Berbicara tentang kekayaan Indonesia rasanya tak akan ada habisnya. Alamnya yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke, melahirkan konsekuensi logis dengan keragaman suku dan budaya yang dimiliki.
Bayangkan saja, menurut sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara, luas wilayah Indonesia jika dibentangkan di Eropa akan setara dengan luas 6 negara. Kita juga memiliki 3 zona waktu, 1.340 suku, 300 etnis dan 4 ras. Penjelasan itu merupakan salah satu bukti dari kekayaan sekaligus kekuatan kita.
Seiring bertambahnya usia, biasanya remaja yang lahir di kota-kota kecil akan pindah ke kota yang lebih besar untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi dan mencari pekerjaan. Nah, dalam proses inilah biasanya orang dengan latar belakang yang berbeda-beda ini akan saling mengenal dan sebagiannya menikah.
Dalam pernikahan ini, biasanya akan terjadi hal-hal umum yang dirasakan keluarga dengan latar belakang yang berbeda suku atau etnis, baik dalam proses menjelang pernikahan, maupun setelah pernikahan itu sendiri.
Dalam pra pernikahan misalnya. Umumnya pasangan yang akan menikah akan menentukan adat apa yang akan diusung dalam prosesi pernikahannya. Nah, jika tidak dikomunikasikan dengan baik, tak jarang dalam proses pra pernikahan ini banyak calon yang berselisih bahkan gagal menikah gara-gara gagal mencapai kesepakatan sebelum menikah.
Hal lain yang cukup sering dirasakan dalam keluarga dengan budaya berbeda adalah dalam tradisi mudik. Berdasarkan pengalaman saya, karena kami tidak tinggal di kota asal saya maupun kota asal suami, setiap lebaran kami akan berdiskusi akan pergi mudik kemana, apakah akan mudik ke kampung halaman saya, ataukah mudik ke kampung halaman suami.
Sebenarnya kalau dinikmati proses ini seru loh, menikah dengan orang yang berlainan suku dengan kita akan membuat cakrawala kita terbuka tentang dunia, kita akan mendapatkan banyak keluarga, pengalaman berkunjung ke tempat baru dan mengenal lebih dalam budaya Indonesia.
Dalam pernikahan multiculture pula, kita juga akan dihadapkan dengan perspektif budaya dalam mengasuh anak. Contohnya dalam kebiasaan anak memanggil sanak saudaranya. Apakah anak akan di ajarkan memanggil sanak saudaranya dengan pendekatan budaya Ibu atau budaya ayah.
Dalam suku sunda misalnya, anak-anak biasanya akan memanggil kakek dengan sebutan aki, dan nenek dengan sebutan nini. Sementara suku Minangkabau biasanya memanggil kakeknya dengan sebutan antan atau atuk, dan nenek dengan sebutan uci. Lain halnya dengan Suku Jawa, biasanya mereka memanggil kakeknya dengan sebutan eyang kakung dan menyebut nenek dengan eyang putri.
Disamping dalam penyebutan, dalam pengasuhan keluarga multiculture, hal positifnya seorang anak biasanya akan mengerti lebih dari satu Bahasa. Dia mungkin akan mengerti Bahasa daerah ibu dan akan mengerti juga Bahasa daerah ayah.
Hal terakhir yang umumnya dirasakan keluarga multiculture adalah makanan. Setiap suku di Indonesia biasanya memiliki preferensi rasa masing-masing. Ada yang suka masakan pedas, asin, manis, berkuah, bersantan, dll. Disamping itu, ada kecenderungan makanan yang mereka olah.
Misalnya, biasanya masyarakat pesisir lebih gemar mengolah ikan dalam hidangannya. Sementara masyarakat yang tinggal di gunung biasanya mengolah sayuran dan daging-dagingan dalam hidangannya.
Nah itulah sekelumit kisah dari keluarga multiculture berdasarkan pengalaman empiris saya. Bagaimana dengan pengalaman teman-teman? Apakah ada kesamaan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H