Mohon tunggu...
Vincent Fabian Thomas
Vincent Fabian Thomas Mohon Tunggu... Mahasiswa, Pers Mahasiswa -

Sarjana Teknik Industri Universitas Parahyangan Bandung - Jurnalis mahasiswa @ Media Parahyangan - Kunjungi : mediaparahyangan.com - Email : vincentfabianthomasdharma@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Razia Ramadan dan Persoalan Identitas

13 Juni 2016   11:22 Diperbarui: 13 Juni 2016   11:34 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meme razia warung makan, sumber : www.brilio.net

Sebuah kabar yang memiris hati terdengar di bulan Puasa tepatnya di Serang, Banten. Pasalnya, seorang ibu yang sehari-hari berjualan makanan di warung nasinya, menjadi sasaran razia dan penertiban restoran/warung makan oleh Satpol PP. Meskipun penertiban juga dialami oleh restoran/warung makan lainnya, penyitaan dagangan yang dialami sang ibu menjadi fokus pemberitaan media massa dan sosial.

Kejadian tersebut berawal dari aturan pemkot Serang yang melarang warung/restoran untuk beroperasi di siang hari. Tujuannya tidak lain agar warung/restoran tidak melayani orang yang tidak berpuasa. Perkembangan berita dan opini masyarakat yang beredar pun segera mengangkat isu toleransi untuk orang yang tidak menjalankan puasa.

Akan tetapi, permasalahan ini sejatinya lebih serius dibanding sekadar perkara toleransi antar umat beragama. Secara spesifik lagi, tidak sesempit perkara kelompok yang berpuasa dan tidak puasa. Tepatnya, permasalahan ini menyinggung persoalan identitas.

Identitas yang dimaksud di sini, mengacu pada gagasan Amartya Sen tentang keberagaman identitas. Sen menyatakan bahwa setiap individu memiliki identitas yang beragam dan beraneka afiliasi. Sederhananya, seorang individu bisa memiliki identitas yang terdiri dari berbagai macam kelompok (identitas) seperti negara, agama, jenis kelamin, profesi, keturunan, komunitas, ketertarikan hingga orientasi seksual.

Seperti contoh, Sadiq Khan (walikota Muslim pertama di London) memiliki identitas sebagai seorang Muslim, seorang warga Inggris, seorang Imigran Pakistan, seorang ayah, seorang suami, seorang sarjana Hukum, seorang politikus partai buruh, seorang demokrat sosial yang moderat, seorang spesialis di bidang Hak Asasi Manusia, seorang toleran, seorang walikota, dan seterusnya

Selanjutnya, dari ragam identitas itu, Sen menegaskan bahwa setiap orang memiliki otonomi dan kebebasan dalam menentukan prioritas relatif identitasnya. Penentuan prioritas identitas itu dilakukan dengan rasional (menurut pikiran dan pertimbangan yang logis). Dengan demikian, identitas seseorang tidak dapat dipandang tunggal dan mutlak pada satu identitas saja (misal agama). Satu identitas saja juga tidak semata-mata menentukan segala pilihan seseorang, tetapi pilihan itu juga dipengaruhi banyak identitas lain yang melekat pada orang itu.

Lalu apa hubungannya dengan kasus yang menimpa seorang ibu pemilik warung nasi? Sang ibu pemilik warung nasi juga harus dipandang seperti Sadiq Khan karena identitasnya yang beragam. Dalam hal ini, ibu pemilik warung nasi tidak hanya dipandang sebagai seorang Muslim yang kebetulan tinggal di daerah yang aturan puasanya ketat.

Secara sederhana sang ibu juga harus dipandang dalam identitasnya sebagai pemilik warung - pedagang. Sebagai pedagang tentu, sang ibu sedang bergelut dengan soal ekonomi yang intinya bertahan hidup, memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk makan, rumah, dan keluarga. Untuk bertahan hidup, sang ibu memerlukan penghasilan. Penghasilan itu juga tidak mungkin jatuh dari langit maka ia harus bekerja. Dalam hal ini ia pun bekerja sebagai pedagang makanan.

Agar lebih jelas lagi, meskipun situasi mengharuskan sebagian besar orang untuk berpuasa, sang ibu tetap harus bertahan hidup di hari dan bulan yang kebetulan sedang waktunya puasa. Karena berjualan makanan adalah satu-satunya sumber penghasilan yang dimiliki saat itu, maka tidak mungkin ia tidak berjualan. Sebab, tindakan tidak berjualan mendatangkan akibat ia tidak dapat mencukupi kebutuhannya.

Berkaitan dengan hal itu, sang ibu pemilik warung nasi berhak menentukan prioritas relatif identitasnya sebagai pedagang makanan. Pilihannya untuk berdagang pada bulan Puasa juga tidak dapat dianggap sedang menentang ajaran Islam ataupun berniat mengganggu jalannya ibadah orang yang puasa. Sebab pilihannya semata-mata jatuh secara rasional atas situasi riil yang mengharuskannya bertahan hidup.  Oleh karena itu, ia pun harus tetap menjual makanan meski di bulan Puasa.

Namun, secara kebetulan juga, mereka yang hanya dapat membeli makanan saat itu adalah mereka yang tidak berpuasa dan beridentitas non-Muslim. Disamping itu, keputusan untuk tetap berjualan di bulan Puasa juga tidak membatalkan identitasnya sebagai seorang Muslim. Sang ibu masih tetap menjalankan ibadah dan kesehariannya sebagai seorang Muslim.

Permasalahan menjadi serius ketika aturan razia dan penyitaan dagangan justru diterbitkan oleh pemerintah kota. Karena diterbitkan oleh pemerintah kota, aturan yang bernada agama itu memperoleh legitimasinya untuk dipaksakan kepada masyarakat melalui penegak hukum. Dalam hal ini, melibatkan Satpol PP dalam realisasi aturan itu.

Akan tetapi, kehadiran aturan itu secara tidak langsung, telah mengintervensi kebebasan sang ibu pemilik warung nasi untuk menentukan prioritas identitasnya. Sang ibu pun seolah-olah terpaksa untuk mengutamakan identitas diri dan orang lain yang juga sebagai seorang Muslim dan tengah berpuasa. Namun, hal itu akan berakibat pada terabaikannya prioritas identitas sang ibu sebagai pedagang. Selanjutnya, dampak itu akan berpengaruh pada hilangnya penghasilan dan prioritasnya untuk menghidupi keluarga dan dirinya sendiri juga ikut terabaikan.

Selain itu, dalam penentuan kebijakannya, pemerintah kota Serang jelas telah mengabaikan aspek identitas para pemilik warung sebagai pedagang makanan. Sederhananya, kepentingan ekonomi untuk mempertahankan kelangsungan hidup pribadi dan keluarga para pedagang, diabaikan begitu saja. Tentu bagi profesi selain pedagang makanan, aturan itu tidak terlalu berdampak signifikan. Namun, dari sisi para pedagang makanan, aturan itu jelas membahayakan warga kotanya sendiri karena mereka menjadi tidak berpenghasilan untuk waktu tertentu.

Dengan demikian, jika bertolak dari penjelasan di atas, apa yang dilakukan sang ibu pemilik warung adalah sah-sah saja. Persoalan penutupan warung nasi itu juga tidak lagi dipandang sebagai konflik horizontal antar mereka yang berpuasa dan tidak atau Muslim dan non-Muslim. Arah persoalan sesungguhnya segera terarah pada kebijakan pemerintah kota Serang yang keliru memahami keberagaman identitas yang dimiliki tiap individu. Termasuk prioritasnya yang mendasar seperti prioritas untuk bertahan hidup dengan bekerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun