Setiap 3 tahun sekali sejak tahun 2000, Indonesia dan berbagai negara-negara lain selalu mengikuti tes bernama Programme for International Student Assessment (PISA). PISA merupakan sistem penilaian yang diinisasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari 78 negara di seluruh dunia.Â
Setiap tiga tahun, siswa berusia 15 tahun dipilih secara acak, untuk mengikuti tes dari tiga kompetensi dasar yaitu membaca, matematika dan sains. Tujuannya adalah untuk menyediakan data pembanding sehingga negara-negara dapat meningkatkan kebijakan dan kualitas pendidikannya.Â
Program penilaian ini mengukur keterampilan kognitif dan pemecahan masalah. PISA mengukur apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat dilakukan siswa dengan pengetahuannya.
Tes PISA terakhir dilaksanakan di tahun 2018. Hasil skor tes PISA negara Indonesia bisa dikatakan relatif rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Ada 3 aspek yang menentukan total skor PISA, yaitu; membaca, matematika, sains.Â
Di ketiga aspek tersebut Indonesia berada diperingkat 70 dari 78 negara, itu artinya ketika skor PISA sebuah negara itu rendah maka bisa dikatakan bahwa lulus dari pendidikan formal tidak membantu kesiapan hidup dengan baik setelah lulus. Kesimpulannya terdapat gap skill yang dibutuhkan dan dipelajari oleh siswa di Indonesia. Ada beberapa aspek yang menyebabkan hasil tes PISA Indonesia rendah, diantaranya adalah:
- Kurikulum Pendidikan
Sejak tahun 2018 Soal Ujian Nasional (UN) Indonesia mulai menggunakan Higher Order Thinking Skills (HOTS), turunan dari metode pembelajaran yang digagas Benjamin Bloom melalui teori "Bloom's Taxonomy". Muhajir Effendi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, khawatir nilai PISA Indonesia akan turun jika tidak beradaptasi.Â
Selama ini tingkat kesukaran soal-soal ujian di Indonesia berada di bawah PISA. Hal ini dikarenakan negara-negara pendiri OECD telah menerapkan sistem taksonomi Bloom ke dalam sistem pendidikan mereka.Â
Di sisi lain, kurikulum Indonesia sama sekali tidak menggunakan sistem ini, kecuali untuk ujian nasional. Selama ini Indonesia sudah berganti kurikulum setidaknya sebanyak 11 kali dan tak satu pun dari sekian banyak metode pembelajaran yang menganut sistem HOTS.Â
Indonesia masih menggunakan metode berpikir menengah ke bawah. Fakta ini membuktikan bahwa sistem pendidikan perlu dibenahi secara menyeluruh. PISA adalah tolak ukur kegagalan pendidikan Indonesia, dan selalu berubah setiap ada perubahan mentri.
- Motede HOTS
Tahun 1956, Benjamin Bloom dan teman-temannya merumuskan kerangka kemampuan berpikir bernama Taksonomi Bloom. Ide ini adalah hasil kegelisahan Bloom terhadap sistem pendidikan saat itu yang masih berbasis hafalan. Padahal menghafal adalah tingkatan terendah dari kemampuan berpikir.Â
Dia lalu membuat hierarki kemampuan berpikir yang disebut Taksonomi Bloom. Tiga struktur Pendidikan terbawah adalah menghafal, memahami, dan mengaplikasikan termasuk dalam kategori Lower-Order Thinking Skills. Berdasar survei PISA, kemampuan siswa di Indonesia masih berada di kategori ini.Â
Tiga level selanjutnya adalah analisis, evaluasi, dan penciptaan. Semakin tinggi strukturnya maka kemampuan siswa ditantang ke level yang lebih sulit. Setiap tahap dirancang Bloom untuk merangsang pola pikir tingkat tinggi. Tujuannya adalah untuk menghasilkan siswa berdaya analisis, kritis, cakap memecahkan masalah, dan melakukan evaluasi.Â
Singapura sebagai negara yang pernah berada di urutan pertama survei PISA sudah mengaplikasikan sistem ini pada pendidikannya. Saat pelajaran berhitung dan sains, kurikulum pendidikan Singapura memberi pemahaman konsep. Anak-anak dibuat memahami hasil perhitungan dan reaksi kejadian dengan contoh kasus, bukan menghafal rumus seperti Indonesia.
Solusi agar hasil tes PISA Indonesia bisa meningkat, diantaranya adalah dengan;
- Evaluasi sistem Pendidikan dari pola konvensional (menekankan pada proses) ke pola dinamis yang menekankan pada output dan outcome.
- Perubahan kurikulum
Regulasi yang menghambat kemerdekaan berinovasi dan berkreasi dalam pengolahan pendidikan harus dipangkas secara proporsional.Strategi pembelajaran dan penilaian harus ditekankan pada pengukuran kemampuan ril anak.Â
Kemampuan riil anak dikembangkan pada aspek literasi memahami bacaan/teks, matematis, dan literasi sains. Hasil belajar harus merujuk pada kemampuan anak yang sifatnya luas (tidak terbatas untuk keperluan akademik). Kemampuan anak mencerminkan apa yang seharusnya diperoleh dalam proses pendidikan, bukan sekadar angka-angka numerik yang tertulis di rapor dan ijazah.
- Perubahan guru serta stakeholders pendidikan lainnya secara bahu membahu menangani masalah kinerja pendidikan kita secara bergotong royong. Siswa sebagai user pendidikan harus dijadikan sebagai subjek dalam proses penyelenggaraan pendidikan.
- Pemenuhan fasilitas pendidikan secara merata tanpa adanya diskriminasi (inklusif).
- Kemampuan anak ditekankan pada output dan outcome pendidikan yang bermakna dalam kehidupan.Kebermaknaan pendidikan akan dibuktikan melalui kemampuan anak dalam menghadapi sekaligus memecahkan berbagai permasalahan hidup yang dihadapi serta penguasaan Iptek.
- Peran orang tua/keluarga, masyarakat, dan sekolah sebagai penyokong kuat pilar utama pendidikan harus terus diberdayakan.
- Pemanfaatan teknologi dan penguatan karakter semakin dioptimalkan.
Banyaknya tuntutan terhadap siswa oleh pemerintah dalam Pendidikan di Indonesia ini menjadikan  system di Indonesia dikenal dengan "Knowing Everything" yang artinya mengetahui segalanya, padahal seharusnya setiap siswa cukup menguasai 1 mata pelajaran saja sudah capaian yang baik, yang mampu memperbaiki peringkat hasil tes PISA Indonesia.Â
Hal-hal yang sudah disebutkan diatas diharapkan dapat mengatasi tantangan akademik yang berat untuk penilaian PISA berikutnya. Hal ini akan berdampak positif bagi pengembangan potensi siswa dan memungkinkan anak-anak Indonesia untuk bertahan di dalam negeri, regional dan internasional di era globalisasi dengan perubahan dinamis yang konstan.
 Sejauh ini nyatanya system Pendidikan dengan tuntutan harus bisa tahu atau paham segala mata pelajaran adalah suatu system Pendidikan yang bisa dibilang cacat, karena tidak mampu membawa perubahan berarti dengan tidak memfokuskan siswa terhadap satu mata pelajaran yang disuka saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H