Mohon tunggu...
Vina Alvianty
Vina Alvianty Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hubungan Internasional FISIP Universitas Tanjungpura

Bagian dari Mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjungpura. Sangat tertarik dengan kondisi dunia internasional, baik kondisi politik, ekonomi, militer, dan lainnya. Baru saja terjun dalam dunia menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Opini: Belt and Road Initiative (BRI) RRT-Indonesia: Akankah Indonesia Terjebak "Debt Trap"?

26 Mei 2024   18:27 Diperbarui: 26 Mei 2024   18:27 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Website INDONESIA.GO.ID

Dalam pelaksanaan hubungan lintas batas, Indonesia berpedoman pada prinsip Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif. Prinsip bebas dan aktif telah Indonesia anut sejak tahun 1945 atau setelah kemerdekaan Indonesia dan prinsip tersebut tercantum di dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 yang berbunyi “Politik Luar Negeri menganut prinsip bebas aktif yang diabadikan untuk kepentingan nasional”. Dalam konteks di atas, bebas berarti Indonesia mempunyai hak untuk memutuskan tindakan serta kebijakan terkait isu internasional negara manapun dan aktif berarti berpartisipasi aktif mengatasi persoalan serta mengikuti segala kegiatan pada kancah internasional.

Berlandaskan prinsip tersebut, tentu saja Indonesia telah melakukan diplomasi dengan berbagai negara di dunia, mulai dari negara-negara kecil hingga negara-negara besar bahkan Indonesia bekerja sama dengan Superpower Countries yang salah satunya adalah Negeri Tirai Bambu (Tiongkok). Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok telah bermitra sejak 13 April 1950. 

Namun 17 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 30 Oktober 1967 hubungan keduanya dibekukan oleh Presiden Soeharto karena Tiongkok diduga mendukung Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI) dan setelah cukup lama dibekukan, akhirnya hubungan kedua negara ini dinormalisasikan kembali dengan justifikasi MoU on the Resumption of Diplomatic Relations Republik Indonesia-Republik Rakyat Tiongkok yang mulai berlaku pada 8 Agustus 1990 di Jakarta. 

Inilah awal mula hubungan Indonesia dan Tiongkok mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Keduanya bekerja sama dalam berbagai bidang, seperti manufaktur, infrastruktur, serta pariwisata

Termasuk salah satunya adalah kerjasama Belt and Road Initiative (BRI) yang telah disepakati oleh Indonesia juga Tiongkok sejak tahun 2016. Program tersebut merupakan kelanjutan dari kebijakan New Silk Road dan One Belt One Road (OBOR) pada tahun 2013. Sebagai bentuk imbauan kepada mitra-mitranya bahwa OBOR tidak menggunakan One China Policy, maka dilakukanlah pergantian nama menjadi BRI. 

Kerjasama BRI sendiri berkaitan dengan investasi yang dilakukan Tiongkok untuk mewujudkan pemerataan infrastruktur dengan mendirikan jalan raya, pelabuhan, kereta api, bandara, pembangkit listrik, dan jaringan telekomunikasi sebagai upaya mengasosiasikan Asia, Afrika, serta Eropa melalui darat ataupun maritim sehingga terjadi peningkatan integrasi regional, perdagangan, juga pertumbuhan ekonomi global. Tiongkok mengalokasikan dana dan menyalurkan tenaga kerja asal Tiongkok ke negara-negara tujuan (Indonesia) dalam rangka mendirikan infrastruktur. Terdapat beberapa proyek yang telah direncanakan oleh Indonesia dan Tiongkok, diantaranya:

  • Pembangunan infrastruktur di kawasan Toba (Sumatera Utara).
  • Mendirikan Bandara Sam Ratulangi (Sulawesi Utara).
  • Membangun Kawasan industri terpadu Sei Mangkel (Sumatera Utara).
  • Pendirian PLTA 9.000 MW di Sungai Kayan (Kalimantan Utara).
  • Pembangunan jalan tol dan kereta menuju Tiongkok, dsb.

Tetapi hingga saat ini hanya terdapat beberapa mega proyek yang terealisasikan, salah satunya ialah terciptanya Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang meraup dana senilai $7,3 miliar. Proyek KCJB telah dirancang sejak tahun 2016, kemudian pengerjaan proyek dilakukan pada tahun 2018 dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung dinyatakan dapat mulai beroperasi pada September tahun lalu (2023). Kereta Cepat tersebut diberi nama WHOOSH atau yang dimaksud dengan Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat. KCJB sendiri dijustifikasi oleh PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) dari Indonesia dengan High Speed Railway Construction Consortium (HSRCC) dari Tiongkok.

