Seperti apa yang saya sampaikan sebelumnya. Memposisikan diri sebagai teman yang awalnya saya anggap paling efektif untuk mengontrol anak justru memiliki kelemahan. Tentu saja, belajar dari pengalaman itu, saya akan berusaha untuk menerapkan posisi manager dalam membersamai murid. Hal ini bertujuan, apa yang dilakukan, apa yang diputuskan, dan apa yang diyakini murid merupakan dorongan dari dirinya sendiri, sehingga ke depan mereka akan menjadi individu yang lebih mandiri dan bertanggung jawab.
Pengalaman dialami terkait penerapan konsep-konsep inti Budaya PositifÂ
Pengalaman penerapan restitusi dalam menangani permasalahan murid merupakan pengalaman yang berharga bagi saya. Saya harus mengendalikan ego saya untuk menyalahkan atau memberi solusi paling tepat atas permasalahan yang dialami murid. Pada kesempatan ini, saya berdialog dengan murid, berusaha menggali informasi, tidak terburu-buru menyalahkan. Terjalin komunikasi yang baik. Ternyata dengan memposisikan diri sebagai manager dapat membuat murid merasa nyaman dalam menceritakan permasalahannya dan mencari solusinya.
Perasaan saya ketika menjalankan praktik restitusi tentunya sangat senang. Murid lebih terbuka, nyaman menyampaikan permasalahannya, dan yang paling penting ketika murid berani mengakui kesalahannya, mencari solusinya. Murid juga berusaha untuk berkomitmen untuk tidak melakukan kesalahan yang sama atas keinginannya sendiri.
Hal baik yang sudah saya terapkan adalah menekan ego untuk menyalahkan murid dan memberi murid solusi yang menurut mereka belum tentu bisa diterima. Hal yang perlu saya perbaiki, kepedulian terhadap permasalahan murid. Sebagai wali kelas, kedepan saya akan lebih aktif untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dialami murid, aktif berkomunikasi dengan orang tua, atau guru maple. Sehingga saya dapat mengetahui kebutuhan dasar yang mereka ingingkan.
Sebelum mempelajari modul budaya positif, saya belum menerapakna tahapan segitiga restitusi secara utuh. Langkah yang sudah pernah saya lakukan yaitu menstabilkan identitas dan validasi tindakan. Yaitu saya meredakan emosi murid ketika melakukan kesalahan, saya juga menyampaikan bahwa manusia melakukan kesalahan merupakan hal yang wajar. Selanjutnya, pembicaraan saya arahkan untuk menggali mengapa ia melakukan tindakan tersebut.
Hal lain yang penting dipelajari dalam menciptakan budaya positif di lingkungan kelas maupun sekolah adalah menciptakan kolaborasi dan kerjasama seluruh ekosistem pendidikan di sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H