Mohon tunggu...
Vincensia Prima P.
Vincensia Prima P. Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis adalah media katarsis terbaik

Seorang manusia yang terlahir dari rahim ibu yang mulia.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Enrich Not Exploit (It’s in our hand): Strategi Baru The Body Shop dalam Mengampanyekan Lingkungan

20 April 2016   10:02 Diperbarui: 20 April 2016   10:32 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="thebodyshop.com"][/caption]

 

“Isavasyam idam sarvam yat kinca jagatyam jagat,
tena tyaktena bhunjitha ma grdhah kasya svid dhanam” 

 

Artinya:

 

“Tuhan Yang Maha Esa memiliki dan mengendalikan segala sesuatu yang ada di alam semesta, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Karena itu, hen­daknya seseorang hanya menerima benda-benda yang dibutuhkan untuk dirinya dan telah disediakan sebagai jatahnya, dan sebaiknya jangan menerima benda-benda yang lain, dengan benar-benar mengetahui siapa yang memiliki benda-benda itu.”

­

 

– Isopanisad, Mantra 1

 

 

Konsepsi Hindu mengenai alam yang diciptakan oleh Tuhan, dan Tuhanlah yang menjadi penguasa atas segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, agaknya bisa menjadi sebuah konsep yang harus diadopsi oleh semua manusia dalam memandang alam sebagai ciptaan-Nya yang agung. Bumi adalah ibu, dan Tuhan menyatu dengan segala yang berada dalam setiap ciptaan-Nya. Dalam pandangan Hindu, hubungan manusia dengan Tuhan, sesama dan dengan makhluk lain, dipandang sebagai hubungan beraspek teologis yang memiliki makna lebih dari sekedar penghormatan, melainkan sebagai bentuk pemujaan kepada Tuhan.

Hubungan manusia dengan alam semesta layaknya sepasang sahabat. Manusia melangkah dan menggandeng alam semesta sehingga tercipta sebuah hubungan harmonis dan saling memberikan feedback yang baik. Tetapi realitanya, manusia memegang prinsip bahwa alam diciptakan lebih tinggi dari manusia, dan harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan mereka. Konsep mengenai alam adalah milik Tuhan pun tersingkirkan. Hal ini diartikulasikan dalam tindakan manusia yang semena-mena terhadap alam. Demi urusan menyambung hidup dan suksesnya perputaran roda ekonomi, manusia memanfaatkan alam sebagai sumber profit yang diberikan Tuhan secara cuma-cuma.

Kerusakan alam yang terjadi di dunia bukan hanya sebatas angin lalu. Nyatanya di Indonesia sendiri, WALHI atau Wahana Lingkungan Hidup Indonesia pada tahun 2015 mencatat bahwa bencana ekologis, baik banjir maupun longsor yang terjadi pada tahun 2014, menurun di tahun 2015. Pada tahun 2014 terjadi 817 kali banjir dan longsor, yang melanda 5023 desa/ kelurahan dan merenggut korban jiwa sebanyak 524 orang. Di tahun 2015, terjadi penurunan angka kejadian bencana maupun jumlah korban jiwa. Bencana terjadi 580 kali dan secara kumulatif melanda 2.463 desa/ kelurahan, dengan korban jiwa sebanyak 266 orang.

Selain itu, kasus kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 yang menyebabkan 38 orang meninggal dunia akibat terpapar asap, merupakan rentetan panjang dari perluasan lahan hutan untuk kepentingan industri. WALHI mengungkapkan pada tahun 2013 masih terdapat hutan dan lahan dalam status kritis seluas 20,9 juta hektar are, masih diberlakukannya izin pemanfatan hasil kayu hutan alam seluas 14,019 juta hektar are, dan pelepasan kawasan hutan seluas 6 juta hektar are untuk perkebunan dan transmigrasi (Walhi.or.id, 2016). Data yang dihimpun oleh WALHI selaku organisasi non-profit yang fokus terhadap masalah lingkungan hidup di Indonesia, menunjukkan bahwa bencana dan kebakaran hutan tersebut terjadi karena ulah manusia yang tak henti membabat hutan untuk memperluas kawasan industrinya. 

Ekofeminisme: Gerakan untuk Hidup yang Lebih Baik

Data WALHI memang menunjukkan adanya penurunan grafik bencana alam di Indonesia. Hal ini dapat menjadi pertanda bahwa kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga lingkungan hidup pada dekade ini, meningkat secara perlahan. Dalam rangka membenahi kondisi alam, gerakan-gerakan hijau mulai dimunculkan. Salah satu gerakan yang sedang gencar dilakukan adalah gerakan ekofeminisme. Ekofeminisme secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sebuah gerakan yang berusaha menciptakan dan menjaga kelestarian alam dan lingkungan berbasis perempuan. Ekofeminisme percaya bahwa ada hubungan konseptual, simbolik, dan linguistik antara feminis dan isu ekologi (Tong, 2008). Alam membutuhkan sentuhan yang tidak terlepas dari nilai-nilai feminin seperti cinta, belas kasih dan gotong royong.

Tuntutan terhadap nilai-nilai feminin ini tidak hanya dipegang oleh perempuan, namun juga laki-laki karena pada dasarnya setiap manusia memiliki sisi feminin dan maskulin yang seharusnya berperan seimbang. Ekofeminisme menjadi payung dari berbagai pandangan yang berfokus terhadap bagaimana dominasi atas perempuan sejalan dengan dominasi terhadap lingkungan (Warren, 1994 dalam Buhr & Reiter, 2006). Persoalan mengenai dominasi yang merendahkan nilai perempuan serta alam, lebih spesifik lagi diarahkan pada androsentrisme atau konsepsi mengenai kelelakian, dan bukan melulu soal keterpusatan pada manusia atau antroposentrisme (Buhr & Reiter, 2006). Secara lebih jelas lagi, kacamata ekofeminisme memandang bahwa pola pikir patriarki ikut andil dalam krisis ekologi, karena alam dianalogikan sebagai perempuan yang mengalami penindasan dari laki-laki. Alam diperkosa, dikuasai, ditaklukan dan dieksploitasi habis-habisan.

Banyak pandangan mengatakan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi adalah akibat dari maskulinitas berlebihan, yang mengabaikan sisi feminin dengan ciri khas sifatnya yang selalu mengutamakan belas kasih. Maka dari itu, salah satu cara untuk berdamai dengan alam adalah menggalakkan kembali feminitas. Ekofeminisme menjadi filosofi yang melandasi sebuah gerakan berkelanjutan untuk bumi, yang tidak hanya berlaku bagi perempuan, namun bagi setiap insan.

Perempuan, Industri dan Lingkungan

Berbicara tentang ekofeminisme, tanpa disadari gerakan tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya industri. Industri yang sangat melekat dalam kehidupan perempuan adalah industri kecantikan. Perempuan dan industri kecantikan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Seiring dengan perkembangan industri teknologi dan perkembangan sosial, kebutuhan manusia akan kecantikan juga ikut berkembang. Di era milenium ini, kecantikan telah menjadi sebuah komoditas bisnis yang sangat menjanjikan, mulai dari usaha penjualan produk kecantikan, produk riasan wajah dan perawatan tubuh dari ujung kaki hingga ujung rambut.

Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, banyak dibidik oleh pelaku industri kosmetik sebagai lahan dalam mengumpulkan pundi-pundi keuntungan. Kementrian Perindustrian Indonesia mengambil riset Indonesia Finance Today (2012) mencatat terjadi peningkatan penjualan kosmetik sebesar 14%, dari Rp 8,5 triliun menjadi Rp 9,76 triliun pada tahun 2012. Peningkatan ini didukung oleh banyaknya tingkat permintaan kosmetik, khususnya dari konsumen kelas menengah. Selain itu, kosmetik yang sebelumnya diperuntukkan hanya untuk perempuan, kini menjadi trend di kalangan laki-laki. Data terbaru di tahun 2015 dalam industri kosmetik yang berhasil dihimpun oleh Kementrian Perindustrian Indonesia, menampilkan bahwa terdapat beberapa komoditi yang terus-menerus diimpor ke Indonesia. Komoditi tersebut berupa parfum, kosmetik, produk-produk perawatan kecantikan, krim perontok bulu, kuas kosmetik, spons bedak dan segala macam produk kecantikan lainnya (Kemenperin.go.id, 2015).

Persaingan ketat di sektor industri kosmetik dunia, khususnya di Indonesia menuntut setiap perusahaan yang berkecimpung dalam dunia ini melakukan inovasi untuk memasarkan produknya. Salah satu cara yang dilakukan beberapa perusahaan kosmetik adalah dengan memunculkan gerakan hijau. Gerakan hijau ditempuh sebagai cara perusahaan merangkul konsumen untuk bersama-sama mewujudkan kesadaran terhadap isu lingkungan yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kehidupan manusia, dan bersama-sama membentuk dunia yang lebih baik lagi. Perusahaan dapat menempatkan isu-isu lingkungan sebagai salah satu strategi pemasaran atau yang biasa disebut green marketing.

Enrich Not Exploit: Implementasi Green Marketing dalam Industri Kosmetik

Salah satu brand kosmetik yang gencar mengampanyekan isu sosial dan lingkungan adalah The Body Shop. Dikutip dari thebodyshop.com (2015), perusahaan kosmetik berskala internasional ini didirikan oleh Dame Anita Lucia Roddick pada tahun 1976. Wanita yang lahir di Littlehampton, Inggris pada tahun 1942, pertama kali membuka toko Body Shop di halaman belakang rumahnya, di Brighton. Toko pertamanya sangatlah sederhana, kental dengan nuansa alam yang ditunjukkan dari penempatan tanaman hijau di setiap sudut toko. Untuk mengemas seluruh produk kosmetiknya, dari awal berdiri Body Shop hingga saat ini, Anita menerapkan penggunaan wadah daur ulang dengan tujuan mengurangi limbah sampah pada produk-produknya. Tidak butuh waktu yang lama bagi Anita untuk mengembangkan toko waralabanya. Dua tahun kemudian, dibuka gerai The Body Shop pertama, yang berada di Brussels, Belgia. Sejak saat itu, perusahaan Anita tersebar ke berbagai daerah di 65 negara dengan total toko pada tahun 2015 sebanyak 3.102 toko (Loreal-finance.com, 2015).

Setelah sukses menjalankan bisnisnya, Anita yang sejak kecil didik dengan jiwa sosial tinggi, menjalankan bisnisnya dengan tidak terlepas dari isu-isu kemanusiaan, sosial dan lingkungan. Hal inilah yang kemudian menjadi slogan The Body Shop, “We believe business can be both profitable and responsible”. Selama perjalanan karier bisnisnya, Anita telah melakukan berbagai macam kampanye, mulai dari kampanye “Save The Whale” pada tahun 1986 yang bekerjasama dengan Greenpeace. Setahun kemudian, The Body Shop mulai menjalankan program Community Trade dengan membeli hasil karya masyarakat India Selatan dan membayarnya sesuai upah yang adil baik bagi produsen maupun konsumen. Masih di tahun 1986, Community Trade pertama The Body Shop adalah produk relaksasi kaki yang diproduksi oleh Teddy Exports di India. Sejak saat itu, The Body Shop berkomitmen untuk terus memasok bahan-bahan industri kosmetiknya dari produsen-produsen kecil, pekerja perempuan dan kaum difabel di berbagai negara, dengan menerapkan sistem fair payments dan fair price.

Memasuki usianya yang ke-40 di tahun 2016 ini, The Body Shop mengubah nilai-nilai lamanya, yakni Against Animal Testing, Activate Self Esteem, Defend Human Rights, Protect Our Planet dan Support Community Trade menjadi sebuah komitmen global yang lebih kuat lagi, yaitu Enrich Not Exploit (It’s in our hand). Komitmen global yang diusung The Body Shop pada 2016 ini diartikulasikan ke dalam 14 program yang akan dijalankan. 14 program ini merupakan bagian dari 3 pilar komitmen Enrich Not Exploit (It’s in our hand), yakni:

1.      Enrich Our People

The Body Shop berkomitmen untuk menyingkirkan stereotip dalam dunia kecantikan, merayakan keberagaman manusia dan membayar harga yang adil untuk rekan komunitas pemasoknya danberusaha semaksimal mungkin untuk selalu mendukung pekerja The Body Shop tumbuh selayaknya seorang manusia.

2.      Enrich Our Products

The Body Shop berkomitmen untuk selalu memberikan manfaat di dalam produk-produknya, memperkaya dan menutrisi tanpa memberikan janji yang menyesatkan. Produk The Body Shop terinspirasi dari keanekaragaman hayati dan kebudayaan masyarakat di seluruh dunia.

3.      Enrich Our Planet

The Body Shop berkomitmen secara aktif membantu meningkatkan kekayaan hayati tempat bahan dasar alaminya berasal, dengan cara melakukan berbagai macam aksi dan kampanye untuk melestarikan kekayaan alam (The Body Shop, 2016).

[caption caption="thebodyshop.co.uk"]

[/caption]Green Marketing atau pemasaran hijau yang dilakukan oleh The Body Shop melalui kampanye-kampanyenya, tentu tidak hanya bertujuan menjaring konsumen lebih banyak lagi, namun juga dapat meningkatkan kesadaran nilai produk demi keselamatan lingkungan. Selain itu, green marketing atau pemasaran ramah lingkungan yang dilakukan The Body Shop juga untuk mengembangkan produk yang lebih aman bagi lingkungan, menekan limbah bahan baku dan energi, mengurangi kewajiban akan masalah lingkungan hidup dan meningkatkan efektifitas biaya dengan memenuhi peraturan lingkungan hidup untuk memiliki citra perusahaan yang baik (Heizer dan Render, 2006).

Uniknya, The Body Shop menciptakan citra perusahaan tanpa menggunakan iklan konvensional, maka jangan heran jika iklan produk The Body Shop jarang atau bahkan tidak pernah muncul di televisi. The Body Shop mengandalkan label mereka yang kuat tentang sikap peduli lingkungan. Sikap-sikap ini ini terwujud melalui citra merek ramah lingkungan langsung pada produknya yang tidak diujicobakan pada hewan, pada kemasan yang dapat diisi dan didaur ulang. Staff yang antusias dan beberapa program kampanye yang menggandeng konsumen berpartisipasi dalam kepedulian terhadap lingkungan hidup (Keller, 2003 dalam Kahle dan Kim, 2006).

Penutup

The Body Shop merupakan salah satu perusahaan yang dianggap sukses dalam mengampanyekan kepeduliannya terhadap lingkungan. Tidak hanya sebagai strategi marketing untuk menarik minat konsumen, namun juga hal ini merupakan salah satu wujud tanggungjawab perusahaan kepada masyarakat dan alam. Perusahaan industri yang sering jadi kambing hitam dalam berbagai masalah lingkungan, harus ikut berperan serta dalam membangun kesadaran setiap insan, dan bergerak bersama untuk membawa alam pada kondisi yang lebih baik.

Strategi green marketing yang diterapkan oleh The Body Shop sebagai salah satu perusahaan yang berkecimpung di industri kosmetik setidaknya dapat menjadi sebuah bukti nyata bahwa ternyata ada perusahaan global yang masih membuka matanya terhadap isu-isu lingkungan dan sosial. Melalui green marketing pula, persuasi kepada masyarakat untuk menyadari bahwa alam ada bukan sebagai objek yang dieksploitasi, melainkan untuk dicintai demi mencapai keseimbangan hidup. Selain itu, produk-produk kosmetik The Body Shop menjadi implementasi nyata dari praktek ekofeminisme dan jalur bagi perempuan untuk ikut serta dalam perbaikan alam. Anita Roddick sebagai sosok perempuan hebat di balik The Body Shop menjadi bukti nyata tentang lunturnya konsep patriarki dan dominasi terhadap perempuan serta alam.

Kesadaran terhadap pentingnya menjaga alam memang patut menjadi kesadaran yang permanen, mengingat kondisi alam sudah tidak seperti dulu lagi. Bukan tentang bagaimana dia merusak, tetapi tentang bagaimana kita menjaga. Karena alam bukan hanya milik segelintir orang, tetapi milik kita bersama.

 

 

 

 

*) Disusun untuk memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester

Mata Kuliah Komunikasi Lingkungan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun