Oleh : Dr Ir. Vina Serevina, M.M., Novi Ken Sydney, UNJ 2022
UN adalah salah satu jenis evaluasi yang diselenggarakan guna mengukur keberhasilan siswa yang sudah menyelesaikan jenjang pendidikan pada tingkat sekolah/ madrasah yang diselenggarakan secara nasional. Kehadiran UN telah menjadi perdebatan dan kontroversi berkelanjutan di tengah masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, lantaran dapat dipercaya menaikkan mutu pendidikan. Fokus pembelajaran ditujukan pada keberhasilan siswa mengikuti UN. Model pembelajaran digeser ke arah yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif. Para pengajar lebih gandrung pada model pembelajaran gaya usang yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual (bacaan) dan behavioristik (perilaku).
      UN telah menimbulkan berbagai  konflik dengan melanggar ketentuan UU Sisdiknas. Kontroversi UN menunjukkan tiadanya taat asas pemerintah yang berseberangan dengan kepatuhan masyarakat umumnya dan sekolah khususnya terhadap penyelenggaraan UN. Mengapa dibiarkan pelaksanaan UN yang mengabaikan pengukuran mutu pendidikan namun hanya mengukur aspek kognitif semata padahal seharusnya meliputi tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik)? Mengapa UN diperkenankan melakukan evaluasi pendidikan tanpa memperhatikan keragaman wilayah dan kemungkinan siswa? Apa alasan pemerintah merampas hak pengajar untuk melakukan penilaian output siswanya, memilih kelulusan, memberi ijazah, dan memantau proses, kemajuan, dan perbaikan nilai output secara terus-menerus? Dimanakah letak keadilan jika proses belajar yang komprehensif berkelanjutan dinilai melalui UN yang yang monumental dan tidak komprehensif dengan mengorbankan ratusan ribu siswa terhadap kebijakan yang salah tersebut?  Oleh karena itu, tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan kontroversi dan permasalahannya sehingga para pendidik dan pemerhati pendidikan dapat menggunakannya untuk menemukan solusi untuk penegakan hukum dan peningkatan pendidikan nasional.
      Berbagai persoalan mengenai pelaksanaan UN, pemerintah menilai bahwa struktur politik dan pelaksanaannya perlu dievaluasi di lapangan. Kritik terhadap UN selalu beragam, terutama yang merasa UN tidak sejalan dengan tujuan evaluasi. Ujian nasional selalu menjadi bahan perdebatan baik dari segi ketidaklulusan tingkat tinggi maupun mekanisme pengujian yang cacat (Setiawan, 2008: 139). Ujian nasional diyakini telah merampas hak guru dan sekolah untuk menjadi penentu kelulusan siswa. UN telah mematikan kreativitas mengajar, karena pada akhirnya negara yang harus menentukan kewenangan kelulusan siswa (Baedowi, 2015:121).  Oleh karena itu, pelaksanaan ujian nasional saat ini tidak sejalan dengan semangat pendidikan di Indonesia, dan perlu memperhatikan tiga aspek yaitu: pengetahuan, keterampilan dan sikap secara menyeluruh; Dibandingkan dengan evaluasi aspek pengetahuan saja. Ujian nasional diyakini telah mengesampingkan adanya bakat dan kecerdasan yang dimiliki semua siswa (Baedowi, 2015: 26). Kontroversi UN terus berlanjut karena telah menghilangkan makna dari proses pembelajaran. Proses belajar tiga tahun terganggu oleh lulus atau gagal ujian tiga hari pada mata pelajaran tertentu.
      UN yang menjadi faktor penentu kelulusan menimbulkan perasaan tertekan, khawatir, takut dan cemas. UN dianggap sulit, menentang, dan mengancam. Akibatnya,  siswa sering menganggap dirinya tidak mampu mengikuti ujian (Agustiar dan Asmi, 2010:10).Â
      Menghadapi masalah tersebut, pemerintah saat ini mencoba mengatasinya dengan melakukan perubahan kebijakan UN tahun 2015. Pelaksanaannya berbeda dengan UN tahun sebelumnya. Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), menjelaskan perubahan mendasar di UN ada pada tujuannya. Tidak lagi menjadi syarat kelulusan mahasiswa. UN dapat diulang bila hasilnya tidak baik, karena ujian merupakan proses belajar. UN yang sebelumnya menjadi syarat kelulusan siswa menimbulkan kecurangan yang bersifat jamak dan perlu diubah. Hal inilah yang menjadi dasar perubahan kebijakan UN.
      Tujuan meningkatkan standar kelulusan bagi peserta UN  didasarkan pada dua pedoman. Pertama, sejauh mana kompetensi mempunyai pengaruh signifikan terhadap mutu lulusan. Kedua, bagaimana peningkatan mutu kelulusan dapat menjadi sarana kompetisi bagi siswa dan guru agar menghasilkan mutu lulusan yang kompeten dan berdaya saing
      Hasil ujian UN  seyogyanya dijadikan acuan oleh pemerintah daerah dalam pemetaan pendidikan daerah, terutama dalam kaitan dengan kompetensi guru. Dengan demikian, penyebaran tenaga guru tidak semata-mata didasarkan pada hitungan kuantitas, tetapi juga pada aspek kualitas. Daerah harus bisa memetakan sekolah dengan siswa terbanyak lulus atau tidak lulus ujian nasional. Dari situ bisa dinilai apakah karena kekurangan guru atau karena kemampuan guru yang kurang.
      Gambaran tentang tingkat keserasian antara tenaga pendidik dan peserta didik sangat diperlukan dalam pemetaan pendidikan. Pemetaan pendidikan merupakan hal mutlak. Tanpa adanya pemetaan, sulit untuk memperoleh penilaian yang objektif tentang pembangunan pendidikan  daerah. Padahal, hasil penilaian yang objektif  seharusnya menjadi dasar penentuan arah kebijakan dan program  pemerintah pusat dan  daerah.