan kepada mereka yang tidak disukai oleh penguasa. Kala itu bapak pembangunan Indonesia kita tengah berkuasa. Tuduhan subversif (pemberontakan terhadap kekuasaan yang sedang berlangsung) dan tuduhan PKI pun dilekatkan pada mereka yang didakwa menentang kebijakan pemerintah yang mengatasnamakan kepentingan umum untuk pembangunan. Padahal kala itu juga mereka yang didakwa tersebut tengah merawat luka nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan hingga kerusakan lingkungan yang ditimbulkan kebijakan atas nama pembangunan tersebut.

Hari ini genosida telah bermetamorfosis dengan jenis dan wajahnya yang baru. Bukan ditujukan untuk PKI dan ideologi komunis, meskipun isu kebangkitan PKI sempat disentil lagi. Melainkan, untuk mereka yang memiliki sikap tidak setuju bahkan membangkangi keputusan maupun kebijakan pemerintah yang diboncengi korporasi haus laba dan berahi akan modal. Permasalahannya, mereka yang ditimpa genosida jenis baru itu lantaran menentang kebijakan yang tidak adil, melanggar nilai kemanusiaan, dan merusak lingkungan.

Merekalah para petani, nelayan, rakyat kecil, bahkan kini orang Papua yang menjadi korban atas genosida bentuk baru ini. Baik penggusuran disertai perampasan lahan, reklamasi, maupun pembangunan industri dan infrastruktur kini menunggangi mewahnya kondisi yang diciptakan pada 1965 silam. Semakin cepat, mudah, dan tidak perlu pusing. Mumpung saja negara belum mengakui dan meminta maaf, angka korban yang berjatuhan terus naik dan kasus serupa pada 1965 terus berlanjut. Boleh dikata genosida kini dilakukan dengan sedikit lebih sopan meskipun tidak menghilangkan esensinya. Mungkin jumlahnya tidak sekaligus banyak seperti pada 65, tetapi jika diakumulasikan dari waktu ke waktu pasca 65 maupun reformasi barangkali jumlahnya bisa sebanyak yang lalu.

Entah apalah alasan negara tidak mau minta maaf lantaran sulit diperdebatkan siapa yang harus meminta maaf maupun dikata “Kita tidak boleh menjadi bangsa yang pendendam”. Atau mungkin bilamana ada orang yang berkeyakinan agar hal ini dibiarkan saja agar tidak menyulut bencana atau kekacauan. Namun, sesungguhnya pilihan tetap tersedia.

Lantas, apa yang tersisa dari martabat negara kita akan diukur dengan orang-orang yang menolak mendiamkan luka bangsa kita di masa 1965 silam itu dibanding mencari seekor dua ekor monster pokemon dalam aplikasi Pokemon Go di hpnya. Apa yang tersisa dari keadilan dan nalar negara kita akan diukur bilamana negara mulai mengambil langkah-langkah konkrit dan tegas untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu, meminta maaf, dan berjanji memastikan untuk tidak membiarkannya terjadi lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun