Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau "Intellectual Property Rights" bisa di definisikan hak yang didapatkan dari hasil olah pikir manusia untuk dapat menghasilkan suatu produk, jasa, atau proses yang berguna untuk masyarakat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil kreasi intelektual. Objek yang dirinci dalam hal kekayaan intelektual adalah karya yang diciptakan oleh kapasitas intelektual manusia, contoh yang paling dikenal adalah hak cipta, paten, merek dagang, dan rahasia dagang.
Banyak sumber menyematkan asal usul Hak Kekayaan Intelektual pada tahun 1421 ketika paten modern pertama di dunia diberikan kepada seorang penemu dari Italia. Namun, menurut Mantan Hakim Banding Robin Jacob, sejarah Kekayaan Intelektual dapat ditelusuri kembali ke awal 600 SM.
Pemberian hak eksklusif adalah budaya yang dilahirkan oleh masyarakat modern kita. Namun, mengetahui bahwa itu telah ada selama ribuan tahun memberi tahu kita tentang penilaian kita terhadap bakat individu. Meskipun orang Yunani kuno masih menganggap penemuan mereka sebagai hadiah dari para dewa, mengakui bagian manusia dari proses inovasi membuktikan bahwa kita sangat mirip dengan nenek moyang kita yang jauh.
Di kutip dari website resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual di Indonesia dimulai pada tahun 1840-an.Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang pertama tentang perlindungan hak kekayaan intelektual pada tahun 1844. Selanjutnya, pemerintah Belanda memberlakukan Undang-Undang Merek (1885). , Undang-Undang Paten (1910) dan Undang-Undang Hak Cipta (1912).
Konvensi Paris untuk Perlindungan Properti Industri lahir pada tahun 1883. Perjanjian internasional ini adalah langkah besar pertama yang diambil untuk membantu pembuat konten memastikan bahwa karya intelektual mereka dilindungi di negara lain. Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda telah menjadi pihak dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888.
Beberapa konvensi lain di adakan setelah itu seperti Berne Convention (1886), Madrid Agreement (1891), dan the United International Bureaux for the Protection of Intellectual Property atau Terkenal dengan akronim Perancis, BIRPI (1893). Konvensi tersebut merupakan cikal bakal pembentukan World Intellectual Property Organization (WIPO) pada tahun 1970 dan BIRPI dengan demikian berubah menjadi WIPO. WIPO yang baru didirikan adalah organisasi antar pemerintah yang dipimpin negara anggota, dengan kantor pusatnya di Jenewa, Swiss.
Di kutip dari website resmi WIPO, WIPO adalah forum global untuk kekayaan intelektual, kebijakan, informasi dan layanan kerjasama. Kami adalah badan PBB yang didanai sendiri, dengan 193 negara anggota. Misi WIPO adalah untuk memimpin pengembangan sistem kekayaan intelektual internasional yang seimbang dan efektif yang memungkinkan inovasi dan kreativitas untuk kepentingan semua.
Regulasi tentang Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia diatur melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM, yang didalamnya terdapat juga Komisi Banding Paten, Komisi Banding Merk dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. Khusus untuk Perlindungan Varietas Tanaman, diatur oleh Kementerian Pertanian melalui Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian.
Secara umum kepemilikan HKI dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: hak kekayaan intelektual individual/perseorangan dan hak kekayaan intelektual kolektif/kelompok. Hak atas kekayaan intelektual individu adalah hak yang sepenuhnya dimiliki oleh individu atau kelompok individu dengan atau tanpa mengajukan permohonan kepada Negara untuk mendapatkan hak monopoli atas keuntungan di Bidang ekonomi, sedangkan Hak Intelektual Komunal adalah hak yang dimiliki sepenuhnya oleh suatu kelompok masyarakat yang hidup disuatu tempat secara tetap.
Inovasi di definisikan sebagai penemuan baru yang berbeda dengan penemuan yang sudah ada dan yang sudah dikenal. Menggambarkan suatu konsep inovasi dapat berupa karya baru, baik berupa ide, metode, maupun alat (KBBI). Tentu saja dalam berinovasi di perlukannya suatu bentuk perlindungan terhadap ide-ide baru yang di miliki oleh individu/kelompok, tak hanya itu Hak Kekayaan Intelektual juga berguna untuk memberi inspirasi serta sumber data untuk individu, para peneliti/penemu/pencipta/pendesain, dan perusahaan.
Para pemegang Hak Kekayaan Intelektual akan memiliki HAKI atau hak eksklusif yang di berikan pemerintahan atas hasil karya cipta dan karsa yang di hasilkannya. Hak eksklusif adalah hak monopoli untuk memperbanyak karya cipta dalam jangka waktu tertentu, baik dilaksanakan sendiri atau dilisensikan.
Secara historis, budaya inovasi masih belum terlalu mengakar di Indonesia. Data WIPO menunjukkan, pada 2018 permohonan paten dalam negeri Indonesia 1.000 kali lebih kecil dibandingkan dengan China dan 200 kali lebih kecil dari Amerika Serikat. Singapura, yang luasnya jauh lebih kecil dari Indonesia, justru menerima lebih banyak permohonan paten dari penduduknya dibanding Indonesia.
Rendahnya inovasi ini sebagian besar disebabkan oleh anggaran penelitian dan pengembangan yang sangat sedikit di Indonesia, yaitu kira-kira 0,2% dari PDB. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan anggaran serupa yang berjumlah di atas 2% yang dilakukan China, Amerika Serikat dan Singapura. Hebatnya, anggaran penelitian dan pengembangan Singapura 125% dari Indonesia
Beberapa masalah terhadap literasi HKI seperti minimnya jumlah pengajuan paten domestik di Indonesia, merupakan collective responsibility masyarakat, khususnya masyarakat intellectual. Pada umumnya peneliti dan perekayasa hanya mengenal “copyright” (hak cipta) berupa penelitian mereka, tetapi tidak mengenal paten, padahal paten merupakan salah satu ciri utama negara industri.
Persepsi Masyarakat
Paten itu
• Masalah Hukum saja
• Hightech saja
• Proses Rumit
• Waktu Lama
• Jarak Jauh
• Biaya Mahal
Seperti yang di kutip dari jurnal yang di terbitkan oleh Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah Departemen Perindustrian (Jakarta, 2007)
Tidak hanya itu, inovasi baru dapat ditemukan dengan berinvestasi pada penelitian dan pengembangan yang perlu didukung oleh pemerintah, terkadang pelaku pasar menghadapi kesulitan karena regulasi dan kelembagaan yang ada, regulasi pemerintah, perizinan yang sulit dan mahal, serta adanya regulasi pemerintahan daerah yang berbeda dengan pemerintah pusat.
Maraknya pemalsuan merek dan tingginya tingkat pembelian barang palsu di karenakan kurangnya Literasi HKI di Indonesia dan itu menunjukkan bagaimana tingkat literasi HKI dan inovasi di Indonesia tergolong rendah. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap masalah seperti ini membuat perusahaan dari luar negeri menahan diri untuk melakukan ekspansi atau investasi di Indonesia.
Dengan adanya pandemi yang melanda seluruh dunia, Indonesia terpaksa melakukan pengembangan dan inovasi sistem IPTEK tanpa adanya persiapan sebelumnya. Indonesia harus melewati masa yang sangat sulit pada awal pandemi, banyaknya pelaku pasar yang tidak bisa berinovasi dan beradaptasi membuat mereka harus "gulung tikar" atau mengalami kebangkrutan.
Melihat kurangnya inovasi dan literasi serta perlindungan HKI, Pemerintah Indonesia membuat regulasi baru, membuat program-program insentif Litbang dalam meningkatkan mutu inovasi, meningkatkan anggaran Litbang untuk mengembangkan IPTEK di Indonesia, peningkatan sosialisasi mengenai akan kesadaran HKI, dan meningkatkan pengadaan kompetisi, lokakarya , serta seminar dalam penelitian&pengembangan produk untuk kalangan mahasiswa dan umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H