Mohon tunggu...
Vina Erni Pratiwi
Vina Erni Pratiwi Mohon Tunggu... Lainnya - freelancer

Puan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sistem Pendidikan "Knowing Everything", Sudahkah Membawa Perubahan?

28 Agustus 2022   21:56 Diperbarui: 28 Agustus 2022   22:05 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setiap 3 tahun sekali sejak tahun 2000, Indonesia dan berbagai negara-negara lain selalu mengikuti tes bernama Programme for International Student Assessment (PISA). PISA merupakan sistem penilaian yang diinisasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari 78 negara di seluruh dunia. 

Setiap tiga tahun, siswa berusia 15 tahun dipilih secara acak, untuk mengikuti tes dari tiga kompetensi dasar yaitu membaca, matematika dan sains. Tujuannya adalah untuk menyediakan data pembanding sehingga negara-negara dapat meningkatkan kebijakan dan kualitas pendidikannya. 

Program penilaian ini mengukur keterampilan kognitif dan pemecahan masalah. PISA mengukur apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat dilakukan siswa dengan pengetahuannya.

Tes PISA terakhir dilaksanakan di tahun 2018. Hasil skor tes PISA negara Indonesia bisa dikatakan relatif rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Ada 3 aspek yang menentukan total skor PISA, yaitu; membaca, matematika, sains. 

Di ketiga aspek tersebut Indonesia berada diperingkat 70 dari 78 negara, itu artinya ketika skor PISA sebuah negara itu rendah maka bisa dikatakan bahwa lulus dari pendidikan formal tidak membantu kesiapan hidup dengan baik setelah lulus. Kesimpulannya terdapat gap skill yang dibutuhkan dan dipelajari oleh siswa di Indonesia. Ada beberapa aspek yang menyebabkan hasil tes PISA Indonesia rendah, diantaranya adalah:

Sejak tahun 2018 Soal Ujian Nasional (UN) Indonesia mulai menggunakan Higher Order Thinking Skills (HOTS), turunan dari metode pembelajaran yang digagas Benjamin Bloom melalui teori "Bloom's Taxonomy". Muhajir Effendi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, khawatir nilai PISA Indonesia akan turun jika tidak beradaptasi. 

Selama ini tingkat kesukaran soal-soal ujian di Indonesia berada di bawah PISA. Hal ini dikarenakan negara-negara pendiri OECD telah menerapkan sistem taksonomi Bloom ke dalam sistem pendidikan mereka. 

Di sisi lain, kurikulum Indonesia sama sekali tidak menggunakan sistem ini, kecuali untuk ujian nasional. Selama ini Indonesia sudah berganti kurikulum setidaknya sebanyak 11 kali dan tak satu pun dari sekian banyak metode pembelajaran yang menganut sistem HOTS. 

Indonesia masih menggunakan metode berpikir menengah ke bawah. Fakta ini membuktikan bahwa sistem pendidikan perlu dibenahi secara menyeluruh. PISA adalah tolak ukur kegagalan pendidikan Indonesia, dan selalu berubah setiap ada perubahan mentri.

  • Motede HOTS

Tahun 1956, Benjamin Bloom dan teman-temannya merumuskan kerangka kemampuan berpikir bernama Taksonomi Bloom. Ide ini adalah hasil kegelisahan Bloom terhadap sistem pendidikan saat itu yang masih berbasis hafalan. Padahal menghafal adalah tingkatan terendah dari kemampuan berpikir. 

Dia lalu membuat hierarki kemampuan berpikir yang disebut Taksonomi Bloom. Tiga struktur Pendidikan terbawah adalah menghafal, memahami, dan mengaplikasikan termasuk dalam kategori Lower-Order Thinking Skills. Berdasar survei PISA, kemampuan siswa di Indonesia masih berada di kategori ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun