Mohon tunggu...
Vina Fitrotun Nisa
Vina Fitrotun Nisa Mohon Tunggu... Penulis - partime journalist

Senang bercerita

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengungkap Perbedaan Data Kemiskinan dan Implikasinya

13 Februari 2024   11:06 Diperbarui: 13 Februari 2024   11:14 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dan Sumber Gambar: AI Fotor Generator

Sebelum pelaksanaan pemilihan umum pada 14 Februari 2024 mendatang, mungkin masih ada yang bingung menentukan siapa kandidat yang akan dipilih di bilik suara. Sepengetahuan saya, biasanya orang-orang memiliki kriteria tertentu sebelum ahirnya mantap memilih pasangan nomor 01 atau 02 atau 03.

Kriteria yang dipertimbangkan biasanya beragam. Ada yang mempertimbangkan berdasarkan kesamaan suku, agama dan latar belakang identitas lainnya. Ada juga yang mempertimbangkan dari track record kepemimpinan sebelumnya hingga program. Misalnya bagaimana program yang ditawarkan kandidat tertentu dalam mengentaskan kemiskinan, pengangguran dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Keputusan apapun yang menjadi pertimbangan, menurut saya adalah hal yang sangat wajar. Selama kita tetap mengacu pada prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Berkaitan dengan pergantian kekuasaan ini, saya ingin sedikit menyoroti tentang salah satu isu krusial yang dihadapi oleh Indonesia yakni kemiskinan.

Fase transisi kekuasaan ini sebenarnya merupakan momentum yang pas untuk memperbaharui dan menata berbagai kebijakan publik. Misalnya, dalam beberapa tahun ke belakang saya pernah beberapa kali mendapat curhatan dari warga sekampung yang tidak mendapatkan program bantuan sosial, padahal dirinya menganggap layak menjadi menerima bantuan. Sebaliknya, ia bercerita bahwa tetangganya yang dianggap mampu, malah mendapatkan program tersebut.

Saya berpikir bahwa cerita ini bukan hanya dialami oleh satu atau dua orang saja. Bisa jadi di kampung pembaca semuanya, ada banyak orang juga masyarakat miskin yang belum terperhatikan nasibnya.

Cerita di atas sebenarnya ingin saya jadikan sebagai pengantar kepada inti dari tulisan ini bahwa betapa data berperan penting dalam menetukan solusi atau kebijakan yang akan diambil atas sebuah isu/permasalahan. Oleh karenanya, data yang akurat adalah kebutuhan yang sangat mendesak.

Kita mungkin berpikir, mengapa program bantuan sosial ini banyak yang tidak tepat sasaran. Bisa jadi salah satu persoalannya adalah data. Contohnya seperti ini, bagaimana kita menentukan bahwa kemiskinan menjadi sebuah urgensi yang harus diselesaikan ketika kita tidak memiliki data yang benar terkait itu.

Jadi, apabila dikatakan persentase kemiskinan Indonesia berjumlah 9,36% pada tahun 2023 sementara Bank Dunia menyebut persentasinya sebesar 40%, maka persoalannya terletak pada bagaiaman dua lembaga tersebut menghadilkan data, bagaimana pengukurannya dan bagaimana penentuan standarnya.

Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menetapkan standar dalam menentukan penduduk miskin. Standar tersebut yakni apabila seseorang memiliki pengeluaran sebesar Rp 550.458 per bulan atau bahkan kurang, maka orang tersebut dikatakan sebagai masyarakat miskin. Sementara itu, Bank Dunia menetapkan standar yang berbeda. Penduduk yang dikatakan miskin menurut Bank Dunia adalah mereka yang pengeluarannya sebesar US$ 2,15 atau kurang.

Nah, dari contoh sederhana ini dapat terlihat bahwa penentuan standar kemiskinan yang berbeda akan berimplikasi pada persentase kemiskinan yang berbeda pula. Dari perbedaan perhitungan di atas dapat terlihat bahwa standar yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia lebih kecil dibandingkan standar kemiskinan yang ditentukan oleh Bank Dunia. Jika kurs yang digunakan sebesar Rp 15.230, maka pengeluaran harian yang menjadi acuan adalah Rp 32.745. 

Jika dikalikan sebulan, maka menjadi Rp 982.350. Dari gambaran tersebut dapat terlihat bahwa data tentang persentase kemiskinan yang dihasilkan oleh Bank Dunia pasti akan lebih besar dibandingkan dengan data yang dihasilkan Pemerintah Indonesia, disebabkan oleh penentuan standar yang berbeda pula.

Selain berimplikasi pada perbedaan persentase kemiskinan secara umum, persoalan data juga berimplikasi terhadap sasaran penerima bantuan sosial. Sebagaimana kita ketahui bersama, saat ini ada berbagai program bantuan sosial yang ditawarkan pemerintah.

Kita tidak dapat mengawang bahwa 9,36% masyarakat miskin mendapatkan program yang sama. Karena dalam persentase tersebut ada masyarakat miskin yang masuk dalam kategori lanjut usia, ada keluarga miskin yang memiliki banyak anak kecil, disabilitas dan kondisi rentan lainnya.

Dalam konteks ini, persoalan data biasanya terjadi karena belum adanya kesamaan pandangan dalam data yang digunakan. Dalam meningkatkan ketepatsasaranan program, pemerintah desa RT dan RT sebagai pihak yang langsung mengetahui kondisi masyarakatnya memegang peranan penting dalam kesadaran data. Bagaimana ia responsif dalam pencatatan warga miskin yang meninggal, perpindahan penduduk dan kondisi lainnya.

Oleh karenanya, peningkatan kapasitas dan pemahaman data oleh apparatus desa, RT dan RT menjadi hal yang sangat penting untuk terus disuarakan dan didorong. Karena, jika data di tingkatan bawah sudah benar, maka akan terwujud data nasional yang akurat. Data ini tentunya akan membuat program-program pemerintah menjadi tepat sasaran kepada para penerima yang berhak mendapatkannya.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun