Sebagai warga negara, Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) rasanya dapat dijadikan momentum tahunan untuk melakukan refleksi, memberikan sumbangsih pemikiran bagaimana cara memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.
Sebelum KPK didirikan, tindak pidana korupsi di tubuh pemerintahan sebenarnya sudah berjalan sistematis. Oleh karena itu, hadirnya lembaga khusus yang ditunjuk untuk memberantas korupsi harusnya dinilai sebagai kemajuan dan optimisme.
Memberantas korupsi nyatanya tak bisa disepelekan begitu saja. Korupsi adalah kejahatan kompleks yang penyebabnya tidak bisa diklaim hanya dari satu faktor.
Salah satu faktor yang dapat menciptakan korupsi adalah adanya kekuasaan. Lord Acton, seorang ilmuwan asal Inggris pernah menyebutkan "power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely". Â Sudah lama, sederet kasus korupsi yang ditunjukkan ke permukaan memang berasal dari penguasa. Kekuasaan dan korupsi ibarat dua sisi yang sulit dipisahkan.
Indonesia saat ini memiliki 514 kabupaten dan kota. Untuk membayangkan kompleksitas pemberantasan korupsi, kita dapat menghitung berapa jumlah OPD yang ada di masing-masing daerah, hal yang sama berlaku untuk pemerintah pusat. Â
Jika diperhatikan, pendekatan pemberantasan korupsi sendiri saat ini terlihat lebih dominan dari sisi yuridis saja. Asumsi ini dapat diperkuat dengan banyaknya masukan dan wacana yang menitikberatkan pada aspek penanganan saja tanpa diimbangi dengan aspek pencegahan.
Hal ini sebenarnya tidak salah juga, menimbang banyak negara yang memberlakukan hukuman berat dalam menindak koruptor di negaranya. Cina misalnya, menerapkan hukuman mati bagi narapidana korupsi. Meskipun cara ini bisa saja di adopsi di Indonesia, namun efektivitas vonis hukuman mati masih banyak diperdebatkan.
Saat memberikan sambutan dalam Hari Anti Korupsi Sedunia, Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan bahwa jumlah kasus korupsi yang sudah ditangani sejak KPK berdiri adalah sebanyak 1.921 kasus, 22 merupakan Gubernur, 133 kasus Bupati dan Walikota, dan 281 merupakan anggota legislatif. Â Penulis menilai kasus korupsi yang ada bisa saja lebih banyak, hanya saja yang lainnya belum di ungkap ke permukaan karena masih diselidiki.
Melihat mudahnya praktik korupsi dilakukan para pejabat publik rasanya menyurutkan harapan terhadap pemekaran daerah-daerah baru yang oleh pemerintah diklaim sebagai menjadi motor pengembangan wilayah. Alih-alih memberikan kesejahteraan dan pemerataan, kehadiran kabupaten atau kota baru justru  membuka peluang baru untuk melakukan korupsi.
Di sisi lain, dari aspek sistem keuangan yang berlaku di Indonesia juga nampaknya masih memudahkan seseorang melakukan korupsi. Disaat bersamaan parlemen sebagai simbol representasi rakyat, kurang atau bahkan tidak menjalankan fungsinya dalam mengawasi kinerja pemerintahan.
Dalam beberapa kasus misalnya terdapat beberapa pemerintah daerah yang bekerja sama dengan oknum anggota DPRD melakukan tindak pidana korupsi. Contohnya pada kasus yang menimpa Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur M Basuki pada tahun 2017.
Berbicara pemberantasan korupsi, sudah seharusnya kita mulai memikirkan langkah-langkah pencegahan, supaya upaya pemberantasan korupsi berjalan secara sistematis dari hulu hingga hilir. Pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan menutup semua celah dan potensi korupsi yang ada. Celah ini harus di analisis ada dimana saja, dalam aspek apa saja.
Dalam pemekaran wilayah misalnya, masyarakat harus terlibat aktif mempertanyakan urgensi dimekarkannya sebuah kota atau kabupaten. Apakah pemekaran merupakan satu-satunya solusi untuk mensejahterakan masyarakat, atau hanya melahirkan celah baru untuk korupsi.
Sementara itu, berbicara pencegahan korupsi dari sisi pengelolaan keuangan negara, masyarakat sebetulnya dapat mendesak transparansi dan akuntabilitas kepada pemerintah. Seperti yang terjadi Di Denmark misalnya, anggota parlemen disana wajib mengumumkan pengeluaran bulanannya kepada masyarakat.
Jika masyarakat Indonesia mau, hal tersebut sebenarnya sangat mungkin di adopsi. Masyarakat di setiap daerah dapat bersama-sama mengawasi pendapatan dan pengeluaran pejabatnya melalui media tertentu. Terlebih saat ini masyarakat sudah saling terkoneksi satu sama lainnya.
Dari aspek pendidikan, pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan memberikan edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat harus mengetahui peran dan fungsi pemerintahan, siapa melakukan apa.
Dalam jenjang pendidikan formal misalnya, pengetahuan mengenai tindak pidana korupsi harusnya mulai digencarkan untuk diberikan kepada siswa sejak dini. Adapun pengetahuan mengenai korupsi sebenarnya dapat diberikan seorang guru pelajaran apapun. Muatan pendidikan korupsi dapat diselipkan dalam pelajaran PPKN misalnya, ketika menjelaskan tentang hak dan kewajiban warga negara.
Komunikasi persuasive juga penting dalam pencegahan korupsi. Dalam hal ini, influencer juga perlu dilibatkan. Ia dapat mendukung mempengaruhi masyarakat di media sosial dengan memproduksi dan memviralkan konten-konten yang berisikan nilai-nilai kejujuran. Seperti konten viral tentang keteladanan Halimah (Cleaning Service) bandara yang menemukan cek senilai Rp 35,9 miliar rupiah.
Masyarakat cenderung akan melakukan apa yang mereka lihat, ketika ruang di sosial media dipenuhi dengan konten-konten positif, edukatif dan inspiratif, masyarakat pasti akan terdorong untuk terlibat dalam pencegahan korupsi.
Korupsi adalah kejahatan luar bisa yang bisa menghambat seluruh target pembangunan. Korupsi akan menghambat pencapaian SDM, menghambat kesejahteraan dan memperbanyak pengangguran.
Mengentaskan korupsi memang tidak mudah, namun kita tetap harus memiliki optimisme dan komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa ini bersama-sama. Kolaborasi semua pihak adalah kunci pemberantasan korupsi. Semua elemen harus bahu membahu saling memperhatikan, mencegah, mengawasi dan melaporkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H