Â
Konsepsi Hindu mengenai alam yang diciptakan oleh Tuhan, dan Tuhanlah yang menjadi penguasa atas segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, agaknya bisa menjadi sebuah konsep yang harus diadopsi oleh semua manusia dalam memandang alam sebagai ciptaan-Nya yang agung. Bumi adalah ibu, dan Tuhan menyatu dengan segala yang berada dalam setiap ciptaan-Nya. Dalam pandangan Hindu, hubungan manusia dengan Tuhan, sesama dan dengan makhluk lain, dipandang sebagai hubungan beraspek teologis yang memiliki makna lebih dari sekedar penghormatan, melainkan sebagai bentuk pemujaan kepada Tuhan.
Hubungan manusia dengan alam semesta layaknya sepasang sahabat. Manusia melangkah dan menggandeng alam semesta sehingga tercipta sebuah hubungan harmonis dan saling memberikan feedback yang baik. Tetapi realitanya, manusia memegang prinsip bahwa alam diciptakan lebih tinggi dari manusia, dan harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan mereka. Konsep mengenai alam adalah milik Tuhan pun tersingkirkan. Hal ini diartikulasikan dalam tindakan manusia yang semena-mena terhadap alam. Demi urusan menyambung hidup dan suksesnya perputaran roda ekonomi, manusia memanfaatkan alam sebagai sumber profit yang diberikan Tuhan secara cuma-cuma.
Kerusakan alam yang terjadi di dunia bukan hanya sebatas angin lalu. Nyatanya di Indonesia sendiri, WALHI atau Wahana Lingkungan Hidup Indonesia pada tahun 2015 mencatat bahwa bencana ekologis, baik banjir maupun longsor yang terjadi pada tahun 2014, menurun di tahun 2015. Pada tahun 2014 terjadi 817 kali banjir dan longsor, yang melanda 5023 desa/ kelurahan dan merenggut korban jiwa sebanyak 524 orang. Di tahun 2015, terjadi penurunan angka kejadian bencana maupun jumlah korban jiwa. Bencana terjadi 580 kali dan secara kumulatif melanda 2.463 desa/ kelurahan, dengan korban jiwa sebanyak 266 orang.
Selain itu, kasus kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 yang menyebabkan 38 orang meninggal dunia akibat terpapar asap, merupakan rentetan panjang dari perluasan lahan hutan untuk kepentingan industri. WALHI mengungkapkan pada tahun 2013 masih terdapat hutan dan lahan dalam status kritis seluas 20,9 juta hektar are, masih diberlakukannya izin pemanfatan hasil kayu hutan alam seluas 14,019 juta hektar are, dan pelepasan kawasan hutan seluas 6 juta hektar are untuk perkebunan dan transmigrasi (Walhi.or.id, 2016). Data yang dihimpun oleh WALHI selaku organisasi non-profit yang fokus terhadap masalah lingkungan hidup di Indonesia, menunjukkan bahwa bencana dan kebakaran hutan tersebut terjadi karena ulah manusia yang tak henti membabat hutan untuk memperluas kawasan industrinya.Â
Ekofeminisme: Gerakan untuk Hidup yang Lebih Baik
Data WALHI memang menunjukkan adanya penurunan grafik bencana alam di Indonesia. Hal ini dapat menjadi pertanda bahwa kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga lingkungan hidup pada dekade ini, meningkat secara perlahan. Dalam rangka membenahi kondisi alam, gerakan-gerakan hijau mulai dimunculkan. Salah satu gerakan yang sedang gencar dilakukan adalah gerakan ekofeminisme. Ekofeminisme secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sebuah gerakan yang berusaha menciptakan dan menjaga kelestarian alam dan lingkungan berbasis perempuan. Ekofeminisme percaya bahwa ada hubungan konseptual, simbolik, dan linguistik antara feminis dan isu ekologi (Tong, 2008). Alam membutuhkan sentuhan yang tidak terlepas dari nilai-nilai feminin seperti cinta, belas kasih dan gotong royong.
Tuntutan terhadap nilai-nilai feminin ini tidak hanya dipegang oleh perempuan, namun juga laki-laki karena pada dasarnya setiap manusia memiliki sisi feminin dan maskulin yang seharusnya berperan seimbang. Ekofeminisme menjadi payung dari berbagai pandangan yang berfokus terhadap bagaimana dominasi atas perempuan sejalan dengan dominasi terhadap lingkungan (Warren, 1994 dalam Buhr & Reiter, 2006). Persoalan mengenai dominasi yang merendahkan nilai perempuan serta alam, lebih spesifik lagi diarahkan pada androsentrisme atau konsepsi mengenai kelelakian, dan bukan melulu soal keterpusatan pada manusia atau antroposentrisme (Buhr & Reiter, 2006). Secara lebih jelas lagi, kacamata ekofeminisme memandang bahwa pola pikir patriarki ikut andil dalam krisis ekologi, karena alam dianalogikan sebagai perempuan yang mengalami penindasan dari laki-laki. Alam diperkosa, dikuasai, ditaklukan dan dieksploitasi habis-habisan.
Banyak pandangan mengatakan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi adalah akibat dari maskulinitas berlebihan, yang mengabaikan sisi feminin dengan ciri khas sifatnya yang selalu mengutamakan belas kasih. Maka dari itu, salah satu cara untuk berdamai dengan alam adalah menggalakkan kembali feminitas. Ekofeminisme menjadi filosofi yang melandasi sebuah gerakan berkelanjutan untuk bumi, yang tidak hanya berlaku bagi perempuan, namun bagi setiap insan.
Perempuan, Industri dan Lingkungan
Berbicara tentang ekofeminisme, tanpa disadari gerakan tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya industri. Industri yang sangat melekat dalam kehidupan perempuan adalah industri kecantikan. Perempuan dan industri kecantikan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Seiring dengan perkembangan industri teknologi dan perkembangan sosial, kebutuhan manusia akan kecantikan juga ikut berkembang. Di era milenium ini, kecantikan telah menjadi sebuah komoditas bisnis yang sangat menjanjikan, mulai dari usaha penjualan produk kecantikan, produk riasan wajah dan perawatan tubuh dari ujung kaki hingga ujung rambut.