Mudik, adalah suatu kata yang telah kuat mengakar bersama dengan hari raya. Kata ini tiba-tiba mencuat ketika menjelang hari raya. Apalagi seiring dengan berkembangnya media sosial. Update info mudik menjadi solidaritas tersendiri bagi sesama pemudik yang sedang gembira menuju kampung halaman. Sebagai bagian dari proses sosial di masyarakat, bagaimana bahasa memandang kata “mudik” ?
Tinggal beberapa hari lagi kita semua akan merayakan Hari Raya Idul Fitri. Sebuah hari dimana seluruh umat merayakan kemenangan. Satu bulan berpuasa adalah sebuah tantangan tersendiri. Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga cara untuk lebih dekat dengan Allah SWT. Semoga saja niat mulia ini tidak tertutup oleh mudik yang perlu biaya dan tenaga.
Leksikografi “Mudik”
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “mudik” memiliki berbagai padanan makna.
(v) 1. Berlayar, pergi. 2. Pulang ke kampung halaman. ; usaha yang mendapat rintangan dari kiri dan kanan namun diteruskan juga; Suatu maksud atau niat hendaklah tentu wujud atau tujuannya.
Mudik adalah suatu realitas ketika seseorang melakukan suatu perjalanan yang membawanya berpindah dari satu titik ke lainnya. Banyak iklan dan sinetron menampilkan tentang seseorang yang mudik dari kota ke desa. Kampung halaman seringkali diidentikkan sebuah lingkungan yang asri, tidak berpolusi, dan banyak ternak dimana-mana.
Tindakan fisik untuk melakukan mudik dilakukan atas kerinduan akan nuansa daerah asal, dimana kita dilahirkan dan tumbuh besar. Oleh karena itu, kesempatan hari raya yang diikuti cuti bersama adalah momen yang tepat sebagai “usaha yang mendapat rintangan dari kiri dan kanan namun diteruskan juga” demi bertemu orang-orang tercinta. Rintangan itu banyak macamnya. Berita yang sering saya dengar dan baca ketika menjelang musim mudik adalah makin meningkatnya jumlah orang yang mencari pinjaman atau menggadaikan barang-barangnya. Bahkan, kendaraan juga digadai agar ada ongkos untuk ke kampung halaman.
Mudik di Sepuluh Hari Ketiga Ramadhan