Kritik dan kontroversi terhadap UN tersebut menyimpulkan bahwa UN hanya mengukur aspek kognitif tanpa menyertakan aspek afektif dan aspek psikomotorik. Hal ini bertentangan dengan tujuan pendidikan. Oleh karena itu, hasil UN tidak dapat dipakai sebagai penentu kelulusan kompetensi siswa. Hal ini diperkuat secara hukum melalui ketentuan dalam UU Sisdiknas.
      Guru berhak mengevaluasi hasil belajar siswa. Dengan penetapan dan penerapan pola desentralisasi baik dalam tatanan birokrasi maupun manajemen sekolah, ujian nasional juga dirancang dengan mempertimbangkan hak guru untuk menilai pembelajaran siswa.
      Diperlukan keterpaduan komponen sumber daya manusia dalam lingkup sekolah agar dapat diperoleh hasil optimal dari karya pendidik di tingkat sekolah. Segala upaya dan cara diikhtiarkan untuk dilaksanakan kepada para peserta didik untuk mendapatkan keberhasilan ujian nasional. Oleh karena itu, adalah lebih tepat dan lebih bagi sekolah untuk menilai perkembangan belajar siswa melalui guru. Sangat disayangkan apabila segala cara dan upaya itu lebih banyak didasarkan atas gengsi dan hasrat tampil beda secara lebih meningkat dalam kompetisi antar sekolah.
Daftar Pustaka:
Silverius, suke. 2010. Kontroversi Ujian Nasional Sepanjang Masa. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan 16 (2), 194-205,Â
Alawiyah, faridah. 2015. Perubahan Kebijakan Ujian Nasional (studi pelaksanaan Ujian Nasional 2015). Aspirasi: Jurnal Masalah-masalah Sosial 6 (2), 189-202
Rahayu, Rahmatika. Djazali, M. 2016. Analisis Kualitas Soal Pra Ujian Nasional Mata Ujian Ekonomi Akuntansi. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia 14 (1)
Kartowagiran, Badrun. Mardapi, Djemari. 2009. Dampak Ujian Nasional. Laporan Hasil Penelitian Jurusan PEP
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H