Mohon tunggu...
Vilya Lakstian
Vilya Lakstian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penulis adalah Dosen Linguistik di Jurusan Sastra Inggris dan Pusat Pengembangan Bahasa IAIN Surakarta, Akademi Bahasa Asing Harapan Bangsa, dan International Hospitality Center. Selain mengajar mahasiswa, dia juga mengajar untuk staff hotel, pelayaran, dan pramugari. Penulis adalah lulusan Pascasarjana Prodi Linguistik Deskriptif di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Sarjana Sastra Inggris konsentrasi Linguistik di IAIN Surakarta. Penulis aktif dalam penelitian dan kajian sosial. Penulis juga sering menulis untuk media massa, dan penelitian untuk jurnal. Dalam berbagai kajian bahasa yang telah dilakukannya, linguistik sistemik fungsional menjadi topik yang sering dibahas dan dikembangkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sudahkah Kebijakan Bahasa di Indonesia Menjawab Tantangan Reformasi?

9 Agustus 2015   14:57 Diperbarui: 9 Agustus 2015   14:57 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

JAKARTA - Bahasa adalah aset. Keberadaannya seolah seperti kartu identitas yang kita bawa sehari-hari. Dengan mengekspresikan bahasa tertentu, kita telah menunjukkan siapa diri kita. Aset adalah kekayaan. Aset dari suatu bangsa dapat dilihat dari bahasa, termasuk sastra.

Kekayaan itu bisa merepresentasikan banyak hal. Kemampuan bahasa untuk menyampaikan maksud dari penggunanya dapat menunjukkan kekayaan seseorang secara pengetahuan. Karena dengan berbahasa, manusia dapat mentransfer ilmu pengetahuan, bersama aspek-aspek lainnya seperti moral dan sosial. Indonesia memiliki banyak bahasa daerah. Inilah kekayaan Indonesia yang tidak dimiliki negara lain di dunia.

Setelah reformasi dikumandangkan, eforianya dapat diketahui dengan adanya otonomi daerah. Otonomi itu juga meliputi otonomi terhadap bahasa, khususnya pengembangan bahasa daerah. Inilah latar belakang diselenggarakannya Seminar Nasional oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta yang bertajuk "Kebijakan Bahasa Pascaorba: Sebuah Penguatan Identitas? " di Gedung LIPI Jakarta 4-5 Agustus 2015 lalu.

Produk Reformasi

Seminar ini diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK) LIPI. Abdul Rachman Patji, Koordinator Payung Penelitian Bahasa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengatakan bahwa bahasa digarap serius pada era reformasi, diawali dengan penelitian pada Bahasa Alor dan Woben. Dikatakan juga olehnya, P2KK adalah produk reformasi.

Berkaitan dengan aset suatu negara, sudah seharusnya bahasa menjadi keseharian. Sugiyono, Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa - Kemdikbud, memaparkan betapa pentingnya revitalisasi bahasa. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui pendokumentasian bahasa.

Bahasa Daerah di Tengah Kemodernan

Seiring dengan perkembangan jaman, bahasa daerah juga perlu penyesuaian dengan konteks kekinian. Sekitar tahun 1970an, muncul usaha membuat aksara daerah ditampilkan dengan latin (unicode). Strategi ini dipilih untuk menghadapi tantangan dunia. Tindakan ini dapat membuka dunia kita ke luar, sehingga diharapkan aset daerah ini memiliki jaringan yang lebih luas, hingga global. Secara leksikografi, "Badan Bahasa saat ini tengah mengembangkan pendokumentasian kosa kata bahasa daerah secara online", ujar Sugiyono.

Badan Bahasa juga bergerak dalam pemetaan bahasa. Pemetaan yang beredar di negeri tetangga dalam beberapa hal menunjukkan adanya tumpang tindih. Misalnya, Malaysia dikatakan memiliki 48 bahasa. Benarkah? Ternyata setelah ditelusuri, pemetaan itu memasukkan semua bahasa yang ada di sana, termasuk didalamnya Bahasa Jawa, Sunda, dan sebagainya. Menurut sudut pandang yang unik, hal ini menunjukkan eksistensi bahasa daerah Indonesia yang telah melintasi antar negara. Patut diapresiasi juga bahwa bahasa daerah juga dipertahankan di luar tempat aslinya. Tapi tentu cita rasanya akan berbeda ketika bahasa daerah itu ada di benar-benar wilayahnya.

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun oleh kekuatan daerah. Sehingga, tampak nyata seberapa besar kedaulatan Indonesia. Oleh karena itu, bahasa daerah memang harus difasilitasi oleh pemerintah daerah, apalagi sekarang sudah diberikan otonomi. UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 22 huruf n mengatakan, “Dalam penyelenggaraan otonomi, daerah mempunyai kewajiban melestarikan nilai sosial budaya.” Hal tersebut diperkuat oleh UU 1942 pasal 32, “bahasa daerah yang masih digunakan oleh masyarakat penuturnya dipelihara oleh negara".

Pelestarian bahasa daerah harus terus dilakukan, karena di dalamnya terekam nilai-nilai budaya. Seorang ahli sosial, Clifford Gertz, memandang bahasa sebagai sesuatu yang memiliki tugas memaknai fenomena-fenomena kebudayaan. Prof. Komaruddin Hidayat dalam artikelnya di Koran KOMPAS 26 Juni 2015 menambahkan tentang bahasa sebagai produk pengasuhan budaya yang paling nyata. Terekamnya nilai-nilai budaya berlangsung dari generasi ke generasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun