Setiap orang pasti memiliki pengalaman dan perasaan yang berbeda saat saling memfollow akun di media sosial dengan keluarga. Dalam relasi apapun , seperti saling follow antara anak dan orang tua, menantu dengan mertua, kakak ipar dan adik ipar, saudara seperpupuan hingga tante denga ponakan pasti mengalami pengalaman masing-masing. Ada pihak yang merasa nyaman saat saling memfollow, ada yang merasa risih dan cenderung tertekan, ada juga yang bahkan membatasi pertemanan dengan keluarga di media sosial.
Saya yakin semua orang memiliki pertimbangan dan alasan masing-masing dan keputusan apapun yang dilakukan oleh masing-masing pengguna adalah hak asasi masing-masing. Bagi pihak yang merasa senang saat bisa saling follow akun keluarganya mungkin karena beberapa alasan. Seperti pengalaman saya pribadi misalnya, saling follow akun dengan keluarga di media sosial membuat saya bahagia. Karena, saya yang berada di perantauan bisa mengetahui kabar terbaru dari saudara-daudara saya di kampung halaman.
Dalam perkembangan digital ini, membagikan kabar terbaru mengenai kehidupan pribadi masing-masing nampaknya sudah menjadi tren yang dianggap lumrah. Membagikan momen pernikahan, kehamilan, kelahiran, kelulusan anak hingga momen duka cita sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan saat ini. Oleh karenanya, kegiatan saling follow dengan keluarga di media sosial itu bisa sekaligus mengobati kerinduan saya untuk pulang ke kampung halaman.
Berbeda dengan saya, sebagian pengguna mungkin memiliki pandangan lain. Ibunda dari teman anak saya pernah membagikancerita bereda. Sebut saja namanya Marni, menurut dia, kegiatan saling follow dengan keluarga di media sosial membuatnya tidak bebas berekspresi.Â
Marni menilai dirinya sebagai orang yang sering meluapkan kekesalan di media sosial baik itu Facebook maupun Instagram. Apabila dia menerima permintaan pertemanan keluarganya, Ia khawatir ekspresi yang disampaikannya itu akan memicu konflik. Padahal, ia menganggap cara ini sebagai salah satu metode anger released yang sehat sekaligus cara untuk mendapatkan dukungan.
Fenomena Marni yang merasa lebih lega setelah melampiaskan kekesalannya di media sosial nampaknya dialami oleh banyak orang juga. Mengapa hal ini dilakukan, karena media sosial juga menjadi salah satu cara untuk menggalang dukungan. Terutama bagi pengguna yang mengalami kejadian serupa dengan pengguna lainnnya.
Membagikan kekesalan saat dicopet misalnya, pengguna yang memberikan reaksi berupa komen dan like mungkin adalah pengguna yang juga pernah merasakan bagaimana dicopet. Sisanya adalah mereka yang merasa simpati atas kecopetan yang dialami.
Oleh karena itu, nyaman atau tidaknya saling follow dengan keluarga di platform media sosial dikembalikan lagi kepada kenyamanan individu masing-masing. Untuk tujuan tertentu, kitab oleh kok membatasi pertemanan dengan siapapun di media sosial. Yang penting untuk diperhatikan adalah bagaimana agar konten yang kita buat tidak merugikan diri kita sendiri maupun pengguna lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H