Saya adalah satu dari jutaan orangtua di Indonesia yang merasakan kebijakan PPDB sistem zonasi. Tanpa ingin menghakimi orangtua lainnya, saya yakin pasti setiap orangtua memiliki visi dan cita-cita yang sama-sama harus dihormati.
Setiap orang tua memiliki cerita berbeda, begitupula saya. 2 tahun lalu, saya yang ber KTP Depok, rasanya ingin sekali menyekolahkan anak ke SDN yang ada di Jakarta. Alasannya 2, pertama karena jarak sekolah tidak terlalu jauh dari rumah. Kedua, karena sekolah-sekolah di Jakarta sudah memiliki standar yang tinggi dibanding sekolah di provinsi lain.
Contohnya bagaimana? Sekolah di Jakarta rata-rata memiliki ruangan kelas yang nyaman, bersih, terawat dan dilengkapi dengan AC. Apalagi sekolah SD yang dulu saya sasar berada di atas bukit, sehingga lingkungannya masih asri dan hijau walaupun berada di pinggiran Kota Jakarta.
Meskipun tergiur untuk melakukan kecurangan, namun niat itu saya urungkan. Mengingat sistem zonasi merupakan aturan yang ditetapkan kepada semua orang, saya sebagai warga negara harus menghormatinya.
Penerapan sistem zonasi memang ada kelemahannya. Jika dulu orangtua diberi kebebasan untuk memilih sekolah, saat ini hanya diberi pilihan sekolah yang berada dekat dengan tempat tinggalnya. Kadang-kadang, mendaftar ke sekolah yang dekat dengan rumah pun masih dilempar ke sekolah lainnya.
Kini,orangtua tidak dapat memilih akan mendaftar ke sekolah yang dianggap berprestasi, terkenal memiliki fasilitas belajar yang bagus, atau tersohor karena prestasi murid dan alumninya. Namun sistem zonasi ditempuh atas dasar peniadaan kasta di dunia pendidikan.
Memilih sekolah yang bagus untuk anak memang tidak salah, yang salah adalah melakukan perbuatan yang melawan hukum. Mungkin, salah satu alasan lain dibalik 4.791 orangtua yang melakukan kecurangan di Jawa Barat saat PPDB adalah adanya anggapan bahwa sekolah tersebut lebih baik dari sekolah negeri lainnya.
Jika ada asumsi demikian, maka masyarakat berfikir bahwa kualitas sekolah di Indonesia itu belum sama. Masih ada sejumlah sekolah yang memiliki kualitas bagus dan masih ada sekolah lain yang berkualitas kurang bagus, ada provinsi yang seluruh sekolahnya sudah terstandar dan ada provinsi lainnya yang sekolahnya belum terstandar.
Sekolah belum seluruhnya terstandar sementara proses penerimaannya disamaratakan. Disinilah letak masalahnya. Saya bahkan menduga, jumlah 4.791 orang itu adalah kasus yang tampak di permukaan dalam 1 provinsi. Bagaimana dengan 37 provinsi lainnya. Apakah ada pihak lainnya juga yang ingin mengungkapkan ke publik.
Terlepas dari kekurangan yang dirasakan dari sistim zonasi, sistim ini nampaknya merupakan jawaban atas kelemahan dari sistim sebelumnya, dimana terdapat kesenjangan antara satu sekolah dengan sekolah lain. Sistim zonasi ingin membangun pandangan bahwa sekolah di Indonesia memiliki standar yang sama, meskipun kenyataannya belum tercapai. Namun, upaya dalam menyamaratakan standar tersebut sudah ditempuh oleh pemerintah.