Selanjutnya, hubungan antara Tiongkok dan Indonesia selalu menuai pro dan kontra serta memunculkan berbagai macam spekulasi publik, termasuk dengan dilaksanakannya Kerjasama Belt and Road Initiative (BRI). BRI mendapat banyak respon positif dari Masyarakat Indonesia, masyarakat pro BRI menerangkan bahwa hadirnya investasi dari Tiongkok akan sangat berguna bagi Indonesia utamanya dalam mempercepat Pembangunan infrastruktur serta menumbuhkan perekonomian nasional.

Namun terdapat pula respon negatif dari Masyarakat Indonesia, Masyarakat kontra berpendapat jika Tiongkok melakukan skema debt trap diplomacy, dimana Tiongkok dengan sengaja memilih negara-negara yang berkemampuan rendah untuk mengembalikan dana investasi sehingga negara peminjam (borrower) tidak dapat melunasi utang dan kemudian hal ini membuat Tiongkok sebagai pemberi utang mempunyai kuasa penuh dalam memutuskan kebijakan yang mengatur negara peminjam utang.

Salah satu negara terdampak debt trap (jebakan hutang) adalah Sri Lanka, tahun 2018 terjadi pelepasan manajemen Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka kepada China Merchant Port Holdings Limited (CM Port) untuk 99 tahun ke depan, hal tersebut akibat dari ketidakmampuan Sri Lanka membayar utang kepada Tiongkok. Karena alasan inilah timbul banyak sekali kontra sebab muncul kekhawatiran dari masyarakat jika Indonesia akan terjebak debt trap mengingat Indonesia yang semakin lama terlihat semakin “ketergantungan” kepada Tiongkok dan ditambah utang luar negeri (ULN) Indonesia terhadap Tiongkok pada Februari 2024 ini mencapai US$21,3 miliar atau jika dirupiahkan dalam kurs hari ini jumlahnya sekitar Rp341,8 Triliun.

Bahkan Richard Moore seorang Kepala Badan Intelijen Inggris (MI6), melalui wawancaranya dalam BBC Radio 4 pada September 2021 lalu, mengimbau terkait jebakan utang serta jebakan data yang dilakukan oleh Tiongkok. Moore menerangkan bahwa Tiongkok mengancam kedaulatan negaranya sehingga perlu dilakukan aksi defensif. Sekelas negara besar seperti Inggris saja sangat mewaspadai Tiongkok, lantas bagaimana dengan Indonesia?

Dalam artikel opini ini, penulis mencoba untuk menanggapi berbagai kekhawatiran masyarakat sekaligus menjawab pertanyaan di atas. Dikutip dalam website resmi Kemenko Marves tahun 2019, Luhut Binsar Pandjaitan yang merupakan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi menuturkan bahwa Indonesia dapat terhindar dari debt trap sebab Indonesia menggunakan penjanjian B to B atau perjanjian antar badan usaha sehingga mengurangi resiko terjebak debt trap. 

Selanjutnya, seorang Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) bernama Mohammad Faisal pun menjelaskan jika setiap negara termasuk Indonesia pasti beresiko terkena debt trap, apalagi setelah proyek KCJB. Namun ia menambahkan, hingga saat ini kekhawatiran tersebut “belum” berlangsung, oleh karena itu Indonesia pasti akan melakukan proyeksi dengan mematangkan berbagai perencanaan terhadap proyek yang akan datang.

Dari seluruh penjelasan yang telah penulis jabarkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Belt and Road Initiative (BRI) merupakan sebuah proyek besar Tiongkok yang tentunya memberikan dampak positif terhadap negara-negara penerima investasi, seperti membantu suatu negara dalam mengembangkan infrastruktur serta meningkatkan ekonomi nasionalnya. Di Indonesia sendiri, BRI menyumbangkan begitu banyak dampak positif utamanya dalam infrastruktur negara. Meskipun demikian, negara-negara yang meratifikasi BRI harus tetap mempertimbangkan dampak negatifnya, seperti resiko terkena debt trap, ketergantungan kepada Tiongkok, dsb. Sehingga perlu dilakukan tindakan antisipasi terkait dampak negatif dari BRI.

Terakhir, untuk mengantisipasi Indonesia terjebak seperti Sri Lanka, maka penulis berharap Pemerintah Indonesia dapat melakukan pencegahan dan meredam kekhawatiran masyarakat dengan selektif dalam menentukan perusahaan yang mengikuti BRI dengan memastikan perusahaan tersebut mempunyai track record yang apik serta melakukan aksi preventif akan tindakan korupsi yang kemungkinan besar terjadi dalam kerjasama BRI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun