Tak heran rasanya jika saat ini banyak perempuan yang ingin berpolitik. Dukungan sistem dan aturan telah membuat keuntuntungan tersendiri bagi mereka.Â
Sayangnya meskipun terdapat aturan kuota 30% di parlemen, terdapat berbagai hambatan yang dialami oleh politisi perempuan dimulai dari proses pra pemilihan, masa kampanye hingga pasca pemilihan.Â
Alasan-alasan kultural kerapkali dijadikan alat untuk menyerang kaum perempuan. Selain itu terdapat pula alasan internal seperti penguatan kapasitas manajemen kepemimpinan dan organisasi yang masih kurang dikuasai. Hambatan-hambatan tersebut ahirnya seringkali menyurutkan hasrat perempuan untuk berpolitik berpolitik.
Pemilihan legislatif memang baru dilaksanakan pada tahun 2019, namun harus diingat melenggang ke parlemen diperlukan waktu yang tidak singkat.Â
Untuk meminimalisir dana yang dikeluarkan dan pemetaan strategi diperlukan persiapan yang matang. Pemilihan legistalif merupakan kontestasi yang sengit. Sehingga para caleg harus mengidentifikasi berbagai hambatan yang berpotensi akan terjadi.
Inilah 5 hambatan yang harus dikenali caleg perempuan sebelum bertarung:
Hambatan Finansial
Sudah menjadi rahasia  umum bahwa menjadi calon anggota legislatif membutuhkan modal yang sangat besar. semakin tinggi tingkatan pemilihan caleg, maka semakin mahal biaya yang harus di keluarkan.Â
Dilansir dari salah satu media online, kabarnya untuk menjadi anggota DPR RI misalnya membutuhkan biaya antara 1-2 milyar dan untuk menjadi anggota legislatif di tingkat kota/kabupaten, membutuhkan dana di kisaran ratusan juta. ada hal penting yang mendasari tingginya budget demokrasi ini.Â
Jika dirasionalisasikan, biaya tersebut sebenarnya bukanlah untuk membayar pemilih, namun biaya yang meliputi alat peraga kampanye seperti biaya percetakan, baliho, sticker, kaos dan souvenir selama masa kampanye.
Sehingga untuk seorang perempuan hambatan finansial cukup menciutkan mental menjadi caleg apalagi jika terpikir untuk membayar konsultan dan biaya promosi di Koran serta iklan di TV biaya yang dikeluarkan akan lebih besar lagi.
Hambatan Pribadi
Selain faktor eksternal, hambatan yang seringkali terjadi adalah rendahnya kemampuan organisasi. Hal ini berimplikasi pada skill kepemimpinan yang dia miliki.Â
Untuk menjadi seorang pemimpin diperlukan beberapa keahlian, salah satunya adalah kepiawaian berkomunikasi di depan publik. Skill ini selain dapat membantu menyalurkan aspirasi masyarakat nanti didalam persidangan, juga menjadi daya tarik tersendiri bagi konstituen. Karena semakin ia piawai dalam meyakinkan konstituennya, maka semakin tinggi harapan keterpilihannya nanti.Â
Namun sayangnya. Skill tersebut masih menjadi hambatan, karena kurangnya kemampuan perempuan berorganisasi dan berjejaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan rendahnya presentasi perempuan dalam kepengurusan partai di Indonesia
Hambatan Internal
Kontestasi caleg adalah kompetisi yang sengit sehingga kekompakan menjadi kunci utama. faktor selanjutnya yang menjadi potensi hambatan perempuan pada saat nyaleg dan sebelum nyaleg adalah adanya masalah internal baik tim sukses maupun partai.Â
Salah satu contohnya ialah konflik yang terjadi antar caleg yang berkompetisi di daerah pemilihan yang sama. Atau masalah internal lainnya adalah ketidakmampuan caleg untuk mengantisipasi masalah tim sukses yang tidak solid.
Karena, untuk menjangkau wilayah pemilihan yang luas diperlukan kekompakan dan koordinasi antar relawan. sehingga jika caleg gagal membina tim sukses kemungkinan kinerja untuk meyakinkan konstituen akan disalip tim sukses lain
Hambatan Sosial Budaya
Budaya politik Indonesia yang masih beriklim patriarki membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi keterpilihan perempuan.
Perempuan kerap kali dipandang sebelah mata, disepelekan bahkan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari masyarakat dibanding kandidat laki-laki.Â
Berdasarkan pengalaman salah satu caleg dari Partai Solidaritas Indonesia yang bernama Dara Nasution (23) yang berasal dari dapil III Sumatera Utara pada pemilu tahun 2019 mengungkapkan, hambatannya pada saat pemilihan adalah dirinya kerapkali merasa disepelekan sebagai politisi perempuan, sehingga ia harus bekerja lebih keras untuk meyakinkan pemilih.
Selain faktor tersebut, secara umum politisi masih dianggap sebagai pekerjaan yang kurang baik, hal ini terjadi lantaran banyaknya narasi negatif yang diberitakan kepada DPR akibat banyaknya kasus korupsi yang menjerat politisi. Sehingga, hal tersebut, kerapkali membuat citra para politisi cenderung buruk di masyarakat.
Survei dari LSI mengungkapkan bahwa kepercayaan publik terhadap DPR turun dari 65% menjadi 63,5% pada tahun 2019Â
Hambatan Pemilih
Pemilih merupakan kunci utama memenangkan kursi. Tak dipungkiri semua kandidat berusaha dengan berbagai cara untuk memenangkan suara konstituen dengan jumlah yang banyak.Â
Namun masalahnya bagaimana meyakinkan pemilih supaya pada saat pemilihan ia tidak hanya mendukung namun mencoblos kandidat di bilik suara.
Karena seringkali terjadi ada kelompok datau institusi yang menyatakan dukungannya secara terang-terangan namun ternyata tidak mencoblos namanya ketika hari pemilihan tiba disebabkan oleh adanya kandidat lain yang menawarkan sejumlah materi dan janji politik yang lebih besar.
Oleh karena itu politisi peremuan harus jeli mengidentifikasi mana pemilih potensial dan mana yang tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H