Di tengah gempuran yang dilakukan Israel di Kamp Pengungsian Rafah, memboykot produk Israel setidaknya dianggap sebagai salah satu solusi cepat untuk menekan Israel baik dari aspek politik maupun ekonomi.
Jika boykot dilakukan secara konsisten dan terus meluas gerakannya hingga ke berbagai negara lain, diharapkan perekonomian Israel akan hancur, lalu mereka menghentikan serangan karena sudah kehabisan amunisi. Namun, Â setelah gerakan itu dilakukan dalam beberapa bulan ke belakang, sudahkah harapan itu terwujud, atau malah dampak negatifnya berbalik kepada negara-negara yang melakukan boykot.
Sebagaimana diketahui, ada beragam upaya negara-negara di dunia dalam menjatuhkan sangsi dan tekanan kepada Israel. Ada yang menjatuhkan sangsi langsung seperti melarang pemegang paspor Israel untuk berkunjung ke negaranya, ada yang mengakui kedaulatan Palestina seperti Spanyol, Irlandia dan Norwegia, ada yang menghentikan hubungan diplomatik dengan Israel seperti Kolombia dan ada yang melakukan boykot.
Negara-negara yang membuat kebijakan larangan paspor Israel antara lain Aljazair, Bangladesh, Bunai Darussalam, Iran, Pakistan, Syria, Maladewa, Iraq, Kuwait, Libanon, Libya, Arab Saudi dan Yaman.
Negara-negara di atas secara terbuka melarang pemegang paspor Israel untuk masuk ke negaranya. Pihak berwenang di Israel pun menganjurkan mereka para pemegang paspor Israel yang sudah terlanjur berada di negara-negara di atas, agar segera keluar dari negaranya.
Di antara negara-negara di atas, ada negara yang menggantungkan perekonomiannya dari sektor pariwisata seperti Maladewa. Sebesar 28% PDB Maladewa berasal dari sektor pariwisata. Saat Maladewa memutuskan kebijakan tersebut, artinya ada potensi pemasukan yang akan hilang. Andai kunjungan pemegang paspor Israel mendominasi kunjungan wisatawan di Maladewa, sektor ekonomi disanapun konsekuensinya akan ikut terpengaruh oleh kebijakan tersebut.
Sama seperti kebijakan Maladewa melarang kunjungan warga Israel, Gerakan boykot pun sedikit banyak akan berpengaruh terhadap sektor ekonomi di negara yang melakukan boykot. Apalagi, jika negara tersebut memiliki ketergantungan yang besar terhadap produk-produk yang dibuat oleh Israel dan afiliatornya. Masalahnya, apakah kita mengetahui perusahaan-perusahaan mana yang berafiliasi dengan Israel dan turut serta mendanai mereka. Disinilah masalahnya.
Menentukan produk mana yang akan di boykot cukup rumit. Karena, menyimpulkan bahwa perusahaan yang berasal dari Amerika Serikat dan Israel saja yang harus diboykot tidaklah sepenuhnya tepat. Karena, bisa saja, perusahaan waralaba yang berlokasi di negara tertentu, memiliki independensi dalam pengelolaan dan keputusan meskipun terhubung secara global dalam merk dagang.
Contohnya perusahaan waralaba ayam goreng terkenal di Indonesia. Pernah membuat statement terbuka bahwa mereka memiliki manajemen dan keputusan sendiri, sehingga mereka menjamin tidak terlibat dalam pendanaan perang dan genosida.
Di sisi lain, sulit juga untuk menelusuri pihak atau perusahaan mana saja yang terafiliasi dengan Israel dan mendanai kejahatan perang. Karena, afiliasi ini bersifat tersembunyi dan sulit diungkap. Bisa saja ada perusahaan Indonesia atau perusahaan dari negara lain selain Amerika Serikat yang juga turut serta membantu pendanaan Israel, Jika sudah begitu, alih-alih merusak ekonomi Israel, Gerakan ini justru dihawatirkan malah berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Terlebih jika perusahaan tersebut mempekerjakan puluhan ribu tenaga kerja dari Indonesia.