Kemerdekaan tentu selalu menjadi dambaan setiap orang. Tidak terkecuali semua orang ingin menentukan nasibnya sendiri tanpa paksaan dan ancaman dari pihak manapun. Hal yang sama juga dialami oleh sejumlah mahasiswa asal Papua yang turut menyeruakan hal sama.
Tepatnya, pada Selasa 1 Desember 2015, sejumlah mahasiswa asal Papua menggelar aksi di bundaran Hotel Indonesia. Awalnya, sekitar 150 mahasiswa berkumpul di dua titik bundaran Hotel Indonesia (HI) yang dianggap menghambat lalu lintas. Dari titik perkumpulan itu, mereka berencana melakukan long march ke istana negara.
Para mahasiswa pun dihadang 300 personel dari Polda Metro Jaya dan Polsek Menteng yang berusaha mengamankan massa. Polisi datang dan meminta mahasiswa memindahkan aksinya ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Gelora Bung Karno. Namun, mereka menolak hingga akhirnya mereka dipaksa menyingkir ke pinggir jalan.
Akibat penolakan itu, terjadi bentrok antara polisi dan mahasiswa. Sejumlah sumber berita pun menyebutkan terdapat batu “bertebangan” disambut tembakan gas air mata. Bentrokan pun berujung pada penangkapan sekitar 300 mahasiswa Papua oleh pihak kepolisian. Tidak hanya itu dua jurnalis asing (Al Jazeera dan ABC Australia) juga turut disasar kepolisian. Pihak kepolisian pun berdalih bahwa long march tidak diizinkan karena mengganggu lalu lintas. Tidak hanya itu, aksi mahasiswa Papua juga dianggap ilegal karena tidak ada izin.
Ironisnya, dengan ratusan mahasiswa Papua yang ditahan pada Senin lalu, pertanyaan menggelitik pun segera muncul. Apa salah mereka meminta kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri? Padahal aksi pada 1 Desember itu jelas ditujukan untuk menyeruakan pemenuhan hak masyarakat Papua. Di sini kita jelas mengalami kebingungan tentang apa arti merdeka itu sendiri.
Dalam UUD 1945 alinea 1 berbunyi, ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Jika kita mengacu pada kalimat tersebut, tentu baik orang-orang di Pulau Jawa maupun Papua berhak merasakan kemerdekaan yang sama. Tidak kurang dan tidak lebih bahkan ditegaskan juga bahwa itu adalah hak segala bangsa (termasuk Papua).
Akan tetapi, sangat ironis jika kita mengaitkan pemaknaan dibalik 1 Desember sebagai gerakan separatis. Sebab bagi mereka, 1 Desember sejatinya mengacu pada bebasnya tanah Papua dari penjajah dalam hal ini bangsa Belanda. Kebebasan itu tentu menandai berakhirnya perasaan tertindas dan tidak aman berikut dengan kehadiran militer di tengah-tengah rakyat Papua.
Berkaitan dengan hal itu, justru hal sebaliknya malah terjadi ketika Papua dinyatakan kembali ke pangkuan Indonesia. Permasalahannya, semakin terlihat jelas bahwa Tanah Papua sudah seperti tanah yang terjajah baik oleh kepentingan asing maupun bangsa sendiri. Sebut saja hadirnya eksploitasi melalui operasi pertambangan pihak asing, minimnya pembangunan dan prasarana, mahalnya harga kebutuhan pokok.
Tidak ketinggalan, sudah empat dekade, kehadiran militer sangat awet dan diklaim meresahkan warga hingga berujung pada terror. Misalnya, kasus penyiksaan Puncak Jaya, pembunuhan pendeta Kindermen Gire, penghilangan paksa Aristoteles Masoka, pembunuhan Theys Hiyo Eluay, pembunuhan Opinus Tabuni, dan sebagian yang tidak terdokumentasi.
Berbicara tentang kemerdekaan, tentu kita juga harus terusik. Mengapa kemerdekaan di Pulau Jawa sungguh berbeda dengan kemerdekaan di tanah Papua? Terlepas adanya tuntutan untuk berdiri sendiri, sampai saat ini telah nyata bahwa pemerintah tidak mampu menghadirkan kesejahteraan dan keamanan di tanah Papua. Disamping itu, tentu nasib Papua tidak bisa serta merta ditentukan oleh para eksekutif yang jauh berada di Jakarta. Terlebih ketika mereka tidak pernah membuka mata guna melihat langsung kesengsaraan yang dialami rakyat Papua.
Hal ini menjadi krusial ketika pemerintah tidak juga mengakui ketidakbecusannya membangun Tanah Papua. Ditambah lagi, jika seseorang merasa tertindas, sudah menjadi kodratnya apabila ia mengambil segala upaya untuk merdeka dan bebas dari penderitaan itu. Namun, tragis jika usaha yang sama justru ditepis sebagai gerakan subversif dan separatis. Dengan berdalih pada keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), para pengusaha dibalik pemerintah merasa berhak menentukan nasib Papua.