JAKARTA - Bahasa adalah aset. Keberadaannya seolah seperti kartu identitas yang kita bawa sehari-hari. Dengan mengekspresikan bahasa tertentu, kita telah menunjukkan siapa diri kita. Aset adalah kekayaan. Aset dari suatu bangsa dapat dilihat dari bahasa, termasuk sastra.
Kekayaan itu bisa merepresentasikan banyak hal. Kemampuan bahasa untuk menyampaikan maksud dari penggunanya dapat menunjukkan kekayaan seseorang secara pengetahuan. Karena dengan berbahasa, manusia dapat mentransfer ilmu pengetahuan, bersama aspek-aspek lainnya seperti moral dan sosial. Indonesia memiliki banyak bahasa daerah. Inilah kekayaan Indonesia yang tidak dimiliki negara lain di dunia.
Setelah reformasi dikumandangkan, eforianya dapat diketahui dengan adanya otonomi daerah. Otonomi itu juga meliputi otonomi terhadap bahasa, khususnya pengembangan bahasa daerah. Inilah latar belakang diselenggarakannya Seminar Nasional oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta yang bertajuk "Kebijakan Bahasa Pascaorba: Sebuah Penguatan Identitas? " di Gedung LIPI Jakarta 4-5 Agustus 2015 lalu.
Produk Reformasi
Seminar ini diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK) LIPI. Abdul Rachman Patji, Koordinator Payung Penelitian Bahasa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengatakan bahwa bahasa digarap serius pada era reformasi, diawali dengan penelitian pada Bahasa Alor dan Woben. Dikatakan juga olehnya, P2KK adalah produk reformasi.
Berkaitan dengan aset suatu negara, sudah seharusnya bahasa menjadi keseharian. Sugiyono, Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa - Kemdikbud, memaparkan betapa pentingnya revitalisasi bahasa. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui pendokumentasian bahasa.
Bahasa Daerah di Tengah Kemodernan
Seiring dengan perkembangan jaman, bahasa daerah juga perlu penyesuaian dengan konteks kekinian. Sekitar tahun 1970an, muncul usaha membuat aksara daerah ditampilkan dengan latin (unicode). Strategi ini dipilih untuk menghadapi tantangan dunia. Tindakan ini dapat membuka dunia kita ke luar, sehingga diharapkan aset daerah ini memiliki jaringan yang lebih luas, hingga global. Secara leksikografi, "Badan Bahasa saat ini tengah mengembangkan pendokumentasian kosa kata bahasa daerah secara online", ujar Sugiyono.
Badan Bahasa juga bergerak dalam pemetaan bahasa. Pemetaan yang beredar di negeri tetangga dalam beberapa hal menunjukkan adanya tumpang tindih. Misalnya, Malaysia dikatakan memiliki 48 bahasa. Benarkah? Ternyata setelah ditelusuri, pemetaan itu memasukkan semua bahasa yang ada di sana, termasuk didalamnya Bahasa Jawa, Sunda, dan sebagainya. Menurut sudut pandang yang unik, hal ini menunjukkan eksistensi bahasa daerah Indonesia yang telah melintasi antar negara. Patut diapresiasi juga bahwa bahasa daerah juga dipertahankan di luar tempat aslinya. Tapi tentu cita rasanya akan berbeda ketika bahasa daerah itu ada di benar-benar wilayahnya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun oleh kekuatan daerah. Sehingga, tampak nyata seberapa besar kedaulatan Indonesia. Oleh karena itu, bahasa daerah memang harus difasilitasi oleh pemerintah daerah, apalagi sekarang sudah diberikan otonomi. UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 22 huruf n mengatakan, “Dalam penyelenggaraan otonomi, daerah mempunyai kewajiban melestarikan nilai sosial budaya.” Hal tersebut diperkuat oleh UU 1942 pasal 32, “bahasa daerah yang masih digunakan oleh masyarakat penuturnya dipelihara oleh negara".