Mohon tunggu...
Vina Alfiana
Vina Alfiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo, perkenalkan saya Vina Alfiana merupakan mahasiswa tingkat akhir di salah satu Universitas di Kota Malang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Fenomena Sampah Fashion: Dampak dan Upaya Global dalam Mengurangi Krisis Sampah di Industri Fashion

26 Desember 2024   11:17 Diperbarui: 26 Desember 2024   11:17 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan fast fashion yang sangat cepat dan masyarakat yang selalu mengikuti tren fashion menjadikan banyak fashion atau busana yang menumpuk dan menjadi sampah fashion. Dikutip dari Sangrawati, Purnama, dan Candrastuti (2022), KTT Mode Kopenhagen (2015) menyampaikan bahwa industri fashion menghasilkan 92 juta ton sampah per tahun yang berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Hal ini berarti terdapat sekitar 0,92% - 1,32% dari yang dilaporkan 7 -- 10 miliar ton total limbah padat global tahunan pembangkitan. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (2020) mengatakan bahwa di Indonesia sendiri, limbah tekstil membentuk sekitar 2,6% dari total 33 juta ton sampah per tahun atau limvah tekstil per tahun di Indonesia mencapai sekitar 866 ribu ton.

Peters dkk (2021) dalam artikelnya yang berjudul "The Need to Decelerate Fast fashion in a Hot Climate - A Global Sustainability Perspective on The Garment Industry" telah mengkaji bahwa terjadi kenaikan emisi gas kaca yang disebabkan dari industri busana di China, India, Amerika Serikat, dan Brazil yang sudah masuk pada fase obesitas (penumpukan yang berlebih) (Asy'ari & Amalia, 2022). Kemudahan dan keterjangkauan dari fast fashion yang ditawarkan juga memiliki dampak negatif bagi lingkungan. Weber dkk (2017) dalam (Nidia & Suhartini, 2020) menyebutkan "85% of all textile waste in America ends up in landfills. Within a span of 10 years the waste increased to 40%. In Canada textiles account for 10% of waste." Pernyataan Weber dkk dapat diartikan sebanyak 85% dari limbah tekstik yang ada di Amerika berakhir di tempat pembuangan sampah dan dalam rentang 10 tahun, limbah tersebut meningkat menjadi 40%, sedangkan di Canada, tekstil menyumbang sebesar 10% limbah. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa fast fashion merupakan salah satu industri yang memiliki potensi menyumbang polusi terbesar di dunia.

Dampak Negatif Sampah Fashion

Perkembangan fast fashion yang pesat memiliki dampak buruk bagi global. Setelah mengkaji beberapa literatur, ditemukan tentang dampak dari sampah fashion di lingkup global. Contoh dampak yang ditimbulkan adalah pemanasan global, penipisan ozon, polusi udara dan air, hilangnya spesies, dan erosi pada lahan pertanian (Kim, Choo, & Yoon, 2013). Hal ini disebabkan karena produksi pakaian yang siap pakai dengan cepat sehingga jumlah konsumsi berlebihan yang dilakukan oleh masyarakat juga berlebih. Diantri (2021) mengatakan bahwa fast fashion juga memiliki dampak negatif terhadap isu tenaga kerja, penyebabnya adalah industri fashion seringkali mengabaikan permasalahan-permasalahan terkait dengan tenaga kerja, seperti keselamatan kerja dan kesejahteraan pekerja. Industri fashion dari negara maju banyak melakukan proses produksi di negara-negara berkembang dengan alasan kualitas hidup di negara berkembang masih tergolong rendah dan dan regulasi yang masih buruk dibandingkan negara maju, sehingga biaya produksi yang dikeluarkan jauh lebih murah.

Dampak yang dihasilkan oleh industri fast fashion bagi lingkungan menurut Maiti (2023) yaitu tingginya penggunaan air dalam memproduksi pakaian yang menyebabkan pencemaran air menjadi pencemaran terbesar kedua di dunia. Air sisa yang dihasilkan dari proses industri seringkali di buang di sungai dan selokan. Sungai Zengcheng di China, memiliki warna yang tidak biasa, yaitu warna biru jeans yang berdampak pada 320 juta warga China sulit mendapatkan akses air bersih (Shinta, 2018). Laporan dari Internasional Union for Conservation of Nature (IUNC) pada tahun 2017 menyatakan bahwa pembuatan tekstil sintetis seperti poliester menyumbang sekitar 35% dari mikroplastik di lautan, selain itu pembuatan tekstil dari serat plastik membutuhkan minyak bumi yang banyak dan melepaskan partikel yang mudah menguap dan asam seperti hidrogen klorida di udara yang menyebabkan pencemaran udara (Juliyanto & Firmansyah, 2024). Berdasarkan pernyataan tersebut, limbah tekstil menyebabkan pencemaran pada air, tanah, dan juga udara.

Upaya Global Mengurangi Krisis Sampah Fashion

Dampak negatif dari fast fashion telah dijelaskan di atas, selanjutnya adalah upaya yang dapat dilakukan (secara global) untuk mengurangi krisis sampah fashion. Berikut merupakan beberapa alternatif yang dapat dijadikan sebagai solusi menurut Asy'ri dan Amalia (2022):

1. Agenda Forum Internasional

Setelah sebelumnya pada COP15 (Conference of the Parties ke-15) tahun 2009, fast fashion belum dianggap sebagai ancaman yang serius, namun pada COP26 yang diselenggarakan November 2021 lalu, isu fashion  menjadi pusat perhatian. Perusahaan-perusahaan industri diberi kesempatan untuk mendengarkan pandangan dari pihak-pihak yang paling terdampak dalam rantai pasokan, baik yang terkait dengan praktik kerja yang eksploitatif maupun yang terkena dampak dari krisis iklim. Pada COP26, UNFCCC (Konferensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim) memperkenalkan komitmen baru dalam Fashion Industry Charter for Climate Action 2021, yang disetujui oleh 130 perusahaan (Asy'ari & Amalia, 2022).

Piagam ini menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut berkomitmen mencapai emisi nol bersih pada 2050, menggunakan 100% listrik terbarukan, beralih ke bahan baku ramah lingkungan hingga 2030, menghapus batubara sebelum 2030, serta terlibat dalam dialog dengan lembaga keuangan dan mendukung UN Climate Change untuk mencapai tujuan bersama dalam Fashion Industry Charter for Climate Action (Asy'ari & Amalia, 2022). Tujuan ini bertujuan mendukung ambisi Perjanjian Paris dalam membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius di atas level pra-industri, dengan mendorong merek-merek fashion untuk menetapkan target pengurangan emisi di seluruh rantai pasokan mereka (Revolution, Fashion Transparency Index, 2022 Edition, 2022).

2. G7 Fashion Pact

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun