Mohon tunggu...
Vina Fitrotun Nisa
Vina Fitrotun Nisa Mohon Tunggu... Penulis - partime journalist

Senang bercerita

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Fenomena Gibran, Politik Dinasti atau Regenerasi?

28 Juli 2020   13:20 Diperbarui: 28 Juli 2020   13:25 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: ndonews.id)

Andaikan profesionalisme pengelolaan negara sama dengan mengelola perusahaan, barangkali negara tidak akan merugi. analogi tersebut memang tak sesederhana yang dibayangkan. 

Tetapi coba kita sedikit berkontemplasi bagaimana etos kerja, transparansi dan managemen di sebuah perusahaan dilaksanakan dengan disiplin.

Semua itu bermula dari proses rekrutmen karyawan. dalam mekanisme tersebut perusahaan berupaya menjaring calon tenaga kerja yang professional dan sesuai dengan bidang yang dibutuhkan. 

Bahkan untuk mengantisipasi kemungkinan nepotisme, sebagian perusahaan menerapkan aturan berupa larangan anggota keluarga untuk mengikuti proses rekrutmen jika didalam perusahaannya terdapat anggota keluarga lainnya.

Hal tersebut dilaksanakan tentu bukan tanpa sebab. Tetapi untuk mencegah terjadinya hal-hal yang mengarah kepada perbuatan kkn di perusahaan. 

Oleh karenanya larangan pasangan suami isteri atau keluarga bekerja dalam suatu perusahaan patut dipertahankan demi menjaga etika, transparansi dan profesionalitas.

Begitupun dengan negara. Jika negara benar-benar memiliki komitmen tiggi dalam memberantas koruspsi, negara harus menghapuskan politik dinasti. 

Sama seperti perusahaan, semuanya harus bermula dari tahapan pra pemilihan. Dalam proses pencalonan, harusnya dibentuk aturan yang melarang anggota keluarga kepala daerah atau presiden mencalonkan diri menjadi kepala daerah

Sebagai warga negara Indonesia, tentunya semua orang memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Selain itu jika dikaitkan dengan kompetensi sebenarnya banyak kerabat dalam fenomena politik dinasti yang memiliki kapasitas memimpin. 

Namun kelemahannya kemudian ada dua. Pertama politik dinasti melemahkan kontrol terhadap pemerintah, kedua hilangnya kesempatan memimpin bagi warga negara lainnya.

Regenerasi tugas partai politik

Partai politik memiliki tugas untuk melakukan regenerasi pemimpin. Menguatnya politik dinasti setiap menjelang kepala daerah seolah menjawab pertanyaan masyarakat mengenai macetnya roda kaderisasi partai politik. 

Idealnya partai politik mencalonkan kader terbaik yang telah memenuhi kualifikasi kandidasi baik di internal maupun eksternai partai, dengan begitu kontestasi pemilihan kepala daerah akan berlangsung dengan kompetitif dan sehat. Sebaliknya partai seringkali malah mencalonkan kerabat, keluarga atau seseorang yang memiliki modal finansial yang tinggi.

Beberapa pengamat politik menyebutkan, untuk menjadi kepala daerah, seseorang harus memiliki modal kurang lebih 30 milyar. Kele,ahan pemilihan langsung memang menimbulkan biaya politik yang tinggi. 

Sehingga sistem ini barangkali menghalangi kandidat yang kompeten untuk maju maju menjadi kepala daerah. Regenerasi partai politik harusnya menjadi jawaban dari sedikitnya pemimpin yang kompeten dan berintegritas.

Kelemahan yang harus disingkirkan untuk mewujudkan demokrasi yang ideal adalah menghapuskan pragmatisme politik, pragmatism ternyata saat ini bukan hanya dianut oleh para elit partai saja, tetapi sampai kepada masyarakat. 

Hal ini ditunjukkan dengan preferensi pilihan masyarakat. Jika ada beberapa kandidat kepala daerah masyarakat tak segan untu menanyakan berapa modal finansial atau kekayaan yang dimiliki kandidat. 

Meskipun kekayaan kandidat kadangkala tak sebanding dengan sikap koruptif dikemudian hari, sikap dan pandangan pragmatis harus dihilangkan

Fenomena pencalonan Gibran di Solo

saat ditanya wartawan mengenai pencalonan anak sulungnya dengan santai presiden menjawab bahwa hal tersebut diserahkan kepada rakyat dalam aarti menag dan kalah rakyatlah yang menentukan. 

Fenomena tersebut cukup mencengangkan bagi semua orang. Pasalnya dalam beberapa kali wawancara Gibran tak pernah menyatakan minatya untuk terjun di dunia politik, namun kenyataannya Gibran dicalonkan menjadi walikota Solo. 

Seperti yang kita ketahui, PDI-P merupakan pemenang pemilihan umum pada tahun 2019. Di Solo partai tersebut memborong 30 kursi legislatif dari total 45 kursi.

Hal ini dapat menjadi kesimpulan masing-masing. Logika sederhananya adalah kandidat manapun yang dicalonkan oleh PDI-P dalam pilwalkot Solo, kemungkinan besar akan dipilih oleh masyarakatnya. 

Karena PDI-P di Solo memiliki basis masa yang solid. hak untuk memilih memang dikembalikan kepada masyarakat, namun jika sudah melihat dan membaca fakta-fakta yang ada rasanya kecil kemungkinan kalah bagi kandidat yang dicalonkan oleh PDI-P

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun